2. Sedang tak ingin menjalin interaksi dengan orang lain. Akibatnya, anak melampiaskan segala sesuatunya pada teman khayalan. Namun, ini tidak mutlak. Bisa saja anak memiliki kemampuan menjalin interaksi yang baik, tetapi jika ia tidak memiliki wadah atau tak ada teman bermain, ia akan mengembangkan teman khayalan.
3. Punya pengalaman negatif. Anak-anak yang ditolak oleh lingkungan atau kerap mendapat perlakuan tidak menyenangkan, cenderung lebih menyenangi solitary play dan menjadikan mainan-mainannya sebagai teman-teman yang hidup.
4. Egosentris. Anak ingin mempunyai teman yang selalu mendengarkannya, menurut padanya, dan tahu apa yang diinginkan. Hal ini terjadi karena menurut tahapan perkembangan memang di usia ini anak cenderung egosentris, di mana segala sesuatu harus didasarkan atas keinginannya.
Maka dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan, teman khayalan hadir untuk memenuhi kebutuhan si kecil dalam mengekspresikan emosi yang dirasakan. Tak heran, teman khayalan kadang dapat berperan sebagai sosok yang disalahkan atau alter ego. Misal, anak menggunakan teman khayalannya sebagai tersangka atas mainannya yang hilang. Selain itu, teman khayalan juga berfungsi sebagai teman bermain yang menyenangkan. Ini karena biasanya anak menciptakan teman khayalan dengan karakteristik yang disukainya.
Jadi, ketika anak kita memiliki teman khayalan, tak usah khawatir. Itu tetap normal, karena bagian dari tahapan perkembangannya. Terpenting anak kita terus bisa bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya, baik di rumah, di sekolah, maupun di lingkungan. Yang mengkhawatirkan justru, ketika orang-orang dewasa seperti kita, masih memiliki teman khayalan. Ini parah, harus kita periksakan ke psikiater atau dokter jiwa. Ha ha ha........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H