Padahal sebenarnya kita bisa menuangkan sebuah kritikan dalam bentuk seni dan jika dapat dikombinasikan kedua hal tersebut akan melahirkan sebuah karya yang secara halus juga memberi ruang untuk menyuarakan kaum minoritas dan juga sesuatu yang sedang di kritisi. Sehingga sampai pada suatu titik nantinya tumbuh asumsi bahwa di Indonesia aktivist tidak lagi dianggap kotor tetapi lebih memiliki bentuk yang nyata dan lebih positif, terarah tanpa ada unsur kekerasan. Street art yang berisi pesan dan suara – suara warga, musik yang mengumandangkan soal ketidakadilan dan yang lainya. Tentu, hal tersebut dapat menciptakan ide bahwa “Kritis tak harus anarkis”.
Ya, jika tindakan yang berbau anarkisme dan kekerasan tadi dapat diganti dan disalurkan dalam bentuk karya yang konkrit, mengapa harus menunggu dan ditunda. Jelas ini adalah perubahan yang sangat positif saat satu karya yang berisi sejuta suara dapat di dengar dan dilihat dengan telinga dan mata yang jauh lebih terbuka.
Artivisme di Indonesia sendiri mungkin masih cukup asing, terbukti saat saya coba mencari di beberapa media hasilnya memang masih nol koma, kemudian saya mencoba bertanya kepada orang – orang atau teman dan alhasil yang mereka tahu poin aktivist bukan artivist. Justru beberapa link di media internet muncul artivisme dari negara – negara benua biru macam Inggris, Prancis, Italia dan sebagainya.
Artivisme bagi Anak Muda dan Mahasiswa
Mahasiswa disebut-sebut sebagai generasi penerus dan masa depan bangsa. Lebih dari itu, sebenarnya anak muda adalah generasi pencetus. Generasi pencetus yang meneruskan perjuangan baru sekaligus meneruskan perjuangan lama yang belum tuntas. Untuk menjadi penerus perjuangan tersebut diperlukan kekritisan. Kritis untuk mengkritisi kebenaran suatu hal, juga kritis mengaji dan mendalami sebuah permasalahan. Selanjutnya, kritis menanggapi hasil kajian untuk diwujudkan dalam tindakan nyata.
Namun kecenderungan yang ada saat ini, wacana kritis adalah sesuatu yang banyak dihindari anak muda karena dianggap membosankan, tidak menyenangkan, dan tidak penting. Kuat dugaan penghindaran ini terjadi karena anak muda hanya bertemu dengan wacana kritis ketika mereka mengonsumsi media massa yang konvensional. Media yang selama ini hanya berisikan sisi gelap kekrtitisan tanpa menumbuhkan harapan, hanya mengutuk kegelapan tanpa menyalakan pelita. Singkatnya, “anak muda telah terhegemoni !”
Sumber : http://www.kikipea.com/2015/10/artivisme-punk-rock-di-ruang-akademis.html
Anak muda dan mahasiswa sangat menyukai lifestyle dan hiburan dan jika ingin merubah mereka yang apatis terhadap isu – isu sosial dan lingkungan sekitar, maka harus dilakukan dengan mempropagandakan lifestyle dan hiburan yang berani dan bisa membuat mata anak muda tersebut lebih terbuka bukan hanya lifestyle dan hiburan yang nggak jelas. Dengan adanya seni yang mengedukasi tadi setidaknya anak muda dan mahasiswa akan lebih paham dan otak mereka lebih bereaksi, begitu ucap Jerinx dalam sesi pertanyaan terakhir dalam acara diatas.
Diakhir acara yang berlangsung sekitar tiga jam tersebut, Jerinx mengajak orang yang hadir yang memang didominasi anak muda dan mahasiswa untuk lebih terbuka terhadap masalah dan isu lingkungan sekitar demi kelangsungan hidup yang lebih – lebih baik.
Artivisme dan Harapan
Artivisme jelas memberi manfaat kepada kita karena pergerakan juga dapat diperindah dengan racikan seni. Jika sudah demikian orang akan dapat lebih mudah terbuka melihat carut marut masalah dan kondisi sosial sekitar bahkan mereka akan lebih melek akan mirisnya negeri ini. Harapanya, mereka lebih peduli akan suara dan isu sosial dan lingkungan yang terkandung dalam unsur seni tersebut.