Mohon tunggu...
Imam Solehudin
Imam Solehudin Mohon Tunggu... -

Nama saya Imam Solehudin saya berasal dari kota Purworejo Jawa Tengah. Lahir di Purworejo 15 November 1996. Sekarang menempuh study di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Prodi Ilmu Komunikasi. Seorang dengan hidup yang sederhana yeeee. Fans Superman Is Dead Juga cheers dan Endank Soekamti too88zzt. Tapi jangan lupa follow IG ya : imamimamso :D

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pertama di Kompasiana,"Artivisme"

3 Desember 2015   15:45 Diperbarui: 3 Desember 2015   16:01 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*foto diambil dari akun instagram @jrxsid

 

Artivisme

Awalnya memang masih baru dan belum lama ini saya mengenal tentang artivisme tapi, setidaknya itu menambah sedikit pengetahuan baru namun berwawasan luas untuk diri saya pribadi. Sejak pertama masuk TK sampai lulus SLTA saya benar-benar tidak pernah kenal dengan artivisme. Sampai saat kuliah semester satu inilah saya mengetahui apa itu artivisme. Maka, pada kesempatan kali ini saya mencoba membagikan apa yang saya dapat mengenai hal artivisme tersebut.

ArtistAktivist

Hei, saya tahu apa itu artist dan mungkin anda sebagai pembacapun telah tahu juga. Oke, saya perjelas. Artist berasal dari kata “Art” yang artinya seni maka, orang yang berkecipung di dunia seni apapun bentuk seni tersebut maka orang tersebut dapat dikatakan artist atau dengan kata lain artist itu seniman.

Hei, saya juga tahu apa itu aktivist dan lagi – lagi anda pasti jauh lebih tahu apa itu aktivist. Menurut saya aktivist adalah orang yang giat dan semangat bergerak dalam kegiatan nyata untuk kepentingan organisasi, kelompok, dan atau apapun yang sedang ia perjuangkan. Seorang aktivist rela mengorbankan waktu, tenaga, dan fikiran bahkan harta benda untuk kepentingan tersebut. Dalam level yang sudah tinggi seorang aktivist bahkan dapat merelakan hidupnya demi kepentingan kelompoknya atau demi apa yang sedang ia perjuangkan.

Artivisme (Artist – Aktivist)

Nah, ini yang perlu digarisbawahi bahwa sesuai realita di Indonesia, mayoritas artist dan seniman kebanyakan lebih mengedepankan nilai komersial ketimbang nilai sosial, apalagi jika artist yang dimaksud adalah artist – artist kelas atas dan berbandrol selangit. Sementara kebalikanya aktivist lebih mengedepankan kepentingan bersama dibanding individual demi kelompoknya tetapi, aktivist yang dimaksud disini adalah mereka yang mempunyai jiwa sosial tinggi dan berani untuk bergerak atas isu – isu sosial yang sedang dihadapi tersebut.

Jadi dapat disimpulkan bahwa mereka yang memiliki kepekaan akan isu - isu sosial dan mengaplikasikan pergerakan, suara dan aksinya lewat kreatifitas seni maka mereka dapat dikatakan sebagai artivist. Ya, intinya mereka yang berjuang menyuarakan kekritisannya lewat seni terlepas apapun bentuk seni itu. Seorang artivist tentu berusaha sebaik mungkin untuk memperindah kualitas isi dari apa yang sedang disuarakan (dalam media seni tersebut) dan yang paling penting, mereka lebih mengedepankan nilai sosial yang lebih dalam seni tersebut ketimbang nilai komersial.

Pelajaran Artivisme

Beberapa bulan lalu tepatnya pada hari minggu 25 Oktober 2015 saya mengikuti acara bincang – bincang seni budaya humaniora artivisme “Seni Budaya yang Memanusiakan”  yang diselenggarakan oleh Kementrian Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Acara yang bertempat di auditorium universitas tersebut mengundang pembicara I Gede Ari Astina atau yang sering dikenal Jerinx (JRX), drummer band Superman Is Dead.

Selain seniman, Jerinx juga dikenal sebagai aktivis Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Lalu ada Andrew Lumban Gaol dari Anti-Tanx Project street artist dan aktivis Warga Berdaya Jogja. Acara tersebut dimoderatori oleh  Kiki Pea, seorang vokalis Kiki and the Klain yang juga seorang jurnalis.

*foto hasil jepretan sendiri

 

Aktivisme menurut Andrew Anti-Tank adalah prinsip dasar manusia utuk saling membantu dan tolong – menolong. Kalaupun itu menjadi chanel dalam bentuk – bentuk kegiatan yang berbeda seperti karya musik, puisi, atau apapun itu hanya media yang bisa diperkenalkan, dan yang paling penting adalah aksi nyata dan peran seorang individu dalam masyarakat ketimbang karya – karya itu sendiri.

Aktivisme menurut Jerinx mengajarkannya bahwa hidup itu bukan hanya mendedikasikan hidupnya hanya untuk dirinya sendiri dan keluarga tetapi lebih – lebih luas lagi. Kita dapat melakukan hal – hal yang tidak akan terfikirkan sebelumya jika benar – benar memahami apa itu aktivisme. Namun Jerinx belum mau mengklaim apakah dia masuk kategori aktivist atau bukan karena dedikasinya kadang masih sebagai seniman juga sebagai pebisnis pula.

Jerinx sendiri mengemukakan bahwa dia belajar banyak tentang aktivisme di salah satu kampus sastra di Bali yaitu Universitas Udayana setelah bosan dengan keadaan di kampus lamanya yaitu di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas)yang kebanyakan mahasiswanya kurang peka terhadap isu - isu sosial dan lingkungan sekitar. Jerinx mulai akrab dengan suasana kampus Undayana tersebut dan dia bersama band musiknya yaitu SID (Superman Is Dead) melakukan konser pula di kampus Udayana saat akan melengserkan Soeharto.

Artivisme di Indonesia

Seperti yang lebih kita tahu, sudah menjadi realita bahwa mayoritas seni di Indonesia lebih difungsikan sebagai sarana hiburan dan seniman juga kebanyakan dianggap sebagai sosok yang menghibur. Artist dan seniman mayoritas lebih memikirkan kepentingan komersial.

Dari segi aktivist, mereka (para aktivist) lebih dikenal sebagai orang – orang yang memiliki tekad masing – masing dan berjuang untuk kepentingan kelompoknya. Mereka dipandang sering melakukan hal – hal yang berbau kekerasan dan dalam aksi – aksinya kebanyakan menimbulkan tindakan anarkis.

Padahal sebenarnya kita bisa menuangkan sebuah kritikan dalam bentuk seni dan jika dapat dikombinasikan kedua hal tersebut akan melahirkan sebuah karya yang secara halus juga memberi ruang untuk menyuarakan kaum minoritas dan juga sesuatu yang sedang di kritisi. Sehingga sampai pada suatu titik nantinya tumbuh asumsi  bahwa di Indonesia aktivist tidak lagi dianggap kotor tetapi lebih memiliki bentuk yang nyata dan lebih positif, terarah tanpa ada unsur kekerasan.  Street art yang berisi pesan dan suara – suara warga, musik yang mengumandangkan soal ketidakadilan dan yang lainya. Tentu, hal tersebut dapat menciptakan ide bahwa “Kritis tak harus anarkis”.

Ya, jika tindakan yang berbau anarkisme dan kekerasan tadi dapat diganti dan disalurkan dalam bentuk karya yang konkrit, mengapa harus menunggu dan ditunda. Jelas ini adalah perubahan yang sangat positif saat satu karya yang berisi sejuta suara dapat di dengar dan dilihat dengan telinga dan mata yang jauh lebih terbuka.

Artivisme di Indonesia sendiri mungkin masih cukup asing, terbukti saat saya coba mencari di beberapa media hasilnya memang masih nol koma, kemudian saya mencoba bertanya kepada orang – orang atau teman dan alhasil yang mereka tahu poin aktivist bukan artivist. Justru beberapa link di media internet muncul artivisme dari negara – negara benua biru macam Inggris, Prancis, Italia dan sebagainya.

Artivisme bagi Anak Muda dan Mahasiswa

Mahasiswa disebut-sebut sebagai generasi penerus dan masa depan bangsa. Lebih dari itu, sebenarnya anak muda adalah generasi pencetus. Generasi pencetus yang meneruskan perjuangan baru sekaligus meneruskan perjuangan lama yang belum tuntas. Untuk menjadi penerus perjuangan tersebut diperlukan kekritisan. Kritis untuk mengkritisi kebenaran suatu hal, juga kritis mengaji dan mendalami sebuah permasalahan. Selanjutnya, kritis menanggapi hasil kajian untuk diwujudkan dalam tindakan nyata.

Namun kecenderungan yang ada saat ini, wacana kritis adalah sesuatu yang banyak dihindari anak muda karena dianggap membosankan, tidak menyenangkan, dan tidak penting. Kuat dugaan penghindaran ini terjadi karena anak muda hanya bertemu dengan wacana kritis ketika mereka mengonsumsi media massa yang konvensional. Media yang selama ini hanya berisikan sisi gelap kekrtitisan tanpa menumbuhkan harapan, hanya mengutuk kegelapan tanpa menyalakan pelita. Singkatnya, “anak muda telah terhegemoni !”

Sumber : http://www.kikipea.com/2015/10/artivisme-punk-rock-di-ruang-akademis.html

Anak muda dan mahasiswa sangat menyukai lifestyle dan hiburan dan jika ingin merubah mereka yang apatis terhadap isu – isu sosial dan lingkungan sekitar, maka harus dilakukan dengan mempropagandakan lifestyle dan hiburan yang berani dan bisa membuat mata anak muda tersebut lebih terbuka bukan hanya lifestyle dan hiburan yang nggak jelas. Dengan adanya seni  yang mengedukasi tadi setidaknya anak muda dan mahasiswa akan lebih paham dan otak mereka lebih bereaksi, begitu ucap Jerinx dalam sesi pertanyaan terakhir dalam acara diatas.

Diakhir acara yang berlangsung sekitar tiga jam tersebut, Jerinx mengajak orang yang hadir yang memang didominasi anak muda dan mahasiswa untuk lebih terbuka terhadap masalah dan isu lingkungan sekitar demi kelangsungan hidup yang lebih – lebih baik.

Artivisme dan Harapan

Artivisme jelas memberi manfaat kepada kita karena pergerakan juga dapat diperindah dengan racikan seni. Jika sudah demikian orang akan dapat lebih mudah terbuka melihat carut marut masalah dan kondisi sosial sekitar bahkan mereka akan lebih melek akan mirisnya negeri ini. Harapanya, mereka lebih peduli akan suara dan isu sosial dan lingkungan yang terkandung dalam unsur seni tersebut.

Kreatif, peka, dan berani adalah kata yang tepat untuk tokoh – tokoh diatas dan semua yang berkaitan tentunya. 

Sekian artikel tentang “Artivisme” semoga artivisme dapat lebih dikenal oleh kebanyakan masyarakat Indonesia khususnya bagi para kompasianer. Selanjutnya diharap akan tumbuh artivist – artivist baru yang lebih berani menyala dan bisa mengedukasi masyarakat lebih luas. Minimnya ruang lingkup dan pengetahuan tentang artivisme di Indonesia diharap bisa lebih ditingkatkan dan orang setidaknya lebih peka dan menyadari mana yang Artist, mana yang Aktivist dan mana yang Artivist.

 

Banyak kekurangan dan salah penulisan mohon dimaafkan.

Sekian dan terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun