Yogyakarta yang dulu dikenal asri, dikenal nyaman, kota seni dan budaya, kota pariwisata, kota pendidikan, kota yang ramah masyarakatnya, humanis, serta spiritualis, Jogja Istimewa justru saat ini kondisinya di ambang kepunahan akan sifat – sifat Kota Yogyakarta yang sesungguhnya, yang sejak dahulu dikenal banyak orang. Ya, Jogja sedang diperkosa oleh segelintir mesin – mesin penghancur yang berbentuk manusia. Yogyakarta sedang di reboisasi secara besar - besaran, sedang ditanami pohon – pohon berbahan semen dan beton.
Bagaimana realitas Kota Yogyakarta saat ini ?
Yang terlihat jelas yaitu banyaknya hotel yang menyebar di Yogyakarta. Dampak positifnya memang pertumbuhan ekonomi di Jogja makin tinggi, pajak semakin banyak, Namun, potensi negatifnya jauh lebih banyak. Banyaknya jumlah hotel di Jogjakarta ini menimbulkan permasalahan ruang kota yang tentunya mempersempit lahan tanah yang ada di Jogjakarta, juga semakin sempitnya ruang publik tempat masyarakat setempat bergerak dan beraktivitas.
Lahan yang seharusnya digunakan untuk lahan pertanian, tanah yang seharusnya menjadi tempat berdirinya rumah penduduk, menjadi alam lestarinya budaya – budaya lokal Yogyakarta justru semakin hari – semakin terancam oleh pembangunan apartemen dan hotel berbintang. Selain itu akibat negatif yang ditimbulkan oleh adanya pembangunan yaitu adanya ketidakseimbangan kebutuhan air antara hotel dan warga khususnya warga di sekitar hotel tersebut.
Pembangunan mall atau pusat perbelanjaan. Sebetulnya tak jauh berbeda untung dan ruginya dengan pembangunan apartemen dan hotel berbintang yang intinya modal investor tidak menguntungkan warga karena keuntungan hanya masuk ke kantong mereka sendiri, sementara warga sekitar selain susah akan kebutuhan air di tambah masalah – masalah lingkungan lainya, mereka juga dipaksa bersaing dalam segi ekonomi dengan adanya mall atau pusat perbelanjaan tersebut.
Namun saat ini permasalahan yang ada baru sampai titik ini, dengan banyaknya proses pembangunan yang lain yang belum selesai, belum lagi yang masih menjadi rencana atau rancangan bukan tidak mungkin akan menciptakan masalah baru di Jogja ini.
Ciri khas dan ikon – ikon Kota Jogja yang semakin dilupakan, ditinggalkan, bahkan terancam tenggelam. Mengapa saya katakan terancam tenggelam ? Coba kita lihat tugu Jogja yang semakin hari semakin tenggelam tak terlihat karena kalah tinggi dengan bangunan – bangunan raksasa macam apartemen, mall, dan hotel berbintang. Mengapa saya katakan semakin dilupakan dan ditinggalkan ?
Coba kita lihat kondisi jalanan Jogja yang semakin hari semakin macet akibat banyaknya tumpukan kendaraan baik mobil dan motor sampai – sampai bersepeda sudah tidak dianggap penting lagi, bahkan trotoar yang seharusnya digunakan untuk berjalan para pejalan kaki nyaris habis dibajak pengendara kuda berbahan bakar minyak. Suara orang mengayuh becak dan suara dokar berjalan kalah dengan suara gemuruh ribuan kendaraan berjalan.
Lalu apa reaksi masyarakat setempat?
Sebenarnya banyak aksi penolakan atas maraknya pembangunan kota yang semakin hari semakin mencekam baik yang dilakukan oleh masyarakat setempat, dari kalangan pelajar dan mahasiswa sampai mereka yang bukan orang Jogja namun peduli akan kondisi alam Jogja yang semakin kritis yaitu salah satunya adalah gerakan “Jogja Ora Didol”
Apa itu “Jogja Ora Didol” ?
Jogja Ora Didol artinya Jogja tidak dijual kalau orang umum bilang Jogja Not For Sale adalah sebuah gerakan yang intinya melakukan penolakan atas maraknya pembangunan dan peningkatan fasilitas Kota Yogyakarta yang mengatasnamakan kemajuan ekonomi dan berkedok peningkatan pariwisata sementara mengabaikan kondisi lingkungan, sosial masyarakat sekitar atau penduduk lokal hingga kelestarian akan budaya Jogja itu sendiri.
Gerakan ini didasari atas suara - suara masyarakat Jogjakarta yang mulai tersudut dan dikucilkan dengan adanya proyek yang semakin liar tersebut, mereka yang takut dan khawatir akan hilangnya keistimewaan kota Jogja, mereka yang takut akan hilangnya ruang publik Kota Yogyakarta yang kian tergerus oleh kepentingan kapitalisme.
Gerakan sosial jalanan ini melibatkan banyak komunitas dari kalangan seniman di Jogja, kelompok street art, pesepeda, hingga aktivis lingkungan. Yang terlihat jelas dari gerakan ini adalah terbentangnya tulisan dan lukisan atau gambar di tembok jalanan yang intinya mendesak pemerintah untuk menekan angka pembangunan di Kota Yogyakarta.
“Jogja Ora Didol”
“Jogja Ora Didol”
“Jogja Ora Didol”
*semua foto hasil dokumentasi pribadi
Sumber bacaan :
https://www.ugm.ac.id/id/berita/9938-pembangunan.hotel.dan.mall.rugikan.masyarakat
http://www.beritajogja.id/berita-jogja-hari-ini-potensi-krisis-pangan-dan-air-di-jogja.html/2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H