Meskipun sentralisasi ulang telah menghasilkan peningkatan efisiensi, potensi kelemahannya harus diatasi. Ada tiga faktor utama dalam hal ini. Pertama, Pemusatan Kekuasaan yang Berlebihan, dapat mempengaruhi sistem sentralisasi dengan mengesampingkan risiko pemerintah daerah yang dapat menghambat inovasi dan akuntabilitas lokal. Kedua, Resistensi terhadap Reformasi, dapat mempengaruhi lembaga-lembaga daerah untuk melihat sentralisasi ulang sebagai hilangnya otonomi, yang mengarah pada kepatuhan parsial atau simbolis. Terakhir, perizinan yang terstandardisasi dapat gagal mengakomodasi kebutuhan spesifik daerah, seperti pertimbangan budaya untuk UKM di provinsi-provinsi pedesaan.
Kesimpulan
Sentralisasi kembali merupakan respon pragmatis Indonesia terhadap inefisiensi dan korupsi yang telah mengakar. Meskipun keberhasilannya dalam hal perizinan dan manajemen fiskal sudah jelas, pendekatan satu ukuran untuk semua berisiko mengasingkan para pemangku kepentingan di daerah. Ke depannya, Indonesia harus merangkul model-model tata kelola yang adaptif yang menghargai efisiensi sentralisasi dan dinamika otonomi daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H