Laba atau keuntungan adalah selisih dari harga pokok barang dengan harga jual barang. Laba dalam jual beli dalam Islam diperbolehkan.
Dalam mengambil laba atau keuntungan tidaklah ditentukan batasan berapa laba maksimal yang boleh diambil atau berapa laba minimal yang harus didapat, dengan syarat pembeli tidak tertipu dengan harga jual sehingga ia tidak merasa di tipu dan harus saling ridho di antara keduanya.Â
Kebebasan dalam menganbil keuntungan sebagaimana fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin yang mengatakan:
"Keutungan tidak ada batasan tertentu karena itu termasuk rizki Allah. Terkadang Allah menggelontorkan banyak rizki kepada manusia sehingga kadang ada orang yang mendapatkan untung 100 atau lebih, hanya dengan modal 10."
"Dia membeli barang ketika harganya sangat murah, kemudian harga naik, sehingga dia bisa mendapat untung besar. Dan kadang terjadi sebaliknya, dia membeli barang ketika harga mahal, kemudian tiba-tiba harganya turun drastis. Karena itu, tidak ada batasan keuntungan yang boleh diambil seseorang."
Adapun fatwa lain menurut Prof. Dr. Sulaiman Alu Isa (Guru besar di Universitas King Saud) mengatakan:
"Tidak ada masalah dengan tambahan harga untuk suatu barang dagangan, selama bukan makanan, sehingga termasuk ihtikar (menimbun barang) yang hukumnya terlarang. Hanya saja, selayaknya tidak keluar dari harga normal, sehingga termasuk penipuan, yang menyebabkan pembeli memiliki hak pilih setelah jual-beli."
"Sebagian ulama menetapkan batasannya adalah sepertiga. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, "Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak." Dan ini, seperti yang telah saya sebutkan, adalah pendapat sebagian ulama."
Keuntungan tidak boleh terlalu berlebihan hingga termasuk dalam penipuan. Konsumen yang membeli barang terlalu mahal, hingga terhitung penipuan, maka konsumen punya hak 'khiyar ghabn' (khiyar karena harga yang sangat tidak layak).
Namun dalam kasus lain, jika harga jual melebihi harga pasar, maka si penjual harus menjelaskan agar si pembeli tidak tertipu. Penjual harus menjelaskan bahwa harga barang yang dia jual di atas harga pasar.
Islam memperbolehkan untuk mengambil keuntungan yang banyak dengan syarat barang tersebut bukan barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan banyak orang.
Sebab jika mencari keuntungan yang sangat besar dari barang pokok akan menyebabkan harga kebutuhan pokok tersebut menjadi tinggi, dan banyak orang kesulitan untuk mendapatkannya dan terdzalimi dari pengambilan keuntungan besar tersebut.
Mengambil keuntungan memang tidak ditentukan berapa batasan maksinal mengambil keuntungan, namun keuntungan tersebut tidak disebabkan karena usaha penimbunan (ihtikar), sehingga menyebabkan barang itu langka dan harganya menjadi mahal dan dapat mendzalimi banyak orang.
Ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi kapitalis. Ekonomi Islam sangat melarang kebutuhan hajat hidup orang banyak dimiliki oleh segelintir orang sehingga orang tersebut dapat dengan bebas memainkan harga.
Berbeda dengan ekonomi kapitalis, di mana mengambil membolehkan untuk individu memiliki seperti pertambangan, gas yang mana barang tersebut merupakan kebutuhan hidup orang banyak.
Selain itu, ekonomi kapitalis juga mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari barang-barang kebutuhan pokok masyarakat, karena jika suatu barang sangat dibutuhkan, berapapun harganya pasti akan diusahakan untuk mendapatkannya.
Sistem ekonomi kapitalis tidak memikirkan kemaslahatan hidup orang banyak, yang ada hanya untuk memikirkan diri sendiri agar dapat terus memperkaya diri dengan memeras dan menginjak rakyat kecil dengan menetapkan keuntungan yang sangat besar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H