[caption caption="Denny Thios bersama alat-alat di kediamannya. (Foto : Tawakal - Harian FAJAR)"]
"Saya pernah dipanggil kembali untuk membina atlet sambil bantu-bantu, tapi saya menolak. Soalnya, atlet yang mau dibina juga tidak ada, bisa dihitung jari," bebernya. Olahraha angkat berat dianggap tak dilirik sama sekali oleh KONI maupun pemerintah provinsi.
Ia pesimis dengan kiprah angkat besi dan berat Sulsel. Tak ada pembinaan dari daerah. Sementara menurutnya, atlet terbaik angkat berat biasanya dipupuk dari daerah yang mayoritas pekerjaannya hidup dari bertani. "Coba saja pengurus lebih serius, cari atlet dari daerah," usulnya.
Di penghujung kiprahnya sebagai atlet itulah, ia mulai menekuni usaha bengkel las peninggalan ayahnya. Meski penghasilan tak tentu, asalkan bisa makan dan hidup, itu sudah cukup baginya. Hidupnya tak lagi dicekoki dengan bidang olahraga yang justru tak dihargai pemerintah.
Di Sulsel pun, atlet angkat berat yang lolos PON XIX pun tak begitu dilirik dan sekadar dianggap non-prioritas.
Denny kini hanya menyimpan tiga medali emas sisa kejuaraan dunia dan foto-foto kenangan masa kejayaannya. Beberapa sertifikat yang sudah diplastikkannya juga jadi kenangan manis. Masih ada raut bangga dan antusias saat ia menunjukkannya pada kami. Bahkan, salah satu artikel koran yang memuat permasalahannya di tubuh PABBSI Sulsel tak dipedulikannya.
"Dulu, saya pernah begini.... Ini waktu saya di Swedia,......" sisa-sisa bukti yang membawa kami untuk mengulas kenangannya.
Seiring tenggelamnya nama sang pencetak rekor dunia ini, ia perlahan mengubur impiannya untuk kembali mengharumkan nama Indonesia. (*)
***
PRESTASI:
#Tahun 1989: Medali Perak di PON XII