“Ayolah. Kapan lagi gue yang cuma bisa bikin kopi sachetan bisa bikinin loe kopi kayak gini,” usul Jody.
Ben tersadar dengan kopi yang diminumnya. Sesegera Jody mengangsurkan kartu dari kopi yang telah disesap Ben, yang berbunyi,
"Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya."--Kopi Tiwus, card--
Jody juga tak lupa memberikan setumpuk surat dari penggemar Kedai Filosofi Kopi semenjak pensiunnya Ben dari pekerjaan meracik kopi di kedainya. Nah, bagian ini yang menurut saya cukup mendorong Ben untuk kembali menekuni passion-nya.
"Aku sudah diperalat oleh seseorang yang merasa punya segala-galanya, menjebakku dalam tantangan bodoh yang cuma jadi pemuas egonya saja, dan aku sendiri terperangkap dalam kesempurnaan palsu, artifisial! serunya gemas, "Aku malu kepada diriku sendiri, kepada semua orang yang sudah kujejali dengan kegomalan Ben's Perfecto." --Filosofi Kopi, kumpulan cerpen--
Penggambaran Pak Seno
Di sini, penggambaran Pak Seno juga agak di luar dari ekspektasi saya. Pak Seno yang diperankan oleh aktor senior Slamet Rahardjo sudah terkesan agak modern dan tak lagi memiliki sisi sederhana nan lugu. Ditambah kacamata penampilan Pak Seno justru terkesan sebagai seorang tua yang memang berpendidikan. Tidak serupa dengan petani-petani biasanya.
Salah satu adegan penutup yang paling saya sukai di dalam cerpen juga dihilangkan. Di saat Pak Seno dengan polosnya bertanya kepada istrinya perihal kertas yang ada di tangannya. Mereka tidak tahu bahwa kertas tersebut adalah cek yang bernilai uang puluhan juta rupiah.
***
Sebenarnya, masih ada banyak pembeda yang mengusung cerita Filosofi Kopi. Terlepas dari iklan produk yang beberapa kali melintas dan agak mengganggu penampakan film. Suara “slurpp” minum kopi para pemeran yang sengaja didramatisir demi mengundang keinginan penonton minum kopi. Jumlah uang taruhan yang berbeda dan terkesan tidak masuk akal. Ending cerita yang dibuat dengan sentuhan berbeda.
Meskipun secara mendasar, ceritanya tetap dibuat sama. Dewi Lestari sebagai penulisnya juga merasa terkesan oleh pengubahan ceritanya. Entahlah, apakah karena tuntutan pasar, zaman, atau kondisi internal penggarapan film itu sendiri.
Bagi penonton yang belum pernah membaca kisahnya di buku secara langsung, tentu saja akan merasa excited dengan film yang berdurasi 117 menit itu. Apalagi dengan tokoh ganteng (bagi cewek) seperti Chico Jericho dan Rio Dewanto. Oiya, Baim Wong juga turut memerankan salah satu tokoh dalam film itu.
Terlepas dari segala perbedaan itu, film adaptasi memang tak pernah bisa sesempurna cerita aslinya. Bagaimanapun juga, imajinasi tiap orang berbeda-beda. Membuat film yang memenuhi keinginan setiap kepala itu sangatlah sulit pastinya, dan membutuhkan budget yang tak sedikit.