Jadi, cerita di buku tidak menghubungkan langsung antara Kopi Tiwus dengan pengusaha itu. Justru pengusaha sudah merasa terpenuhi dengan Ben’s Perfecto dan menghadiahi mereka cek senilai Rp 50juta rupiah. Pengusaha di buku malah tak pernah menyesap aroma Kopi Tiwus.
“Sukses adalah wujud kesempurnaan hidup,” Ben’s Perfecto, card.
Sementara Kopi Tiwus bukanlah soal Ben memenuhi tantangan kepada pengusaha, melainkan tantangan atas obsesinya sendiri. Dari sana, ia disadarkan dengan “keangkuhannya” atas kopi yang selama ini dibanggakannya.
"Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan," --Filosofi Kopi--
Penyadaran itu diperolehnya dari Pak Seno yang sederhana nan lugu. Ditambah dengan sentuhan seorang sahabat terbaik seperti Jody. Bahwa tak ada yang sempurna dalam hidup ini.
Latar Belakang Ben Mencintai Kopi
Nah, di sisi film, hal ini cukup dibuat berbeda oleh sang sutradara. Jika di buku tidak disebutkan latar belakang Ben sangat terobsesi dengan kopi, maka di filmnya, keping demi keping ditunjukkan bagaimana sebuah peristiwa membuat Ben sungguh mencintai dunianya.
Ben yang berasal dari keluarga petani kopi. Lahan yang harus berganti dan ditanami sawit oleh pemerintah. Ibunya yang meninggal di tengah pergolakan masyarakat atas kebijakan tersebut. Bapaknya yang dulu sangat mencintai kopi berubah jadi sangat membenci kopi sepeninggal ibunya.
Cerita mengenai latar belakang kehidupan Ben ini ini menjadi bagian tersendiri dalam mendramatisir beberapa adegan. Kisah-kisah tersebut sengaja dibuat demi mengantar penonton pada keharuan. Ada sisi sentimentil penonton yang ingin disentuh oleh sutradara maupun produser film.
Saya sendiri dibuat menitikkan air mata ketika menyimak adegan Ben pulang kampung, memutuskan pensiun dari pekerjaannya membuat kopi. Kehangatan bersama bapaknya di rumah sungguh mengingatkan saya tentang rumah.
Ada sisi kelam hidup saya yang nyaris mendekati kisah Ben yang pergi dari rumah. Mengingatkan dan membuat saya banjir air mata. Ah, sudahlah, saya tidak ingin menangis hanya karena menghingat-ingat bagian seperti ini dan menuliskannya. Serius, mata saya sekarang sedang berkaca-kaca.
“Buatkan bapak kopi. Sudah 13 tahun bapak tidak merasakan kopi buatan kamu,” ujar bapaknya, yang menyodorkan sebungkus biji kopi kepada Ben di meja makan.
Kopi itu adalah kopi terakhir yang disimpannya, setelah ia mengamuk membakari semua karung kopinya dulu. Demi menunggu kepulangan anaknya belasan tahun, ia menyimpannya.