Mohon tunggu...
Imam Rahmanto
Imam Rahmanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Coffee addict

Cappuccino-addict | Es Tontong-addict | Writing-addict | Freelance

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Racikan Berbeda dari Filosofi Kopi

12 April 2015   14:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:13 3846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sisi lain, sutradara berhasil mengundang haru dari penontonnya. Di tengah bioskop, saya mendengar beberapa orang di belakang saya sedikit menangis karena adegannya. Apalagi ketika Ben menemani Pak Seno ke kebun kopinya dan terputarlah kembali ingatan Ben tentang masa kecilnya dulu. Kalau yang bagian ini saya biasa-biasa saja.

[caption id="attachment_378074" align="aligncenter" width="597" caption="Ben bersama Pak Seno dan istrinya di tengah kebun kopi Tiwus. (Sumber: Filosofi Kopi Movie)"]

14288229761022308339
14288229761022308339
[/caption]

Penemuan Jati Diri Ben

Saya kehilangan sentuhan dengan penyadaran akan obsesi Ben di filmnya. Setelah menemukan Kopi Tiwus memang yang terenak, mengalahkan Ben’s Perfecto, Ben merasa terpukul. Ia tak terima kopi racikannya bisa dikalahkan oleh kopi seduhan biasa yang dibuat oleh petani desa. Ia pun memutuskan pensiun dari pekerjaannya sebagai peracik kopi.

“Gue gak pernah main-main soal kopi,” tutur Ben, di film, selalu kepada Jody tentang kecintaannya pada kopi.

Antara buku dan filmnya, keduanya memiliki hubungan yang sama. Sayangnya, proses penyadaran Ben kembali yang agak berbeda.

Di film, dengan memanfaatkan sisi “pemanis” El sebagai seorang wanita cantik, Ben tersadarkan oleh pertengakarannya dengan El di sebuah wisma setelah mereka berkunjung ke warung Pak Seno. Biasa kan dalam film, tokoh yang akan saling-suka bertengkar hebat dulu, bahkan saling membenci, yang ujung-ujungnya bakal saling naksir. Hal itu ditunjukkan pula dalam film ini, kelak di akhir filmnya.

Selain itu, Ben juga kembali menemukan jalan hidupnya usai dari “pulang kampung”. Dari sana, ia menemukan kembali makna kehidupannya. Menemani bapaknya selama beberapa hari di rumah memberinya kesadaran tentang passion-nya itu. Sebagai sahabat, Jody juga mengunjungi dan mengajaknya kembali.

“Ibarat tubuh, kalau gue adalah otaknya, maka loe adalah hatinya,” pesan Jody.

“Jadi, maksud loe, gue gak punya otak gitu?” canda Ben tiba-tiba, sembari tertawa.

Yang berbeda, di bukunya, Ben justru menemukan kesadaran dirinya benar-benar berasal dari persahabatannya dengan Jody. Di bagian ini saya merasa bagian paling manis. Manis sekali. Bagian yang justru dibelokkan dalam filmnya. Di saat Jody untuk pertama kalinya membuat sendiri kopi dan membaginya dengan Ben.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun