Mohon tunggu...
Imam Rahmanto
Imam Rahmanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Coffee addict

Cappuccino-addict | Es Tontong-addict | Writing-addict | Freelance

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bank "Ini" Kaku Aturan

11 Februari 2014   19:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:55 8540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kunjungan kedua saya ke bank tersebut ditemani oleh kakak sepupu saya. Ia berinisiatif untuk menemui kenalannya untuk menyelesaikan masalah ini. Ia mengenal staf kantor cabang disana dan berharap bisa diberikan sedikit kebijakan terkait hal itu atas unsur "saling percaya". Maklum, keluarga Paklik saya mungkin menjadi nasabah yang sudah dikenal karena tergolong memiliki usaha bisnis yang besar.

Hanya saja, ketika sudah berbicara panjang lebar, tetap saja teller yang bersangkutan "keras kepala". Karena ujung-ujungnya, Awi yang merupakan PJs disana hanya bisa bertanya kepada teller terkait mekanismenya, dan membenarkan penjelasan teller tadi.

"Maaf, saya juga tidak bisa apa-apa," sesalnya.

"Masa tidak ada kebijakan lainnya agar uang tersebut bisa ditarik? Ini ayah saudara saya sedang sakit, lumpuh. Tidak bisa langsung kesini untuk mengambil uangnya," kakak sepupu saya bernegosiasi dengan kenalannya itu. Awi kemudian melirik ke teller dengan tatapan "bagaimana?"

"Maaf, Pak. Kami tetap tidak bisa. Ini sudah peraturannya. Kalau memang mau ambil uangnya, ya hadirkan orangnya disini. Harus bertanda tangan di hadapan teller," ketus teller itu lagi.

Akhirnya kami mengalah. Kami kembali pulang dan terpaksa menyertakan ayah saya di kunjungan yang ketiga. Kami membawanya dengan mobil. Kursi roda yang biasa digunakannya turut kami angkut sampai ke kantor bank.

Namun, saya tidak sampai harus mengangkat ayah saya keluar lagi dari bank. Tiba-tiba PJs yang tadi kami temui di dalam keluar dari kantornya bersama kakak sepupu saya. Ia membawa semacam slip untuk ditandatangani ayah saya di mobil. Sambil bersungut-sungut, kakak sepupu saya menyilakan PJs itu melihat sendiri keadaan ayah saya. Saya memang beberapa kali mendengar kakak sepupu saya berkomunikasi dengan seseorang di ujung teleponnya, terkait hal ini. Mungkin pimpinan kantor unit itu. PJs itu hanya bisa memohon maaf sambil menyegerakan mengurus penarikan tabungan ayah saya.

Uang yang awalnya hanya ingin ditarik sebagiannya saja, diputuskan untuk ditarik semuanya. Bahkan, ayah saya berencana menutup tabungannya disana. Kami kesal dengan pelayanan Bank BRI yang sangat kaku dengan aturan yang berlaku. Penetapan aturan yang hanya berdasarkan pada logika tanpa menyentuh sisi kemanusiaannya.

"Ini kan soal uang. Jadi kita juga tidak bisa berlaku sembarangan tanpa sesuai proaesur," tutur teller lainnya ketika sudah melayani penarikan uang saya.

Prosedur sih prosedur. Tapi, seyogyanya peraturan juga dijalankan dengan melihat dan memperhitungkan sisi kemanusiaannya juga.

Sama halnya dulu, menurut pengakuan ayah saya, ia pernah dipersulit pula ketika hendak menarik uangnya di Jawa. Lucunya, hanya persoalan nomor KTP yang berbeda karena ayah saya punya KTP lama dan KTP baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun