Dahulu kala…
Memasuki usia awal perkuliahan, saya orang yang kerap bolak-balik menyambangi warung internet (warnet). Maklum, saya berasal dari daerah yang sangat minim akses internet. Hanya satu sekolah kejuruan di tingkat kecamatan yang dilengkapi dengan akses internet di laboratoriumnya. Pun, satu-dua-tiga komputer aktif. Kalau ingin mencicip internet, jarak yang ditempuh kesana sekira 15 menit berkendara motor.
Wajar, di kala tersentuh teknologi internet untuk pertama kalinya di perkotaan, saya menjadi penasaran tingkat akut. Obsesif. Saking akutnya, tiada hari tanpa masuk warnet.
Saya menyelami banyak hal. Mulai dari membuat akun jejaring sosial, hingga download hal-hal yang tidak jelas. Namun, paling utama, saya tergiur membuat blog. Alasannya sederhana; saya juga ingin terkenal di dunia maya, sebagaimana orang-orang yang terkenal karena telah berbagi di dunia maya. Mereka biasanya fokus untuk berbagi pada item-item tertentu: software, ebook, gambar, musik, komik. Saya pun ingin demikian.
Mulailah saya membuat blog dengan nama yang keren dan mudah diingat. Tampilannya dipermak agar terlihat lebih teknologi-banget. Seringkali saya menghabiskan berjam-jam lamanya hanya untuk learning by doing persoalan template. Saya lantas membuat akun-akun penyimpanan file di ziddu dan sejenisnya. File-file tertentu saya unggah dan sediakan tautan unduhannya di dalam blog. Hal itu berlangsung cukup lama. Hanya saja…tak konsisten dan agak hambar. Ada ruang di hati saya yang masih kosong…
Berselang lama, blog saya “lumutan” dan dipenuhi sarang laba-laba. Tak pernah lagi dikunjungi pemiliknya sendiri. Mungkin, saya juga disibukkan dengan kegiatan di dunia nyata, selaku mahasiswa. Apalagi perjalanan saya di perkuliahan mulai melingkupi aktivitas pers mahasiswa dan segala tetek-bengek nulis beritanya. Kami adalah orang-orang yang akrab dengan deadline.
Dunia berita juga erat kaitannya dengan dunia menulis. Saban hari saya harus berinteraksi dengan narasumber dan menuliskannya menjadi rangkaian berita utuh. Rasanya juga menantang. Bedanya, saya menulis berita karena tekanan deadline dan tanggung jawab. Nyaris sama taste-nya dengan menyelesaikan tugas-tugas kampus. Sebuah perkara-yang-tidak-boleh-tidak-untuk -diselesaikan.
“Sekali-kali cobalah untuk menulis atas dasar keinginan sendiri. Menulis, yang bukan karena tuntutan. Menulis, yang bukan karena tugas. Menulis, yang bukan karena disuruh. Melainkan menulis, yang karena kita ingin menulis. Tentang apapun itu,” pikiran saya yang mencuat suatu waktu.
Saya butuh melegakan pikiran dengan menulis hal lain, yang benar-benar ditulis karena kita mau. Sehingga tekanan atas berita bisa diseimbangkan. Alur minat saya terhadap blog kemudian berubah seiring passion yang ingin saya asah secara konsisten itu, yakni menulis.
Restart, saya mengubah blog lebih sederhana. Mulai dari nama, hingga tampilannya. Saya cukup membangun satu hal; kekonsistenan.
[caption id="attachment_350570" align="aligncenter" width="539" caption="Doodle by me (Foto: ImamR)"][/caption]
Berangsur-angsur, saya kemudian paham bahwa ngeblog tak lagi soal tampilan yang keren (dan ngejreng), blog yang sering dikunjungi, blog yang menyimpan beratus-ratus file donlotan, blog yang berulang-ulang menjadi acuan tulisan orang lain, hingga blog yang sudah berkawan akrab dengan Google.
Blog ibarat rumah di dunia maya dengan segala isi dan perabotannya. Apapun yang ingin dituangkan pemiliknya adalah hak prerogatifnya sendiri. Berbeda halnya dengan jejaring sosial yang kini menjamur, saya menganggap mereka (facebook, twitter, picasa, flickr, soundcloud, youtube, dll) hanya sebagai ruang publik di dunia maya.
Facebook atau twitter, sebagai area berdiskusi dan mencari teman. Picasa atau flickr hingga instagram, sebagai ruang pameran karya-karya foto. Soundcloud, sebagai ruang bersenandung bebas. Begitu pula dengan youtube yang selalu menjadi primadona di kalangan orang-orang yang ingin memamerkan audio-visual mereka.
Secara komplementer, jika dunia nyata punya areanya masing-masing, maka dunia maya merepresentasikannya secara “tak nyata” area-area itu. Jika blog adalah “rumah”, maka dunia maya juga punya representasinya sendiri atas rumah sakit, kantor polisi, tempat perbelanjaan, taman, dan sebagainya. Nah, dari sini saya menyimpulkan, gelandangan dunia maya adalah orang-orang yang tak memiliki blog atau website sebagai “rumah” tempat bernaung.
Blog yang keren bukan dilihat dari seberapa memikat tampilannya, melainkan seberapa konsisten pemiliknya mengisi dan memperbaharuinya. Percuma memiliki rumah keren dan megah kalau tak pernah diisi atau ditinggali, bukan?
Saya tak peduli lagi dengan tampilan blog yang sederhana. Saya hanya ingin terus menulis. Mengabadikan atau sekadar membekukan setiap momen-momen penting yang terjadi dalam hidup saya. Kelak, ketika saya beranjak tua, ada tulisan-tulisan yang mengingatkan saya sekadar mengurut dada, mengerutkan kening, hingga mengulas senyum malu-malu. Pun, saya bisa dengan bangga memamerkannya kepada anak-cucu saya kelak.
Blog adalah tempat saya kembali, melepas penat dari dunia nyata. Tempat penuangkan ide ataupun keluh kesah. Tempat berbagi banyak hal yang terjadi dalam hidup ini. Tak peduli ketika orang membacanya atau tidak. Tak peduli orang mencibir atau melipir. Bagi saya, yang terpenting, adalah terus menulis.
Kita takkan pernah tahu bahwa ada orang-orang yang terinspirasi atas cerita-cerita yang kita bagikan. Atau ada yang sekadar tersenyum-senyum membaca tulisan itu. Bahkan, bisa saja ada orang yang diam-diam mengagumi tulisan kita. Karena sejatinya, tulisan merepresentasikan sebagian besar jiwa dan kepribadian penulisnya. Nah, lewat tulisanlah, orang-orang bisa mengenal dan dikenal.
Dan “rumah” ini adalah tempat saya pulang dan menyambut tetamu…
--Imam Rahmanto--
Catatan: tulisan untuk menyambut Hari Blogger Nasional yang jatuh pada 27 Oktober, 2 hari yang lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H