Mohon tunggu...
Imam Prihadiyoko
Imam Prihadiyoko Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis

hobi travel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Klampok: Jawaban (12)

10 Desember 2024   22:23 Diperbarui: 10 Desember 2024   22:23 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Joy merasa sedikit agak lega. Ia telah mendapatkan kemungkinan jawaban atas ketidakpuguhan yang dialaminya  dalam enam jam terakhir. Ia pun memutuskan, akan terus mencari jawaban yang lebih pasti atas ketidakpastian yang membuatnya bingung. Joy paling sebel dengan ketidaktahuan, atau hal yang di luar kendalinya. Namun, apa arti semuanya itu yang membuatnya penasaran dan ingin mendapatkan jawaban.

Ia ingat betul, dengan beberapa tahapan yang dilaluinya barusan. Ia segera membuat pencatatan tentang urutan peristiwa dengan detail. Bahkan, ditambahkan dengan catatan-catatan perasaannya saat mengalami peristiwa itu. Mumpung semuanya terjadi tidak lebih dari tiga hari, sejak kepulangannya dari Jakarta ke kota kelahirannya, Malang. Semua terasa sangat cepat terjadi. 

Semua kronologi itu dituliskan lengkap di dalam laptop yang selalu dibawa kemanapun ia pergi. Sekarang, Joy memang tampak gelisah. Jangan-jangan apa yang diduganya betul. Jangan-jangan, apa yang dilakukannya akan menjadi takdir baru yang membawanya menuju garis kehidupan yang sangat berbeda dengan yang sudah dijalani selama sepuluh tahun terakhir. Ia ingin ketenangan, namun juga penasaran dengan sesuatu yang belum diketahuinya dengan pasti.

Jangan-jangan, ah sudahlah. Pikirannya mulai berkecamuk. Lebih baik tidak usah kebanyakan memikirkan jangan-jangan itu. Lebih baik mulai melakukan uji coba dari rangkaian tes yang sudah disiapkannya sendiri.

Lebih baik, ia mengerjakan sesuatu yang lebih pasti. Sesuatu yang menurutnya bisa dikendalikan. Meskipun, itu baru merupakan kemungkinan yang akan terjadi. Namun, paling tidak ia sudah berdiri di persimpangan jalan dengan arah yang lebih pasti. Ia tinggal memilih akan berbelok kemana jalan yang akan dilalui. Ia memang harus terjun dan melihat sendiri, kondisi kemajuan yang dicapai sebuah wilayah, misalnya.

Seandainya saja google maps bisa memberikan jawaban tercepat seperti mencari lokasi, tentu itu akan dilakukannya. Tetapi ini tidak mungkin dikerjakan oleh peta pintar itu. Berbagai pilihan yang ada itu, harus dijalani oleh dirinya sendiri. Tidak bisa juga dilakukan oleh orang lain. Tak bisa diwakilkan. Harus dilakukan sekarang.

Joy pun merasa memiliki tanggungjawab berat, untuk menjalankan sebuah amanah yang ia tak tahu persis bentuknya apa. Setahun lalu, tanggungjawabnya hanya menjalankan resto dengan menu khas bebek bakar. Menu yang membawanya dikenal banyak orang di kalangan penggemar kuliner. Ditambah lagi dengan liputan sejumlah media nasional, membuatnya punya posisi terhormat di dunia kuliner di Jakarta, dan mungkin di Indonesia.

Restonya selalu ramai dikunjungi. Sejak buka pada jam 8.00 pagi, hingga ditutup pada jam 23.00 malam, hampir tidak pernah kosong pengunjung di restonya. Mereka datang silih berganti. Hampir-hampir karyawan tidak punya cukup waktu untuk istirahat. Merekapun memaklumi kondisi resto yang selalu padat dengan pengunjung. Mereka bekerja keras, namun senang. Karena mereka tahu, akan mendapat reward yang sebanding dengan kerja keras mereka.

Pada hari-hari tertentu, atau saat malam Ahad, atau hari libur nasional, biasanya resto akan tutup lebih malam. Pada malam pergantian tahun baru, mereka baru tutup jam 3.00. Tapi keesokan harinya, mereka libur seharian.

Joy sadar, ia bukanlah pakar kuliner pada masa ini. Bukan pula chef handal yang menekuni proses mengolah makanan hingga disajikan di meja. Semua yang dilakukannya itu, berkat pengalaman masa kecil yang sering membantu ibunya memasak di dapur. Selain juga, kebiasaan ikut menyiapkan makanan di tempat warga yang punya hajatan. 

Bakat meramu bumbu dari bahan yang ada, itu semakin terasah saat kos, ketika melanjutkan kuliah di Jakarta. Beruntung, kosnya mempunyai dapur bersama yang bisa dipergunakan bagi anak kok yang ingin menyiapkan sendiri makanannya. Ia pun semakin lincah beraksi di dapur.

Tak terpikir juga, sebelumnya jika ia akan punya keterikatan dengan kuliner. Apalagi, bidang keilmuan yang dipelajarinya justru arkeologi. Sebuah keilmuan yang dianggap banyak orang sebagai jurusan air mata. Pasalnya, tidak mudah untuk digunakan sebagai bekal dalam mencari pekerjaan saat ini. 

Ah sudahlah, lagi-lagi Joy menarik nafas panjang, dan melepaskan semua energi negatif yang tiba-tiba menyergap. Ia ingin semuanya ada dalam kendali. Paling tidak, ada petunjuk yang jelas dan bisa dijadikan pegangan.

Kuliner, diakuinya sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Suka atau tidak, ia sudah punya tanggungjawab untuk menjaga kelangsungannya. Apalagi, paling tidak sekarang ada delapan keluarga yang bergantung hidupnya dari keberlanjutan resto itu. Mereka semua, sudah ia anggap sebagai bagian dari keluarganya. Merekalah yang telah membersamainya selama hampir sepuluh tahun terakhir. Sejak ia merintis usaha itu, hingga terpaksa ditutup karena keputusan pemerintah untuk membatasi pergerakan penduduk dan aktivitas warga yang berkumpul. Termasuk menutup, resto yang menjadi andalannya.

Apakah ia akan menjalani sebuah tanggungjawab baru, entahlah. Tapi Joy merasa tetap akan menjalankan bisnis kulinernya. Bisnis yang menjadi pasionnya selama hampir sepuluh tahun terakhir.

Salah satu coretannya untuk dikerjakan, menguji jawaban atas kekalutan dalam enam jam terakhir dalam hidupnya ini, membuat Joy merasa harus melangkah. Pengujian ini memang tidak ada kaitannya dengan soal dan penilaian lulus atau tidak, seperti ketika ia sekolah atau kuliah. Ini bukan soal lulus atau gagal. Ini bisa jadi bagian dari perjalanan hidup yang harus, atau akan dijalani oleh Joy kedepan.

Kesakitan dan tekanan kehidupan mungkin akan muncul, karena berjalan dalam dunia mistis yang ingin dirasionalisasikannya dalam bentuk jawaban saintifik. Kondisi seperti ini tentu saja memunculkan perjalanan mistis yang justru bertolak belakang dengan arah tujuan jalan mistis itu. Bahkan, mungkin berlawanan dengan tradisi dan budaya lahiriyah. 

Sebuah kondisi dalam masyarakat Jawa, yang bisa jadi dianggap sebagai sebuah kewajaran. Memang seperti itulah adanya. Memang sewajarnya begitu, tak ada penolakan ataupun pertentangan yang muncul atau dimunculkan. Semuanya berjalan apa adanya.

Memang, sejumlah pakar akan mencari pembenaran-pembenarannya sendiri. Mereka akan menyusun bangunan argumentasi yang njlimet, sampai-sampai mereka sendiri pun kehilangan jejak dan pegangannya. Bisa jadi. Bisa juga tidak. Atau bisa juga berada dalam titik diantara keduanya.

Kepakaran rasionalis yang jadi bawaan orok yang ada pada dirinya, membuat mereka dengan jumawa melukiskan gerakan perlawanan itu secara serampangan. Mereka memberikan penilaian atas perjalanan mistis itu sebagai musuh atau lawan budaya sejati dari tradisi ilmiah.

Sebuah tradisi yang dikatakan egaliter dan demokratis. Mungkin penting, disaat setiap orang mempunyai pengalaman batin yang berbeda meskipun mereka berjalan beriringan di jalur jalan yang sama.

Kehidupan batin setiap insan, tidak terpengaruh oleh penetapan yang dipaksakan oleh takdir. Kehidupan batin tidak ditentukan oleh jenis kelamin, kelas sosial, usia, ras, spesies, bahkan sampai tingkat tertentu kategorisasi tingkat pendidikan dan sejenisnya, terkadang juga tidak bisa dipilih dalam kehidupan yang teramat singkat. Kalau dibandingkan dengan perjalanan kemanusiaan itu sendiri yang jauh, sangat jauh lebih panjang.

Seperti halnya tokoh Rumi, Jalaludin Rumi yang kepakarannya tidak diragukan lagi. Kepiawaiannya dalam suluk dan seni budaya, menghasilkan penghormatan yang lintas batas.  Rumi menghormati seorang budak hingga syaikh dan raja. Tapi saat bersamaan juga menghargai keberadaan sapi, burung kakaktua, anjing dengan rasa hormat serta kebaikan hati yang sama.

Rumi menghargai semua makhluk dengan kualitas kebatinan yang diungkapkan dengan nyata. Itu yang membuat kita semua bisa menyaksikan bagaimana semua makhluk itu bisa muncul setara dalam rangkaian kata-kata dalam puisinya. Bahkan terkadang, Rumi menggambarkan betapa hewan bisa lebih bijak dalam menjalani kehidupan ketimbang manusia.

Manusia terkadang terkungkung dalam tempurung paradigma budaya yang dibangunnya sendiri. Kemudian enggan keluar karena dalam tempurung itu menghasilkan kenyamanan dan kekuasaan, atau bisa jadi juga karena keterpaksaan.

Mengingat itu semua, membuat Joy pun melangkah dengan lebih berani. Ia hanya ingin mendapatkan kepastian saja dari apa yang dialaminya. Ia ingin mendapatkan jawaban.

Apakah ia sedang ngelindur atau sadar sepenuhnya. Ataukah ia sudah gila akibat tekanan kehidupan yang jauh dari apa yang dibayangkan sebelumnya. Sehingga secara psikologi, ia mulai membangun benteng baru untuk mempertahankan ego nya. Ia mengunci dengan kuat dirinya dalam benteng baru itu, dan tak mengizinkan orang lain untuk masuk dalam bentengnya yang kokoh.

Ia sadar, dalam kebudayaan kesadaran lahiriyah, tidak bisa diabaikan begitu saja. Apa yang dirasakan, dilihat dan dialaminya, menjadi sebuah proses pengalaman yang teramat penting untuk diabaikan. Ini yang membuatnya tidak berhenti membuat pagar untuk mengamankan keberadaan dirinya. Semula hanya pagar kayu kecil, kemudian dibuat pagar tembok yang kokoh dan tebal, dan bahkan dilapisi dengan lempengan baja yang kuat, sehingga semakin sulit ditembus dari luar. Satu-satunya untuk menerobos tempat itulah adalah membuka kunci dari dalam.

Kenyatannya, memang ini bukan berupa pagar tembok yang dibangun dari ikatan semen pasir dan batu serta ram kawat baja, ini lebih merupakan pagar psikologi. Smoga saja ia tidak sedang mengalami kegilaan itu.

Apalagi, berbagai bentuk nyata yang terlihat dan dirasakannya dalam kehidupan enam jam terakhir itu, begitu sempurnanya untuk dikatakan sebagai sebuah hoax ataupun kepalsuan dalam kehidupan. Bentuk-bentuk yang terlihat itu, menentukan kedudukan dirinya dalam lingkungan yang baru. Ini mendorongnya untuk bereaksi sesuai dengan kondisi kekinian yang dihadapinya.

Memang dalam perjalan kehidupan nyata, terkadang kita memilih apa yang dianggap menguntungkan bagi dirinya. Keuntungan ini, terkadang juga bukan sekedar keuntungan finansial materi, tetapi juga non materi yang sering terlupakan. Mungkin jika kita tidak terlalu sering lalai, maka akan mendapatkan apa yang diperlukan dalam menjalani kehidupan.

Ketika memasuki perjalanan batin, akan menempatkan kita pada persimpangan jalan dengan konsekuensi memberikan prioritas pada budaya yang lebih menghargai pedoman kehidupan batin. Sebuah pengalaman yang mungkin tidak bisa dipegang oleh tangan badan kasar manusia, namun bisa digenggam oleh keilmuan dan kesadaran akan kedirian asebagai makhluk yang punya kewajiban untuk taat dan tunduk pada Allah SWT, sang pemberi kehidupan dan pembolak-balik hati.

Rumi pernah menjelaskan kondisi ini sebagai perangkap yang mengekang manusia. Kita dihimpit diantara sebuah batu dan sebuah medan yang terjal lagi berat. Kerinduan akan makna kehidupan memang sangat mendesak, tetapi begitu pula tuntutan untuk melunasi berbagai tagihan hutang dan biaya kehidupan, menafkahi istri dan anak-anak juga menjadi kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Semua itu ada di depan mata, dan bukan lagi menjadi sebuah pilihan.

Pada saat yang sama, kita juga punya keinginan untuk mempertahankan citra kehidupan yang bijaksana, di tengah  masyarakat yang mungkin saja sudah dirantai oleh materialisme. Tidak heran jika mereka tidak lagi berjalan dengan petunjuk batin yang murni, yang ada hanyalah pertimbangan materi, keuntungan atau kerugian finansial, dan melupakan rasha dan meninggalkan kehidupan mistis. Semakin besar kerinduan itu, semakin kuat kita terperangkap. Rumi pun menggunakan kiasan berupa hewan-hewan mulia yang dikerangkeng oleh manusia.

Berikut cukilan percakapan burung elang yang masih sedikit diingat Joy, yang sempat tergila-gila dengan puisi Rumi.

Raja mempunyai seekor burung elang,

yang terbang jauh pada suatu hari,

dan masuk ke tenda wanita tua,

yang sedang membuat gorengan tepung bumbu

untuk anak-anaknya.

"Siapa yang memeliharamu?"

tanyanya, sambil dengan cepat mengikat 

kaki burung elang itu.  

Dia menggunting

sayap-sayapnya yang indah dan memotong

cakar-cakarnya yang tajam dan memberinya makan jerami.

Joy pun tidak bisa meneruskan lagi bait-bait tersebut. Sebagian teringat, sebagian lagi terlupakan. Puisi Rumi itu dulu sering dibacanya dalam buku yang berisi kumpulan tulisan, ada di perpustakaan kampus. Buku Rumi memang seperti magnet kuat yang menarik semua perhatiannya. Ia pun pernah tenggelam dalam keindahan kata-kata Rumi.

Tak sadar Joy pun memikirkan Rumi dan buku-buku puisinya. Ia duduk di kursi kayu kebanggaan ayahnya, yang ada di salah satu sudut ruang tamu rumah masa kecilnya. Memikirkan Rumi membuatnya ingin menyeduh kopi, ia pun bangkit dan berjalan ke arah dapur. Namun perjalanannya menuju dapur rumah yang cukup dekat itu, malah membawanya ke kantin yang ada di sebelah perpustakaan. Tak sadar ia pun memesan kopi pahit dan singkong goreng. Sementara di tangannya sudah tergenggam buku kumpulan puisi Rumi yang pernah dibacanya.

Wah... Joy pun tersadar dengan apa yang terjadi. Ia pun bertanya pada mas Joni, penjaga kantin yang dikenalnya dengan baik ketika masih kuliah dulu.

"Mas, tanggal berapa sekarang?" tanyanya.

"Langsung dijawab tanggal 11 mas Joy," jawab Joni.

"Bulan dan tahunnya," tanya Joy lagi.

"Wah mas Joy jangan becanda dong, masa bulan dan tahunnya juga lupa. Juni mas tahun 1993," ujar Joni sambil menertawakan pertanyaan Joy.

Joy pun lalu garuk-garuk kepala, mencoba mencerna dan kembali tangannya menjambak rambut di kepalanya, dan memang terasa sakit. Sambil menyerahkan uang pembelian, Ia pun mengambil secangkir kopi yang sudah disiapkan oleh Joni. Joy pun kembali berjalan mengarah ke meja yang ada di depan cafe.

Cafe yang lokasinya cukup strategis ini, membuat orang-orang ingin mencoba kopi van kampus yang terletak  di samping perpustakaan kampus.

Belum berapa lama ia duduk, Joy mendengar namanya dipanggil oleh Dadang, teman kuliahnya yang seingatnya sekarang mengajar di almamater mereka. Tanpa banyak kata pengantar, Dadang bercerita kalau ia ingin menjadi dosen di kampus mereka setelah lulus kuliah. Ia merasa dunia kampus dan lingkungan ini akan menjadi tujuan hidupnya. Ia ingin mengajar mahasiswa yang setiap tahun datang silih  berganti.

Joy pun mengaminkan semua itu, dan mendukung sepenuhnya sambil berkata, kalau suatu saat ia menemukan artefak bersejarah, bisa lebih mudah meminta bantuan Dadang, sohibnya yang masih berada di kampus dan menjadi dosen.

"Aku tinggal dulu ya Joy," kata Dadang yang juga tanpa bercerita banyak, langsung ngeloyor berjalan ke arah kedatangannya tadi.

Kembali Joy seorang diri dan berusaha mencerna apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Apa ia sudah gila, ataukah menemukan mesin waktu yang bisa membawa kemana saja. Namun ia tiba-tiba bergidik ketakutan, karena tersadar tidak tahu caranya kembali ke waktu atau era keberadaan dirinya.

Keringat dingin tiba-tiba mengucur deras, dari dahi dan sekujur tubuhnya. Padahal, udara semilir di cafe ini seharusnya tidak memunculkan buliran keringat. Ia berusaha mengingat semua yang terjadi dalam beberapa menit terakhir, dan pengalaman dari beberapa jam sebelumnya.

Ingatannya inilah yang membuatnya bangkit dari bangku cafe, lalu berfikir  untuk berjalan ke arah ruang tamu di rumahnya. Apalagi, seingatnya tadi, ia ingin membuat kopi dan berjalan ke arah dapur. Joy pun berusaha berjalan menyusuri arah kedatangannya sebelum menuju cafe kampus. Ia tidak sadar sepenuhnya, dengan perubahan dimensi yang dihadapinya.

Joy tiba-tiba melihat kursi kayu kebanggaan ayahnya. Kursi yang menurut perkiraannya, menjadi salah satu kunci penting dari perjalanan melintas waktu. Joy pun berjalan lebih cepat agar bisa segera duduk dan dijadikan pegangan. 

Begitu ia menyentuh kursi tersebut, seketika itu juga semua kembali ke keadaan semula. Ia berada di ruang tamu di rumah masa kecilnya. Joy pun menarik nafas lega. Perlahan kucuran keringatnya mulai berkurang, dan degup jantungnya pun berangsur menjadi normal lagi. Pengalaman barusan itu, menyisakan tanda tanya yang sedikit menyenangkan, sekaligus menakutkan bagi Joy.

Di kejauhan, ia merasa seperti ada seseorang yang memperhatikannya. Sosok yang tidak terlihat oleh Joy itu, seperti sedang memberikan perintah untuk menjalankan tugas penting. Ini mungkin kali pertama Joy mengalami peristiwa aneh, tetapi masih bisa sadar.

Biasanya, ketika mengalami peristiwa aneh itu, kesadarannya seperti sedang diombang-ombingkan. Baru kali ini, Joy tidak mendapatkan gangguan dari petani yang bernama Ujang. Dan ia sedang melakukan pembagian pembayaran upah mingguan pada seluruh pegawai yang bekerja di rumah itu.

Kali ini, ia masih bisa merasakan sebuah kesadaran yang tidak membawanya dalam kondisi memabokkan. Kemarin dulu atau lusa, menjadi waktu yang sangat relatif. Tatapan mata sosok yang selalu hadir mengikuti irama musik sang rektor. Ia pun mencoba peruntungannya dan memutuskan untuk membeli beberapa barang kebutuhan yang diperlukannya.

Selama ia berada di rumah itu, Joy pun mendapatkan dirinya dalam keadaan badannya sedang  bekerja. Sementar jejaring media sosial, menyiarkan sejumlah isu yang rasanya belum pernah diketahui sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun