Belum berapa lama ia duduk, Joy mendengar namanya dipanggil oleh Dadang, teman kuliahnya yang seingatnya sekarang mengajar di almamater mereka. Tanpa banyak kata pengantar, Dadang bercerita kalau ia ingin menjadi dosen di kampus mereka setelah lulus kuliah. Ia merasa dunia kampus dan lingkungan ini akan menjadi tujuan hidupnya. Ia ingin mengajar mahasiswa yang setiap tahun datang silih  berganti.
Joy pun mengaminkan semua itu, dan mendukung sepenuhnya sambil berkata, kalau suatu saat ia menemukan artefak bersejarah, bisa lebih mudah meminta bantuan Dadang, sohibnya yang masih berada di kampus dan menjadi dosen.
"Aku tinggal dulu ya Joy," kata Dadang yang juga tanpa bercerita banyak, langsung ngeloyor berjalan ke arah kedatangannya tadi.
Kembali Joy seorang diri dan berusaha mencerna apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Apa ia sudah gila, ataukah menemukan mesin waktu yang bisa membawa kemana saja. Namun ia tiba-tiba bergidik ketakutan, karena tersadar tidak tahu caranya kembali ke waktu atau era keberadaan dirinya.
Keringat dingin tiba-tiba mengucur deras, dari dahi dan sekujur tubuhnya. Padahal, udara semilir di cafe ini seharusnya tidak memunculkan buliran keringat. Ia berusaha mengingat semua yang terjadi dalam beberapa menit terakhir, dan pengalaman dari beberapa jam sebelumnya.
Ingatannya inilah yang membuatnya bangkit dari bangku cafe, lalu berfikir  untuk berjalan ke arah ruang tamu di rumahnya. Apalagi, seingatnya tadi, ia ingin membuat kopi dan berjalan ke arah dapur. Joy pun berusaha berjalan menyusuri arah kedatangannya sebelum menuju cafe kampus. Ia tidak sadar sepenuhnya, dengan perubahan dimensi yang dihadapinya.
Joy tiba-tiba melihat kursi kayu kebanggaan ayahnya. Kursi yang menurut perkiraannya, menjadi salah satu kunci penting dari perjalanan melintas waktu. Joy pun berjalan lebih cepat agar bisa segera duduk dan dijadikan pegangan.Â
Begitu ia menyentuh kursi tersebut, seketika itu juga semua kembali ke keadaan semula. Ia berada di ruang tamu di rumah masa kecilnya. Joy pun menarik nafas lega. Perlahan kucuran keringatnya mulai berkurang, dan degup jantungnya pun berangsur menjadi normal lagi. Pengalaman barusan itu, menyisakan tanda tanya yang sedikit menyenangkan, sekaligus menakutkan bagi Joy.
Di kejauhan, ia merasa seperti ada seseorang yang memperhatikannya. Sosok yang tidak terlihat oleh Joy itu, seperti sedang memberikan perintah untuk menjalankan tugas penting. Ini mungkin kali pertama Joy mengalami peristiwa aneh, tetapi masih bisa sadar.
Biasanya, ketika mengalami peristiwa aneh itu, kesadarannya seperti sedang diombang-ombingkan. Baru kali ini, Joy tidak mendapatkan gangguan dari petani yang bernama Ujang. Dan ia sedang melakukan pembagian pembayaran upah mingguan pada seluruh pegawai yang bekerja di rumah itu.
Kali ini, ia masih bisa merasakan sebuah kesadaran yang tidak membawanya dalam kondisi memabokkan. Kemarin dulu atau lusa, menjadi waktu yang sangat relatif. Tatapan mata sosok yang selalu hadir mengikuti irama musik sang rektor. Ia pun mencoba peruntungannya dan memutuskan untuk membeli beberapa barang kebutuhan yang diperlukannya.