Rumah masa kecil di Malang ini, memang jarang ditempati. Namun kondisinya amat terawat. Tidak ada rumput liar yang dibiarkan tumbuh seenaknya. Halamannya pun bersih.
Ini semua tak lepas dari kerja keras dan setia dari Mbak Sumi, tetangga rumah yang dititipi untuk membersihkan rumah itu agar tidak berdebu. Semua perabotan rumah, masih seperti dulu dan selalu bersih meski tidak ditutup kain. Ini tentu saja berkat Mbak Sumi yang memang rajin.Â
Sejak Joy masih kecil, Mbak Sumi sudah bekerja membantu bersih-bersih rumah itu. Sejak ayah ibunya masih sehat, Mbak sumi sudah bekerja di keluarganya. Mbak Sumi masih setia untuk merawat rumah itu, meski kedua orangtua Joy sudah meninggal dunia.
Kursi kayu jati, yang tidak dicat, tampak mengekspos warna dan serat aslinya itu, masih tetap seperti dulu. Dudukan dan sandarannya licin mengkilap bukan berkat polesan, tetapi karena dulu sering diduduki, dan menjadi kursi favorit almarhum ayah Joy saat bekerja.
Ayahn Joy seorang dosen di salah satu perguruan tinggi yang ada di Malang. Sebelum pensiun, ia mengajar di perguruan tinggi negeri di Kota Malang. Kecintaannya pada dunia pendidikan tak terkalahkan oleh pekerjaan lain. Meski godaan dan tawaran untuk pekerjaan di sektor lain yang memberikan penghasilan besar seringkali datang, namun semua ditolaknya dengan halus. Â Satu hal yang Joy pelajari dari ayahnya, ketekunan, kejujuran dan keseriusan dalam mengerjakan sesuatu, apapun pekerjaannya, akan memberikan hasil yang baik pada akhirnya.
Sementara meja bundar berkaki tiga, dengan permukaan marmer putih bulat diatasnya dan bisa diputar, merupakan meja makan yang telah menjadi koleksi sejak lama. Meja itu dibeli ayahnya ketika mengunjungi sepupunya yang menikah di Tulungagung, Jawa Timur, saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Kota Tulungagung ini, memang terkenal dengan pengrajin furniture berbahan dasar marmer. Batuan ini, memang banyak ditambang warga di Tulungagung.
Kepopuleran Tulungagung sebagai penghasil Marmer, memang tidak terjadi dalam satu malam. Jauh sebelum Indonesia menjadi negara merdeka, usaha marmer rakyat ini sudah dijalankan warga setempat. Artinya, usaha ini sudah ada sejak jaman Kerajaan Belanda atau bahkan VOC berkuasa.Â
Lokasi industri marmer ini, memang tidak di seluruh Tulungagung, tetapi berada di desa Besole, kecamatan Besuki, Tulungagung. Tentu saja, usaha ini didukung dengan potensi yang sangat besar untuk menghasilkan marmer. Sejumlah penelitian yang dilakukan memperlihatkan, jika daerah ini mempunyai  cadangan marmer yang sangat besar. Bahkan, kualitas marmernya nomor wahid untuk digunakan sebagai marmer dan bahan bangunan.
Selain marmer, sebetulnya Tulungagung juga menghasilkan batuan andesit, granit, bobos, onyx, dan sebagainya. Soal kualitas, tak kalah dengan produk yang dibuat dari bahan marmer.
Dulu ibunya sering meletakkan makanan di bagian tengah meja marmer yang bisa berputar itu. Secara perlahan, ibu akan memutar marmer tersebut, kemudian meletakkan lauk pauk dan sayuran yang baru saja diolahnya. Menu favorit, soto babat, lengkap dengan tauge dan cabe potong plus kecap asin. Ciri khasnya yang tak ketinggalan, potongan usus yang diisi tahu bumbu dan tahu yang dihaluskan, kemudian diberi potongan cabe, daun bawang, dan wortel. Usus itu diikat dengan benang. Biasanya, saat mau makan baru dipotong-potong, ditemani dengan gulai kikil yang mirip dengan menu kikil di rumah makan padang.Â
"Wahh jadi kangen masakan ibu," ujar Joy dalam hati.