Pulang ke Malang kali ini, memang sangat berbeda dengan kepulangan sebelum-sebelumnya. Kali ini, seperti tidak ada rencana yang dibuat. Ada "keterpaksaan" karena kondisi di Jakarta sedang tidak menentu. Pandemi Covid-19 yang sudah dua bulan berjalan, telah menimbulkan rasa cemas. Takut tertular, takut menularkan, virus mematikan.
Joy pun hampir tak bisa kemana-mana. Padahal, biasanya pun ia pun jarang pergi kemana-mana. Kesehariannya sudah habis di resto yang sudah lebih dari sepuluh tahun dirawatnya. Tapi saat ini, ia benar-benar bingung. Bisnis mandeg. Dua bulan sudah, ia hanya makan, tidur, gerak badan sedikit, dan tidak banyak aktivitas lain yang bisa dilakukan.Â
Sementara resto yang selama ini menjadi sandaran hidup, belum diizinkan oleh pemerintah untuk dibuka. Untuk sekedar menjaga kewarasan, Joy pun hampir tidak pernah melihat berita di televisi maupun situs media online. Ia pun membatasi diri membuka whatsapp grup hanya yang terkait dengan kajian agama, keluarga, kesehatan, teman dekat, dan peluang bisnis.
Tidak banyak yang bisa dilakukan itu, artinya ia tidak bisa membuka resto kulinernya yang sudah ditekuni selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Dalam dua bulan terakhir, ia sama sekali tidak pergai mengunjungi pedagang sayur langganan, tempat ia biasa membeli sayuran untuk stok restonya. Â Ia juga hampir tidak pernah menghubungi Kang Gianto, yang biasa memasok bebek dan ayam potong segar, untuk keperluan resto yang memang punya menu khas bebek bakar bawang merah yang disingkat di menu dengan tulisan B3M. Mungkin sekilas bisa terbaca sebagai BEM yang menjadi singkatan badan eksekutif mahasiswa. Pada masa kejayaannya, pernah satu hari, menu B3M ini terjual lebih dari 600 porsi.
Ketika itu, Joy mendapat pesanan dari seorang anggota dewan untuk menyediakan menu itu di pesta yang digelar di rumahnya. Khusus B3M saja, ia memesan 500 porsi, lengkap dengan nasi dan sayur serta lalapan yang biasa menjadi menu pendamping B3M.
Namun, rejeki dari makanan yang dipesan dalam jumlah yang banyak itu, hanya terjadi satu kali itu saja. Setelah itu, hampir tidak pernah ia menerima pesanan dalam jumlah besar. Meski pesanan dalam jumlah banyak hampir tidak pernah lagi terjadi, namun konsumen yang setiap hari memenuhi restonya, jumlahnya bisa melebihi pesanan itu setiap hari. Â Resto itu hampir tidak pernah sepi dari pengunjung. Sejak dibuka pukul 08.00 hingga tutup pukul 22.00.
Ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya, sebelum meninggalkan resto yang sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya sepuluh tahun terakhir. Stok makanan yang masih ada, sudah dibagikan pada warga sekitar resto. Sebagian diberikan pada Shinta, pacarnya yang profesinya sebagai chef di sebuah hotel bintang lima di kawasan Jenderal Sudirman, Jakarta. Ia saat ini, juga sedang dirumahkan, karena tingkat hunian hotel merosot drastis. Bahkan, hampir tidak ada orang yang menginap. Ini merupakan implikasi pembatasan perjalanan, untuk mencegah penyebaran virus Covid-19.
Shinta sebetulnya juga tertarik untuk ikut ke Malang bersama Joy, namun Joy mengatakan ia sendiri tidak tahu akan berapa lama di Malang. Selain itu, orang tua Shinta juga berkeberatan jika mereka berdua pergi ke Malang. Akhirnya, Joy pun berangkat seorang diri. Ia pulang ke Malang hanya ditemani mobil BMW merah marun tuanya, seri 520i, tahun 2000.
Di bagasi mobil sudah penuh dengan cooler box yang diisi dengan ayam dan bebek, cukup untuk keperluan memasak selama satu bulan. Tak lupa, Joy juga membawa bumbu masakan yang diperlukan. Semua bumbu yang merupakan stok resto nya di bawa.
Bagasipun penuh sesak dengan tumpukan coller box. Sedangkan kursi di bagian belakang, diisi dengan tumpukan tas ransel dan dua travel koper. Satu lagi, hard case yang berisi peralatan fotografi, dan tripot. Fotografi, merupakan salah satu hobi yang ditekuni Joy sejak masih kuliah jurusan arkeologi. Kemana pun ia pergi, rasanya kamera dan perlengkapan itu juga ikut bersamanya.
Satu jam kemudian, Joy sudah di jalan tol Palimanan. Lalu lintas sangat sepi, selain karena ia berangkat jam 2 pagi, saat itu juga sedang siaga pembatasan bagi masyarakat untuk berkumpul dan mobilitas. Semoga para penjaga sedang ngantuk, atau kalau mereka tidak mengantuk, mereka agak malas untuk menghentikan kendaraan yang melintas dengan kecepatan tinggi.