Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya Muslim

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Playing Victim" dan Maling Tak Pernah Ngaku

15 Desember 2018   10:01 Diperbarui: 15 Desember 2018   15:31 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Heboh publik oleh reportase dari beberapa media partisan yang tendensius tentang penolakan pedagang pasar di sebuah pasar Labuhanbatu di Sumatera Utara atas kunjungan cawapres Sandiaga Uno memantik pro dan kontra. 

Bahkan sempat menjadi trending topic di Twitter tentang dugaan Sandiaga tengah bermain sebagai korban untuk mendulang simpati. 

Sun Tzu melalui buku 36 Strategi tersebut adalah apa yang saat ini kita kenal dengan istilah Playing Victim, yaitu teknik memposisikan diri sebagai korban atau orang yang terluka demi mengelabui musuh dan lingkungan. 

Taktik tersebut ditulis tepatnya pada strategi nomor 34, yang berbunyi "Lukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh".

Apakah betul Sandiaga melakukan strategi ini? Jawabannya bisa dua, iya dan tidak. Anggap saja iya, lalu apakah ini salah? 

Pertanyaan ini menjadi penting didiskusikan terkait moralitas dari sebuah kontestasi. Padahal jika dilihat dari rekaman situasi perpolitikan Indonesia strategi ciamik ini juga masih kerap dipergunakan Jokowi. 

Kasus kejadian yang menjelaskan Jokowi menggunakan strategi ini adalah riuhnya para hulubalang media rezim ini senantiasa mem-blow up tentang tuduhan bahwa Jokowi sebagai anggota atau partisan dari PKI.

Selalu mengekspos ini ke media dengan harapan adanya iba atau simpati publik ini adalah sebuah realita betapa Jokowi berusaha mengalihkan problematika bangsa ini. 

Tentang tingginya biaya hidup, harga-harga yang relatif tinggi, jumlah utang yang ribuan trilyun untuk belanja pegawai dan proyek-proyek infrastruk yang buram proyeksi yang dipergunakan dan potensi perpecahan bangsa gegara dirinya cenderung melakukan politik belah bambu. 

Padahal publik membutuhkan dirinya selaku presiden dan bukan seorang kandidat untuk meyakinkan Indonesia dalam situasi yang relatif aman, berkeadilan dan berkemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.

Melakukan provokasi tentang tumbuh dan berkembangnya secara massif keinginan rakyat untuk menggantikan bentuk negara sebagai khilafah dan dan menafikan embrio para pengusung paham komunisme/ateisme tengah melakukan konsolidasi di Indonesia adalah sebuah tindakan barbar dan menanggalkan nalar berbangsa yang benar.

Soal tudingan kubu rezim tentang tengah beraktingnya Sandiaga sebagai korban dari penolakan massa atas kunjungannya di pasar tersebut sebenarnya juga terbantahkan dengan adanya pernyataan lugas dari isteri pelaku pemasangan tentang bayaran yang diberikan oleh kelompok yang patut diduga adalah tim kecil pemenangan rezim yang menggiring opini adanya penolakan atas kedatangan Sandiaga sebagai calon wakil presiden di pasar tersebut.

Penulis lebih memilih untuk menyebutkan bahwa gagalnya upaya penghadangan dan penenggelaman citra positif Sandiaga yang blusukan menawarkan alternatif untuk Indonesia yang Adil dan Makmur bagi rakyat Indonesia. 

Kegagalan ini mendapat respon dari timses nasional di Ibukota dan melakukan tindakan koreksi dengan menuding adanya "playing victim" yang dilakukan kubu penantang petahana tersebut.

Bagi publik, jarangnya insiden atau fakta para pelaku kejahatan mengakui perbuatan adalah realita yang masih selalu terjadi perhari ini. 

Membayangkan penuhnya penjara karena berbondong-bondongnya para bromocorah, residivis, gangster, pelaku kriminal dan bandar narkoba ke sentra polisi terdekat untuk mengakui perbuatan bangsat mereka itu. Sebuah kejadian yang akan menggemparkan dunia bukan?

Nah, tinggal kita pilih saja, kasus penolakan pedagang yang tengah dililit kebingungan karena aktifitas perniagaan mereka yang kian hari kiang sulit dan kemudian kedatangan salah satu pelaku bisnis yang cukup berhasil yang menawarkan opsi perbaikan ke depan sebagai momen "playing victim" atau para pelaku yang berusaha membuat citra negatif yang ternyata gagal dan tengah melarikan diri pasca ketahuan sebagai momen "maling mana pernah ngaku".

Penulis lebih menyukai untuk memilih kemungkinan kedua, apalagi jika melihat semakin brutal dan ngawurnya upaya mereka memperbaiki citra diri yang kian nyungsep. 

Hal ini ditegaskan dengan hasil rilis survei yang menyebutkan semakin tipisnya gap angka elektabilitas antara kedua calon tersebut. 

Bagi petahana, angka elektabilitas dibawah kisaran 60% adalah sebuah angka indikator betapa rakyat pemilih semakin sadar pentingnya segera mengalihkan harapan kepada penantang dan menghentikan rezim ini cukup satu periode saja.

Fakta betapa banyaknya janji-janji angin surga saat berkampanye tahun 2014 lalu masih jauh dari harapan rezim yang berkuasa hari ini untuk dapat merealisasikan janji-janjinya. Apalagi janji rezim untuk tidak akan berhutang jika memimpin. Ah, kamu berbohong kepada kami!

Salam Ujung Harapan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun