"Jadi ini banyak agenda yang terkesan menjilat. Kalau ini disahkan,  ya berarti kita balik lagi ke zaman Belanda. Dan itu akan menurunkan  kualitas demokrasi kita dan equality before the law, jadi kalo Presiden saat ini jadi sasaran dan caci-maki, ya itu  risiko.  Tapi bukan berarti ketika dia berkuasa dia tidak bisa  dicaci-maki, yang  bisa dicaci-maki hanya orang lain saja. Itu kan lucu," ungkap Eva Sundari. Selain itu, lanjut politisi PDIP ini, pemerintah diminta untuk taat kepada asas equality before the law atau persamaan di hadapan hukum.
Di kutip dari sini
*****
Pernyataan Eva Sundari ini masih bisa ditelusuri dibanyak situs tentang ketidaksetujuan Eva dan PDI Perjuangan saat ada usulan dari Kementerian Hukum dan HAM yang kembali memasukkan pasal  penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan  Undang-Undang KUHP menuai kontroversi. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK)  telah menghapus delik ini pada 2006 lalu.
Anggota Komisi III DPR  dari Fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari mengaku sangat tidak sepakat dengan  usulan itu. Lantaran, usulan itu dinilai akan sia-sia dan membuang  waktu saja.
"Karena itu sudah diputus dan ditolak MK, kok masih tetap dipaksain. Apakah itu bukan manuver yang sia-sia? Karena toh kalo di judicial review ya akan gagal lagi. Jadi ya hanya buang-buang waktu saja untuk membahas  pasal yang diajukan kembali itu,"kata Eva di Gedung DPR, Senayan,  Jakarta, Rabu (3/4/2013).
Tapi itu dulu. Sikap PDI Perjuangan yang menolak usulan tersebut terlihat pro HAM, anti menjilat dan sikap-sikap yang patriotik sekali. Tapi apakahh sikap tersebut teguh dan konsisten saat salah satu kadernya menjabat sebagai presiden ketujuh Republik Indonesia?
"Tentu saja kita harus menempatkan marwah presiden yang dipilih  langsung oleh rakyat itu juga untuk mendapatkan tempat yang harus kita  jaga bersama posisi politiknya," kata Hasto di kantor The Wahid  Institute, Jakarta, Senin (5/2).
Pemilihan kosa kata marwah atau martabat oleh Sekjen PDI Perjuangan ini memantik rasa geli yang luar biasa. Entah kenapa kosa kata ini yang dipilih sebagai basis argumentasi, apakah sedemikian tidak bermartabat Jokowi dihadapan rakyatnya sendiri? Apalagi kasus terakhir yang menurut kader PDI Perjuangan lainnya yang juga menggunakan kosa kata "tidak patut/etis" atas sikap yang dipilih oleh Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa yang mengacungkan warna kuning di depan Jokowi yang tengah menghadiri Dies Natalis Universitas Indonesia.
Partai --katanya-- wong cilik ini mempertontonkan sebuah sikap yang jauh dari kepatutan saat dalam kurun waktu empat tahun bisa beralih rupa dalam sekejap. Lihat saja perangai para kader mereka yang hari ini ngomong kedelai besok ngomong tempe. Pembaca tentu akan sangat mengingat momen-momen dramatis Megawati menangis saat SBY menaikkan/mengurangi besaran subsidi BBM.
 "Saya sedih melihat rakyat banyak yang menderita, padahal kita  punya banyak kekayaan alam, namun angka kemiskinan tinggi," lanjutnya  setelah berhasil meredakan emosinya.  Dalam pidato ini, Mega terang-terangan menyindir kenaikan harga BBM dengan membacakan lirik lagu Iwan Fals.Â
 "BBM naik tinggi susu tak terbeli, orang pintar tarik subsidi, anak  kami kurang gizi,"baca Mega mengutip lagu yang tenar di era 80-an  yang  berjudul Galang Rambu Anarki itu.
Lalu dimana dirinya saat Jokowi dengan instan dan agresif mengurangi begitu banyak subsidi. BBM, tarif listrik, menaikkan pajak hingga terakhir ide agamis yakni akan memotong gaji aparatur sipil negara untuk zakat 2.5% yang bisa diduga untuk menambal defisit anggaran negara untuk hobi Jokowi membangun begitu banyak proyek infrastruktur yang rendah manfaat secara ke-ekonomian.
Megawati kelu dan membisu saat kader terbaiknya menjabat orang nomor satu di negeri ini berlaku sama persis bahkan melebihi "kekejaman" SBY saat menjadi presiden. Hutang negara yang menembus angka 4000 trilyun rupiah.
Lalu marwah apa yang hendak dituju dan diharapkan dari rakyat yang gelisah semua harga merangkak naik dan kian tak terbeli. Siapa yang hendak menyanyikan lagu Iwan Fals tersebut?
Penulis hanya berharap rakyat kian cerdas untuk dimana hendak melabuhkan aspirasinya. Klaim sebagai partai yang peduli rakyat kecil seperti nya hanya tinggal kenangan dan obsesi belaka. Karakter partai --katanya-- kaum marhaen ini semakin pudar semenjana kader terbaiknya kian menunjukan arah kebijakan yang cenderung pro kapitalis dan kian liberal. Gaung-gaung semangat keberpihakan kepada rakyat kian sunyi.
Salam Ujung Jari!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H