Mohon tunggu...
Imam Prasetya
Imam Prasetya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Book Review Hukum Jaminan Syariah Implementasinya dalam Perbankan Syariah di Indonesia

14 Maret 2023   23:35 Diperbarui: 14 Maret 2023   23:40 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BOOK REVIEW

Judul  : HUKUM JAMINAN SYARI'AH IMPLEMENTASINYA Dalam Perbankan Syariah di Indonesia

Penulis : Dr. Noor Hafidah, S.H., M.Hum.

Penerbit : UII Press Yogyakarta (Anggota Ikapi)

Terbit  : 2017

Cetakan : Pertama, Agustus 2017

Buku yang ditulis oleh Dr. Noor Hafidah, S.H., M.Hum. yang berjudul HUKUM JAMINAN SYARI'AH IMPLEMENTASINYA Dalam Perbankan Syariah di Indonesia ini hadir untuk menjelaskan mengenai apa, mengapa, dan bagaimana lembaga jaminan syariah itu seharusnya diimplementasikan dalam sistem perbankan syariah di Indonesia yang sesuai dengan ekonomi syariah/syariat Islam. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat akhir-akhir ini perkembangan lembaga keuangan di Indonesia begitu pesat. 

Karena maraknya hal tersebut disatu sisi timbul sebuah pertanyaan apakah prisip-prinsip syariah benar-benar diterapkan secara menyeluruh oleh lembaga-lembaga keuangan yang menggunakan nama syariah, ataukah nama syariah tersebut hanya dijadikan tampeng untuk kelangsungan usahanya. Buku ini mencoba menjelaskan, mengurai, dan menganalisis tentang prinsip-prinsip syariah, khususnya prinsip-prinsip jaminan syariah dalam kaitanya dengan pelaksanaan perbankan syariah di Indonesia,

Perikatan merupakan bagian dari muamalah dalam hukum Islam yang berhubungan dengan tentang perilaku manusia dalam menjalankan kegiatan ekonominya. Sebagai bagian dari muamalah terdapat hal yang mendasari berlakunya perikatan Islam, yaitu:

  • Akidah yaitu keyakinan yang memaksa pelaksanaanya dalam bertranksaksi
  • Syari'ah. Mengenai norma dan aturan mengenai hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia.

Iltizam Sebagai Perikatan Syari,ah

Iltizam adalah seseorang yang dibebani menurut syara' mengerjakan sesuatu pekerjaan atau tidak menerjakan untuk kemaslahatan orang lain. Iltizam secara garis besar dalam hukum Islam terdiri atas:

a. Al-Iltizam bi ad-Dain. Yaitu perikatan yang objeknya adalah uang atau benda.

b. Al-Iltizam bi al-'Ain. Yaitu perikatan yang objeknya adalah benda tertentu untuk dipindah-milikkan, baik bendanya sendiri atau manfaatnya, atau untuk diserahkan atau dititipkan kepada orang lain. Sumber perikatan ini adalah akad dan kehendak para pihak. Contohnya sewa menyewa

c. Al-Iltizam bi al-Amal. Adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak untuk melakukan sesuatu. Sumber perikatan ini adalah akad istisna' dan ijarah.

d. Al-iltizam bi al- Tautsiq. Adalah perikatan penjaminan. Merupakan suatu bentuk perikatan yang objeknya adalah menanggung atau menjamin suatu perikatan. Sumber perikatan ini adalah akad penanggunggan al-kafalah .

Akad untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu maupun melakukan sesuatu membentuk Iltizam yang diberi nama Al-Iltizam bi ad-Dain, atau dimaknakan sebagai 'perikatan hutang. Akad untuk menyerahkan suatu benda tertentu membentuk Iltizam yang diberi nama Al-Iltizam bi al-'Ain, yang dimaknakan sebagai 'perikatan kebendaan'. Akad untuk melakukan sesuatu atau melakukan pekerjaan membentuk Iltizam yang diberi nama Al-Iltizam bi al-'Amal, yang sebagai 'perikatan kerja' atau 'perikatan melakukan sesuatu. 

Akad untuk menanggung atau menjamin (Al-Kafalah) oleh pihak ketiga terhadap salah salah satu pihak membentuk Iltizam yang diberi nama Al-Iltizam bi at-Tautsiq, yang dimaknakan sebagai 'perikatan penjaminan' (untuk menjamin). Selain akad, perbuatan melanggar syariah (misalnya ghasab) membentuk al-Iltizam bi al-Ain, yaitu perikatan kebendaan. Namun apabila benda yang bersangkutan karena satu dan lain hal tidak dapat diserahkan dan pelaku memberikan ganti pembayaran seharga benda tersebut atau menyerahkan benda lain yang sejenis akan membentuk al -- Iltizam bi ad-Dain.

 

Al-'aqdu atau Al-'ahdu Sebagai Perjanjian Syariah

Berdasarkan dalam QS. Al-Maidah ayat 1 dan QS. Ali Imran ayat 76, esensi Al-'aqdu adalah keharusan menepati janji untuk bertakwa dan adanya causa yang halal secara syariah. Dalam Al-'aqdu, janji yang telah dibuat seseorang baik terhadap sesama manusia dibuat menurut syariah mempunyai pertanggungjawaban secara vertikal dan horizontal, dalam arti bahwa janji yang telah dibuat haruslah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tidak boleh dibatalkan karena akan merugikan salah satu pihak dan di dalam pembatalan tersebut terkandung pertanggungjawaban kepada Allah SWT.

Makna aqdu dalam konteks hukum adalah kesepakatan yang mengikat antara 2 (dua) orang (pihak), yang mana kesepakatan ini dibuat dengan cara-cara yang secara hukum (syariah) dibenarkan dan mempunyai akibat hukum.Fathurahman Djamil sebagaimana dikutip oleh Abdul Ghofur Anshori dan Syamsul Anwar menyatakan bahwa istilah akad (al-'aqdu) dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis. Akad lebih di kenal sebagai perikatan syariah jika dibandingkan dengan istilah iltizam. 

Menurut pendapat penulis untuk membedakan akad sebagai perikatan syariah dan akad sebagai perjanjian, maka istilah iltizam seyogyanya disebut sebagai perikatan syariah. Hal ini dikarenakan akad merupakan bagian dari perikatan dan akad merupakan sumber dari perikatan. Jika akad dikatakan sebagai perikatan akan terjadi kekaburan konsep, yaitu konsep akad sebagai perikatan dan konsep akad sebagai bagian dari perikatan.

Pada prinsipnya Al-'aqdu merupakan Ijab dan Qabul untuk membentuk suatu hubungan hukum, yang mana hubungan hukum ini harus berdasarkan sebab (causa) yang halal. Masing-masing pihak yang yang mengucapkan Ijab dan Qabul wajib memenuhi kewajibannya dengan maksud untuk bertakwa. Berdasarkan pengertian Al-'aqdu tersebut, syarat terjadinya Al-'aqdu adalah:

  • Adanya para pihak
  • Adanya Ijab dan Qabul
  • Adanya sebab (causa) yang halal
  • Adanya maksud untuk bertakwa
  • Adanya akibat hukum.

Dalam Hukum Islam terdapat asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan dan pelaksanaan dari suatu perikaran Islam, yaitu :

  • Al Hurriyah (Asas Kebebasan)
  • Al-Mutawah (Persamaan dan Kesetaraan)
  • Al-Adalah (keadilan)
  • Al-Ridha (Kerelaan)
  • Al-Shida (Kejujuran dan Kebenaran)
  • Al-Kitabah (Tertulis)

Salah satu aspek dari asas-asas umum tersebut adalah berkaitan dengan rukun dan syarat akad sebagai unsur pembentuk akad dalam suatu hukum perikatan IIslam Rukun dan syarat sebagai unsur pembentuk akad merupakan hal yang harus dipenuhi dan sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu perikatan. Di kalangan fuqaha terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan unsur pembentuk tersebut (rukun dan syarat akad). Menurut jumhur  fuqaha, rukun akad terdiri atas:

  • Al-'Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad
  • Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan
  • Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul

Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa ijab dan qabul merupakan salah satu unsur penting dalam suatu perjanjian. Namun, ada unsur-unsur lain yang juga penting dan termasuk dalam rukun akad. Dari unsur-unsur yang akan disebutkan Wahbah ini, ada yang berpendapat hanya 1 (satu) yang dapat diklasifikasikan sebagai rukun, sedangkan lainnya syarat. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa kesemuanya dapat diklasifikasikan sebagai rukun. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

  • Shighat al-agad (pernyataan untuk mengikatkan diri); b. Al-Muta'aqidain/Al-'Aqidain (pihak-pihak yang berakad);
  • Al-Ma'qud alaih/mahal al-'aqd (obyek akad)
  • Maudhu'al-agd (tujuan akad)

Empat unsur tersebut di atas dapat dikatakan sama dengan syarat- syarat perjanjian sebagaimana di atur dalam pasal 1320 W. Pasal 1320 BW menyatakan bahwa 'untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.'

Secara garis besar syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam pasal 1320 BW mempunyai kesamaan dengan ke-empat unsur tersebut diatas yaitu Shighat al-agad (pernyataan untuk mengikatkan diri); Al-Muta'aqidain/Al-'Aqidain (pihak-pihak yang berakad); Al-Ma'qud alaihl mahal al-'aqd (obyek akad); dan Maudhu'al-'aqd (tujuan akad). 

Bahwa kata sepakat sama dengan Shighat al-aqad (pernyataan untuk mengikatkan diri) yang terimplementasi dalam ijab dan kabul. Syarat kecakapan sama dengan Al-Muta'aqidain/Al-'Aqidain (pihak-pihak yang berakad), yang dalam hal ini berkaitan dengan kedewasaan atau tamyiz para pihak. Syarat suatu hal tertentu sama dengan obyek akad dan syarat adanya kausa yang halal sama dengan tujuan pokok akad dalam ukum islam dengan ketentuan tidak bertentang dengan syara'.

Keberadaan syariah dalam sistem Hukum Indonesia

Setelah berlakunya UUD 1945, Syariah berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan hukum Islam itu sendiri, bukan karena telah diterima oleh hukum adat. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 29 UUD 1945 yang menentukan:

  • Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
  • Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Sampai dengan diterbitkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kedudukan Syariah merupakan sumber persuasive, baru setelah ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden, Syariah menjadi sumber otoritatif. Dengan demikian, sejak 5 Juli 1959 eksistensi atau keberadaan Syariah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem hukum nasional dan menjadi otoritatif bagi penduduk yang beragama Islam.

karakteristik hukum jaminan syariah

Jaminan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-rahn. Al-rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu, yang didasari dari bahasa Arab (rahinulma'u) yang artinya apabila tidak mengalir dan kata (rahinatul nimah) yang bermakna nikmat yang tidak putus. Al-rahn juga dapat bermakna tertahan, yang didasari dengan firman Allah QS. Al-Muddassir ayat 38 yaitu: (kullu nafsim bima kasabat rahinah)", yang artinya "tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya". Kata rahinah yang tersebut dalam ayat di atas bermakna tertahan. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya."

Menurut Sayyid As-Sabiq, al-rahn menurut syara' memiliki arti menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara' sebagai jaminan hutang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh/sebagian hutang dari barang tersebut. Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur al-rahn adalah:

  • adanya barang atau benda yang mempunyai nilai ekonomis
  • adanya perbuatan menahan barang atau benda yang menjadi jaminan
  • memberi manfaat
  • adanya perjanjian hutang piutang

Jaminan dalam hukum Islam adalah apa yang disebut dengan istilah al- rahn. Al-rahn tidak lepas kaitannya dengan adanya hutang piutang yang mengakibatkan timbulnya al-rahn sebagai jaminan yang menjamin pelunasan hutang piutang yang terjadi. Al-rahn disini tidak bersifat mutlak harus ada, tetapi lebih mengarah kepada hal yang bersifat tolong menolong. Tolong menolong inilah yang merupakan ciri khas dari konsep al-rahn atau jaminan syariah. Jaminan syariah dalam prakteknya terbagi dalam 2 (dua) bentuk, pertama adalah al-rahn (sebagai suatu lembaga) yang merupakan jaminan kebendaan dan al-kafalah yang merupakan jaminan perorangan.

Rukun dari Al-rahn adalah sebagai berikut:

  • Sighot (Ijab Qabul): dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja di dalamnya terkandung maksud diadakannya perjanjian jaminan
  • Aqid (Orang yang bertransaksi), sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal dan atas keinginan sendiri
  • Marhun (Barang yang dijaminkan): syarat barang yang akan dijadikan sebagai jaminan adalah bahwa barang itu dapat diserahterimakan, memiliki nilai manfaat dan kegunaan, barang tersebut milik si berutang (rahin) dan dikuasai oleh rahin, jelas, tidak bersatu dengan harta lainnya dan barang jaminan tersebut merupakan harta yang bersifat tetap dan dapat dipindahkan,
  • Marhun Bih (Utang): syarat utang yang dapat dijadikan alas al-rahn adalah berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan, utang yang lazim pada waktu akad dan harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.

Aturan hukum tentang al-rahn dapat ditarik suatu benang merah yang secara substansial merupakan prinsip dari eksistensi Jaminan Syariah, yaitu Il-rahn harus dilaksanakan atas dasar pemikiran:

(1) diharamkannya transaksi riba

(2) harus amanah, dan

(3) harus dengan itikad baik.

Dengan demikian berdasarkan metode deduksi dan induksi, dapat disimpulkan bahwa prinsip hukum Jaminan Syariah (Al-rahn) adalah:

  • Al Hurriyah (Asas Kebebasan)
  • Al-Musawah (Asas Persamaan dan Kesetaraan),
  • Al-'Adalah (Asas Keadilan)
  • Al-Ridha (Asas Kerelaan)
  • Al-Shidq (Asas Kejujuran dan Kebenaran)
  • Al-Kitabah (Asas Tertulis).

Aturan Hukum Jaminan Syariah

QS. Al-Baqarah ayat 283 merupakan dalil hukum utama atas pemberlakuan atau keabsahan jaminan. Adanya barang tanggungan (faa rihanun) yang harus dipegang oleh orang yang berpiutang sebagaimana yang termaksud dalam ayat 283 QS. Al-Baqarah diatas merupakan tuntunan yang sangat jelas bahwa Hukum Islam mengenal dan mengatur tentang jaminan.

Al-Kafalah Sebagai Bagian Dari Jaminan Syariah

Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh pihak penjamin (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung." Dalam pengertian lain kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.

Rukun kafalah menurut sebagian besar ulama adalah:

a. Penjamin (dhomin, kafiil), yaitu orang yang tidak cacat muamalahnya secara hukum, sehingga anak-anak dan orang cacat tidak sah apabila menjadi penjamin.

b. Barang yang dijamin/utang (madhmun), sesuatu yang boleh diganti sejenisnya secara hukum, yaitu utang atau benda selain uang yang merupakan harta, jadi tidak boleh nyawa atau anggota badan dalam. qishash.

c. Pihak yang dijamin (makful anhulmadhmun anhu) yaitu orang yang dituntut atau yang berutang baik hidup atau sudah mati.

d. Sighah akad yaitu ijab dari penjamin.

ANALISIS PERBEDAAN DAN PERSAMAAN JAMINAN SYARI'AH DAN JAMINAN KONVENSIONAL

Dari paparan karakteristik jaminan syariah dan jaminan konvensional dapat dianalisis bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara jaminan syariah dan jaminan konvensional. Perbedaan yang ada hanya dari segi sumber jaminan dan pemenuhan asas publisitas yang melekat pada lembaga jaminan fidusia dan lembaga jaminan hak tanggungan. Sumber hukum jaminan syariah atau al-rahn bersumber pada Al-Qur'an dan Hadist, sementara sumber hukum jaminan konvensional bersumber pada undang-undang. 

Dalam hal obyek jaminan, jaminan syariah tidak membedakan apakah yang dijaminkan itu benda bergerak atau benda tidak bergerak. Dengan kata lain, yang menjadi obyek jaminan syariah adalah semua jenis benda. Tidak seperti lembaga jaminan konvensional yang obyek jaminannya sudah ditentukan. Apabila obyek jaminannya benda bergerak, lembaga jaminan yang menaunginya adalah lembaga jaminan gadai dan fidusia, apabila obyek bendanya adalah benda yang tidak bergerak sepertinya tanah, maka lembaga jaminannya adalah lembaga jaminan hak tanggungan.

Menurut penulis konsep al-rahn tidak dapat dikatakan sebagai gadai. Dari segi obyeknya, al-rahn tidak membedakan antara benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Konsep ini berbeda dengan konsep gadai yang hanya diberikan untuk benda bergerak. Disamping itu dari segi pemanfaatan barang jaminan,dalam konsep al-rahn barang jaminan dapat dimanfaatkan oleh si penerima barang jaminan atau marhun. Tidak demikian halnya dalam konsep gadai. Dapat dimanfaatkannya barang jaminan oleh si penerima gadai merupakan karakteristik al-rahn.

Al-Rahn juga tidak dapat dikatakan sebagai jaminan fidusia secara keseluruhan, karena sifat kepemilikan barang jaminan rahn berada pada yang memberikan hutang (si berpiutang), sementara dalam konsep jaminan fidusia kepemilikan barang jaminan berada di dalam kekuasaan si berpiutang berdasarkan kepercayaan, dan barang jaminan diserahkan atau tetap berada pada si berhutang.

Oleh karena itu penulis menyimpulkan al-rahn itu bukan gadai. Al-Rahn adalah jaminan syariah, yaitu jaminan yang berdasarkan pada ketentuan hukum Islam. Dalam sistem jaminan konvensional lembaga jaminan meliputi lembaga hak tanggungan, jaminan fidusia dan gadai. Demikian pula halnya dengan al-rahn, lembaga al-rahn meliputi rahn "igar, rahn hiyazi dan rahn tasjily.

IMPLEMENTASI KONSEP JAMINAN SYARIAH DALAM PERBANKAN SYARIAH DAN PEGADAIAN SYARIAH

Analisis implementasi konsep merupakan upaya untuk mengetahui apakah suatu konsep tertentu diterapkan sesuai dengan hakekat konsep tersebut. Tujuan utama analisis ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat kesesuaian antara esensi konsep jaminan syariah (al-rahn) dengan konsep yang terdapat dalam aturan hukum maupun praktik. Juga untuk mengetahui apakah terdapat kesenjangan konsep atau justeru terdapat implementasi konsep yang bertolak belakang, sehingga terjadi kontradiksi.

Hukum Undang-Undang Perbankan Syariah tentang berbagai kegiatan usaha perbankan syariah terutama aspek 'pembiayaan atau penyaluran dana' telah mencerminkan esensi perikatan syariah, bahkan rumusan pasal akan mampu mengakomodasi perkembangan perikatan syariah, karena rumusan pasal dalam bentuk enumeratif. Beberapa contoh aturan hukum yang dirumuskan dalam bentuk enumeratif, misalnya yang terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) UU Perbankan Syariah, seperti:

  • Menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
  • Menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
  • Menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad gardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
  • Menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
  • Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah

Dari rumusan-rumusan aturan hukum di atas, jelas bahwa Undang- Undang Perbankan Syariah tidak membatasi 'akad' (perikatan syariah) untuk pembiayaan sebatas mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna, qardh, ijarah, ijarah muntahiya bittamlik, serta hawalah, tetapi dapat mengakomodasi akad-akad lain selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Rumusan yang demikian ini, sesuai dengan kaidah Fiqih yaitu 'pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Perbankan Syariah sudah mengimplementasikasikan esensi perikatan syariah. Selanjutnya yang perlu dibahas adalah apakah Undang-Undang Perbankan Syariah sudah mengimplementasikan esensi jaminan syariah (al-rahn) dalam aturan hukumnya.

Jika dicermati, terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Perbankan Syariah yang mengatur tentang jaminan (dalam Undang-Undang Perbankan Syariah dinamakan agunan). Menurut Pasal 1 angka 26 Undang- Undang Perbankan Syariah, yang dimaksud Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.

Undang-Undang Perbankan Syariah, dapat dikatakan bahwa dasar pemikiran dibentuknya Undang- Undang Perbankan Syariah adalah mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah ke dalam sistem hukum nasional, khususnya perundang-undangan perbankan syariah. 

Selain itu, pada tataran praktis, implementasi ini dilaksanakan dalam kerangka kepatuhan syariah (syariah compliance). Penentuan prinsip-prinsip syariah dalam hal ini muamalah (khususnya perikatan syariah dan jaminan syariah) merupakan kewenangan Majelis Ulama Indonsia (MUI). Implementasi penetapan prinsip-prinsip syariah pada masing-masing Bank Syariah dan UUS dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing institusi perbankan syariah. Selain itu, untuk menindaklanjuti fatwa tersebut ke dalam Peraturan Bank Indonsia dilakukan oleh Komite Perbankan Syariah yang dibentuk secara internal di Bank Indonsia.

Dari dasar pemikiran tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa seharusnya Undang-Undang Perbankan Syariah mengimplementasikan konsep Jaminan Syariah (al-rahn) dalam aturan hukumnya, bukan hanya mengatur Perikatan Syariah (Akad) terutama dalam hal pembiayaan. Dalam sistem Hukum Syariah paling tidak terdiri atas 2 (dua) unsur atau subsistem, yaitu Perikatan Syariah (Akad) dan Jaminan Syariah (Al-rahn). Antara subsistem Perikatan Syariah dengan susbsistem Jaminan Syariah mempunyai pola hubungan yang erat, karena keberadaan subsistem Jaminan Syariah merupakan bagian integral dari Perikatan Syariah.

Dalam rejim UU Perbankan Syariah telah terjadi kesenjangan konsep (conceptual gap). Kesenjangan konsep ini terjadi dalam 2 (dua) tataran, yaitu: Pertama, UU Perbankan Syariah mengatur Perikatan Syariah (Akad) secara kaffah (komprehensif), namun mengatur Jaminan Syariah secara sumir (terbatas) dan tidak mencerminkan ke'syariah'an. Kedua, Undang- Undang Perbankan Syariah selain mengatur perikatan syariah (akad) dengan esensi dan nama sesuai dengan syariah. Namun untuk jaminan, ternyata masih menggunakan istilah 'Agunan' dan secara konseptual tidak sesuai dengan syariah, padahal sudah ada istilah dan konsep jaminan syariah yaitu 'Al-rahn. Walaupun UU Perbankan Syariah tidak mengatur Jaminan Al-rahn secara kaffah, tetapi paling tidak seharusnya menggunakan istilah yang mencerminkan syariah. Dapatlah dikatakan telah terjadi kontradiksi terminologi (contradictio in terminis) pada penggunaan istilah jaminan sebagai 'agunan' yang seharusnya adalah 'al-rahn'.

Ditinjau dari perspektif kepatuhan syariah (syariah compliance) yang merupakan jiwa dan semangat UU Perbankan Syariah, seharusnya pembentuk undang-undang ini sangat memperhatikan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn, tanggal 26 Juni 2002. Jika konsisten dengan konsep kepatuhan syariah, sudah seharusnya Fatwa tersebut diberlakukan sebagai rekomendasi utama (highly recommended) pada saat menyusun undang-undang tersebut.

Mengingat bahwa Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah tidak mengatur tentang keberadaan Jaminan Syariah (al-rahn), sangat diharapkan peran aktif DPS untuk memberikan nasihat, saran, serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.

Tidak diaturnya Jaminan Syariah (al-rahn) dalam berbagai Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran cukup aneh mengingat semua peraturan dan surat edaran yang dianalisis secara tersurat menganut konsep syariah compliance (kepatuhan syariah). Padahal sejak tahun 2002 telah dikeluarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor: 25/ DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn, pada tanggal 26 Juni 2002 dan Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor: 26/DSN-MUI/ III/2002 tentang Rahn Emas, tanggal 28 Maret 2002.

Menjadi persoalan adalah jika mengakui adanya konsep syariah compliance (kepatuhan syariah) mengapa keberadaan Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia sebagaimana tersebut di atas diabaikan begitu keberadaannya. Dalam konteks syariah compliance, seharusnya Fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut dipatuhi (highly recommended).

Hal lain yang dapat penulis sampaikan bahwa rejim Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, seperti halnya dengan Undang-Undang Perbankan Syariah telah memisahkan konsep Jaminan Syariah (al-rahn) dari Perikatan Syariah (Akad), padahal secara syariah, Jaminan Syariah (al-rahn) merupakan bagian integral dari Perikatan Syariah (Akad) terutama yang berkaitan dengan skema hutang piutang (pembiayaan/pnyaluran dana).

Dalam hal ini telah menimbulkan adanya conceptual gap (kesenjangan konseptual), dimana konsep al-rahn yang seharusnya merupakan bagian tak terpisahkan (integral) dari konsep Akad (Perikatan Syariah) terutama dalam hal pembiayaan (penyaluran dana), justeru dipisahkan dan tidak diatur.

 Implementasi Konsep Al-Rahn Pada Pegadaian Syariah

1. Implementasi Pada Tataran Aturan Hukum

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap peraturan perundang-undang tentang pegadaian, dapat penulis sampaikan bahwa belum ada peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang- Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP), yang khusus mengatur tentang pegadaian syariah. Pegadaian syariah dapat dikatakan sebagai anak perusahaan dari Lembaga Pegadaian'.

2. Implementasi Pada Tataran Praktik

Oleh karena belum ada dasar hukum untuk melakukan pegadaian syariah, maka Perum Pegadaian menggunakan Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonsia (DSN-MUI), yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn, tanggal 26 Juni 2002 dan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas, tanggal 28 Maret 2002.

Gadai Syariah dilakukan dengan cara memberian pinjaman/pembiayaan atas dasar hukum gadai syariah. Pemberian marhun bih (pinjaman uang) oleh Perum Pegadaian selaku murtahin (pemegang gadai) mensyaratkan adanya penyerahan marhun (barang jaminan) oleh rahin (peminjam uang).

Untuk menutup biaya operasional yang telah dikeluarkan, Perum Pegadaian membuat usaha akad Ijarah (penitipan barang). Ijarah merupakan merupakan konsekuensi logis dari gadai syariah, dimana Perum Pegadaian sebagai murtahin (pemegang gadai) yang menahan marhun (barang jaminan) akan mengeluarkan biaya untuk merawat marhun. Ijarah merupakan akad yang mengikuti akad gadai syariah, dengan kontruksi yuridis, bahwa sirahin sepakat untuk menitipkan marhun (barang jaminan) kepada Perum Pegadaian selaku murtahin, dan untuk itu rahin harus membayar biaya penitipan.

Konstruksi yuridis biaya penitipan ini sesuai dengan konsep Jaminan Syariah (al-rahn). Sebagaimana diketahui, dalam konsep Jaminan Syariah, walaupun marhun (barang jaminan) berada dalam kekuasaan murtahin (yang meminjamkan uang), namun biaya perawatan marhun menjadi tanggung jawab rahin (peminjam). Biaya perawatan yang harus dibayarkan oleh rahin inilah yang dikonversi menjadi 'biaya penitipan' dalam akad ijarah.

Keberadaan akad ijarah seakan-akan bertentangan dengan konsep al-rahn, padahal sebenarnya tidak, karena akad ijarah merupakan hasil kontekstualisasi konsep al-rahn sesuai dengan perkembangan jaman. Pada awalnya sangat dimaklumi jika esensi gadai adalah akad pinjam meminjam uang (marhun bib) dengan menaruh barang jaminan (marhun) yang didasarkan pada prinsip tolong menolong. Dengan kata lain, jaminan syariah (al-rahn) merupakan syariah yang berfungsi sosial, karena si peminjam (rahin) tidak diwajibkan untuk menambah biaya apapun saat melunai hutangnya. Konsep awal ini barangkali masih sesuai jika dilakukan oleh rahin dan murtahin secara perorangan.

Namun pada perkembangan saat ini, seringkali akad Jaminan Syariah (al-rahn) ini melibatkan lembaga keuangan formal, yang tentu saja lembaga keuangan tersebut membutuhkan pendapatan sebagai keuntungan. Dalam rangka syariah compliance, pendapatan yang diterima oleh lembaga keuangan hanya berupa biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk merawat marhun. Perawatan marhun inilah yang akhirnya menjadi dasar dibuatnya akad ijarah dimana lembaga keuangan dapat menarik biaya penitipan. Biaya penitipan inilah yang menjadi salah satu sumber pendapatan lembaga keuangan. Dalam praktik gadai syariah, Perum Pegadaian mewajibkan rahin membayar sejumlah uang tertentu sebagai imbalan jasa, dimana sejumlah uang tersebut digunakan untuk menutupi biaya operasional gadai.

Dalam praktiknya, Perum Pegadaian membuat 5 (lima) skema gadai syariah yaitu:

  • Akad qardhul hasan
  • Akad ijarah
  • Akad rahn
  • Akad mudharabah
  • Akad ba'i muqayyadah

Buku ini mengajak pembaca untuk berpikir lebih dalam dan kritis mengenai prinsip-prinsip syari'ah yang digunakan dalam lembaga keuangan syari'ah yang saat ini sedang berkembang pesat Indonesia. Penulis buku ini juga mengungkapkan sebuah kritik terhadap aturan-aturan tentang jaminan syariah dan lembaganya agar bisa melaksanakan dan mengimplementasikan prinsip-prinsip jaminan syari'ah secara kaffah.

Nama: Imam Prasetya

Nim: 212121121

Kelas/Prodi : HKI 4D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun