Mohon tunggu...
Imam Muhayat
Imam Muhayat Mohon Tunggu... Dosen - Karakter - Kompetensi - literasi

menyelam jauh ke dasar kedalaman jejak anak pulau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Cak Roes: Pengawal Episode Perjuangan Indonesia

12 Oktober 2014   05:33 Diperbarui: 1 November 2015   20:25 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya dapat bertatap muka dengan Cak Roes, panggilan akrab Dr. H. Roeslan Abdulgani, saat-saat masih mengakrabi kegiatan civitas akademika di Yogyakarta. Dan di Bali bertemu terakhir pada  tanggal 15 April 2000 di Hotel Natour, Bali.

 

Kala itu, Cak Roes sebagai narasumber Seminar Nasional, "Antisipasi Strategis Perembasan Konflik Vertikal-Horisontal, Dampaknya terhadap Masa Depan Bangsa." Beliau termasuk, menurut saya, pengawal setia NKRI ini. Sangat bersemangat menyampaikan berbagai hal tentang epos perjuangan 1945 yang dikawal oleh Bung Karno.

 

Sembari memberikan arahan, tokoh segudang pengalaman itu, memaparkan contoh tokoh Proklamator saat diseret di muka hakim kolonial Hindia Belanda di Badndung. Cak Roes menceritakan tentang kelihaian Bung Karno dalam mencari berbagai kesempatan agar dapat selalu menyalakan api perjuangan dengan mengutip alibi Bung Karno di depan persidangan, "Orang siapa pun tidak bisa membunuh jiwa. Siapa dapat merantai suatu bangsa, kalau jiwanya tak mau diranti. Siapa yang dapat membinasakan suatu bangsa, kalau jiwanya tidak mau dibinasakan." Pembelaan provokatif Bungkarno ini menjadi lokomotif inspirasi kemerdekaan di sejumlah negara-negara  Asean.

 

Tokoh saksi sejarah lima zaman ini akrab dengan episode perjuangan bangsa Indonesia, yaitu Orde Lama, Orde Baru, Era Reformasi dan Orde Galau Demokrasi. Cak Roes, pengawal setia episode sejarah Indonesia, selalu menjadi inspirasi tokoh-tokoh, petinggi bangsa, kaum nasionalis dan para pemimpin Indonesia.

 

Untuk mengatasi disintegrasi bangsa itu, beliau suatu saat mengungkapkan kembali ajaran Maha Patih Gadjah Mada:  di antara ajaran itu adalah pertama Satia Haprabu, yang berarti setia kepada Negara; 2. Haniaken Musuh, yaitu suatu langkah mengeliminasi musuh yang tidak lain bentuknya disintegrasi; 3. Tan Satresna yang artinya selalu setia kepada semua tanpa pilih kasih. 4. Hing Palagan Hamungkasi, pemimpin yang selalu dapat menyelesaikan setiap kasus perjuangan atau pembangunan sampai tuntas; 5. Gineung Pratidina yang berarti setiap hari melatih diri, berolah  Jiwa, berolah pikiran dan berolah raga, agar selalu tumbuh kekuatan.

 

Resep hidup berbangsa dan bernegara semacam ini, sering disampaikan kepada setiap pemimpin oleh Cak Roes yang akan menduduki tampuk kepemimpinannya. Nampaknya juga, menjadi nafas keseharian Cak Roes. Seusia beliau yang 91 tahun saat itu, masih mampu mendarmabaktikan tanpa henti pemikiran-pemikirannya dalam mengingat, memaparkan dan menelorkan ide-ide segarnya dengan lancar dan sangat bersemangat penuh kecemerlangan untuk membekali langkah-langkah ke depan dalam berbagai proses perjalanan para pemimpin bangsa.

 

Dalam berbagai biografi banyak mengukir dengan tinta emasnya, beliau sebagai pelaku sejarah, diplomat ulung, negarawan sejati, pemikir besar dan humanis serta guru bangsa. Suatu saat pernah mengatakan dengan tegas: "Selama pengertian politik sebagai perebutan kekuasaan diliputi oleh nafsu tanpa moral dan etika, maka krisis multidimensional yang kita hadapi bersama akan terus melanjutkan dramanya." Kemerdekaan yang telah diperjuangan akan menjelma belenggu bentuk lain, dan menempati bidang-bidang strategis kehidupan masyarakatnya.

 

Kepedulian beliau terhadap bangsa ini, terlihat pada derasnya pemikiran-pemikiran mengisi kolong-kolom sejarah bangsanya. Pada salah satu media yang ada di Bali, saya masih mengingat beliau sejak tahun 1998 hingga ajal menjemputnya setiap hari Jumat opini-opini cerdas Cak Roes sangat menggelitik dan menyentuh permasalahan yang selalu aktual.

 

Beliau mengharapkan, manusia-manusia  yang memiliki power di negeri ini, agar supaya tidak mengkorup jiwa bangsanya dan power yang dimilikinya dapat mendidik semuanya, "it depends on the quality of the human beings, wheather power tends to corrupt, wheather power will educate." Karenanya, "kemerdekaan itu ialah berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan."

 

Perjalanan bangsa yang tidak selalu mulus telah disaksikan dengan jelas oleh Cak Roes. Tapi beliau tetap memandangnya dan mengapresiasinya dengan bijaksana dan sarat dengan kejernihan hati. Pada saat kekacauan politik memukul Indonesia 1999, beliau dengan mendorongkan komitmennya dengan mengatakan, "karena kita sendiri sudah mengantisipasi hal itu, kita harus berani mengatasinya dengan segala daya kemauan dan daya kemampuan kita. Ini tidak mudah, tetapi dengan pemupukan energi beru di bidang keimanan, ketakwaan, keilmuan dan keihsanan, maiasemoga rida Tuhan menyertai perjuangan manusia-manusia Indonesia yang jujur dan adil melawan arogansi, munafikisme dan KKN, demi suksesnya gerakan reformasi." (BP, 29.1.1999).

 

Optimisme dan sikap religius Cak Roes dalam menghadapi berbagai permasalahan bangsa ini telah menjadi langkah-langkah perjuangannya dan roh pemikirannya dan dapat menyejukkan suasana bagi semua pihak.

 

The fouding father yang sudah banyak menanamkan investasi harkat dan martabat bagi bangsa dan negara itu telah berserah dengan sang waktu, dipanggil olehNya. Catatan harian penulis mengabadikan bahwa beliau wafat pada 29 Juni 2005, pada hari Rabu, Pukul 10. 20 WIB di Ruang ICU Nomor 412 RSPAD Gatot Subroto, Jakarta karena penyakit infeksi paru-paru dan serangan stroke. Saat itu Indonesia berduka atas kehilangan salah satu putra terbaiknya, Dr. H. Roeslan Abdulgani, yang akrab disapa Cak Roes.

 

Tokoh bersejarah dan meruang menggeluti perjuangan fisik pada era revolusi  yang penuh air mata dan figur yang senantiasa konsisten dengan cita-cita luhur yang diwarnai nilai dan norma di era kekinian terasa masih selalu aktual kita hadirkan kembali saat ini. Agar kita dapat memetik pelajaran dari segenap perjalanannya dan dapat melecut berbagai sikap-sikap yang rendah yang selalu mengurung kehidupan politik bangsa ini. Imam Muhayat, Bali

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun