Mohon tunggu...
Imam Kodri
Imam Kodri Mohon Tunggu... - -

Formal Education Background in UPDM (B) Of Bachelor’s Degree of Politics and Social Science, majoring of Public Administration and Master Degree, Majoring of Human Resources. Worked in various private companies over 30 years, such as: PT. Pan Brothers Textile as HRD Assistant Manager, PT. Sumber Makmur as HRD Manager, General Personnel Manager at PT. Bangun Perkarsa Adhitamasentra, Senior Manager of HRD and General affair at PT. Indoraya Giriperkarsa, Headmaster of Kelapa Dua High School, and the last, Head of the General Bureau and Human Resources at ISTN Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

NU Kembali Kepada Tradisi Musyawarah, AHWA Paling Dekat dengan Pancasila

29 Juli 2015   22:13 Diperbarui: 11 Agustus 2015   22:42 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Awal bulan Agustus 2015 warga nahdliyin akan mengadakan Muktamar yang ke 33 di Jombang Jawa Timur. Pada Muktamar NU akan menampilkan gaya demokrasi NU yang khas “ahlul halli wal aqdi” dalam memilih Rois Am Syuriah. Pada intinya merupakan hakekat paling dasar demokrasi dari dasar negara kita yaitu Pancasila yang sudah sampai pada taraf ke aliman, kearifan dan kezuhudan.

“Ahlul Halli wal Aqdi” dapat diibaratkan sebuah badan legislatif yang diberikan kepada orang-orang pilihan Nadliyin yang mempunyai kadar ilmu agama yang mumpuni, bahkan lebih dari seorang profesor sekalipun. Disamping keilmuwanan yang tinggi, mereka yang duduk dalam ahlul halli wal aqdi secara hakekat sudah menempati maqam kewalian (catatan seharusnya begitu). Gelar populer yang disandangnya adalah Kiai, tentunya Kiai yang wara, zuhud, arif, dan alim.

Jumlahnya sembilan orang Kiai, yang sering digolongkan masuk jajaran Kiai Sepuh. Jadi bukan sekedar Kiai yang menguasai kitab-kitab kuning saja, tetapi sudah memiliki tingkat kharisma yang dapat mempengaruhi dan membawa masyarakat NU di tanah air menjadi pengikut setianya.

Pada Muktamar kali ini AHWA diberikan kewenangan oleh warga nahdliyin peserta Muktamar untuk memilih seorang Rais Am. Langkah ini berbeda dengan pemilihan Rais Am pada muktamar-muktamar sebelumnya yang lebih memilih secara langsung oleh muktamirin. Tentu ada alasan kuat kenapa ?

Pertama: Untuk tetap menempatkan kedudukan yang luhur para ulama, karena selama ini pemilihan langsung Rais Am hanya membawa banyak dampak negatifnya dari pada positipnya. Terjadi banyak trik, rekayasa kandidat dengan pencitraan oleh pendukung-pendukungnya dan dikhawatirkan muncul permainan politik uang untuk memenangkan pilihannya.

Cara ini jelas dapat menjatuhkan kedudukan para ulama, dan bertentangan dengan sifat-sifat seorang Kiai apalagi bila mereka sudah dikategorikan Kiai Khos. Opo Tumon Kiai kok saling main duit-duitan, saling memoles diri pribadinya?

Kedua: Belajar dari pengalaman pemilihan langsung ternyata cenderung adu domba antar Kiai dan pada gilirannya berdampak saling menjatuhkan. Kalau dibiarkan tidak ada lagi perbedaannya antara Poli-tikus Senayan dengan Kiai Khos.

Watak saling menjegal dan adu domba jelas bukan habitatnya para santri dan warga nahdliyin apalagi para Kiai. Jika cara pemilihan langsung diteruskan, akan menghasilkan budaya pesantren dan nahdliyin menjadi tukang hasut, profokator, dan bertampang beringas.

Ketiga: Menjaga keutuhan NU dari perpecahan akibat usaha orang-orang yang berambisi mengejar jabatan di NU dalam motif dekat dengan penguasa, ujung-ujungnya untuk kepentingan pribadinya. NU miliknya bangsa Indonesia bukan miliknya politikus-politikus buta nurani, dan NU tetap akan menjaga NKRI.

Keempat: Sistem ini yaitu mengembalikan tradisi musyawarah Nahdliyin dijadikan pilihan untuk menghindari potensi perpecahan ditubuh NU, terutama potensi campurtangan politik penguasa lebih besar bila memakai metode pemilihan langsung. Dalam khitah NU jelas-jelas mengembalikan organisasi sosial keagamaan kehabitatnya, tidak berpolitik praktis.

Kelima: Dengan pemilihan melalui AHWA untuk Rais Am akan menghindari kompetisi antar Kiai yang tidak sehat. Sistem AHWA adalah niat luhur warga NU khususnya para Kiai bahwa musawarah untuk mencapai mufakat adalah usaha yang paling demokratis yang telah disepakati PBNU melalui Munas alim ulama yang digelar beberapa waktu lalu. Ahlul halli wal Aqdi, menitik beratkan kepada musyawarah untuk mufakat oleh “Kiai Berpengaruh” untuk memilih Rais Am .

Musyawarah oleh Ahlul Halli Wal Aqdi dalam sejarah berdirinya NU, selama 32 tahun sejak Indonesia merdeka pernah digunakan sebanyak dua kali yakni pada tahun 1926 dan tahun 1952. Jadi setelah 32 tahun lamanya sitem ini dipakai lagi pada Muktamar di Situbondo Jawa Timur . Dan berhasil memilih Achmad Shiddiq sebagai Rais Am dan kemudian Gus Dur ditunjuk oleh KH Achmad Shissiq sebagai Ketua Umum PBNU.

Setelah Sistem Pemungutan suara telah berlalu kini Muktamar ke 33 menyambut sistem yang sejati buatan para Kiai Khos yaitu kembali ke aslinya , Rais Am kembali dipilih secara musyawarah. Namun demikian untuk Muktamar di Jombang Rais Am tidak memunjuk Ketua Umum PBNU, Pemimpin tertinggi Tanfidziyah tetap ditentukan oleh peserta muktamar oleh para Muktamirin. Selamat Bermuktamar yang ke 33 mudah-mudahan NU Kembali Kepada Tradisi Musyawarah, agar AHWA sangat Dekat Dengan Pancasila

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun