Mohon tunggu...
Imam Hariyanto
Imam Hariyanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Agribisnis Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Garam Amed Bali, Salah Satu Garam Unik di Indonesia

11 Desember 2016   12:01 Diperbarui: 11 Desember 2016   12:10 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Halo teman-teman, apa kabar? :)

Wah, sudah lama sekali rasanya saya gak nulis di blog kesayangan ini. Padahal saya punya banyak cerita seru dan menarik untuk dituangkan ke dalam sebuah tulisan. Saya sekarang bekerja di Jakarta, saat tulisan ini diterbitkan, tepat setengah tahun saya merantau di ibukota Indonesia ini.

Oia, karena pekerjaan, saya banyak bepergian ke beberapa daerah di Indonesia, seperti Flores, Bali, Riau, Kalimantan Timur, dan Kabupaten Garut. Oke, kali ini saya akan menceritakan pengalaman saya ketika saya ke Bali, di sana saya mengunjungi sebuah desa cantik, namanya Desa Purwakerthi, tepatnya di (sebut saja) Dusun Amed.

Dusun Amed, Desa Purwakerthi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Itu tadi lokasi lengkapnya. Terus, ngapain Mas Imam di sini?Nah, pertanyaan bagus. Jadi gini, saya ke sini untuk bertemu dengan petani garam.

Yup,selain terkenal dengan wisata baharinya (diving dan snorkeling), Amed juga dikenal sebagai salah satu penghasil garam unik. Kenapa bisa unik?Nah, kalau penasaran, lanjutkan baca sampai habis ya :)

2-584cda19597b61a90b92a1f6.jpg
2-584cda19597b61a90b92a1f6.jpg
Sebenarnya perjalanan saya ini masih berhubungan dengan Indikasi Geografis. Masih ingat apa itu Indikasi Geografis?Penjelasan sederhana mengenai Indikasi Geografis bisa teman-teman baca di tulisan saya ini.

Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Garam Amed Bali adalah pelaku utama dibalik produksi garam unik ini. Sebagaimana masyarakat Bali pada umumnya yang terkenal tetap melestarikan budaya leluhur, para petani garam di Amed memproduksi garam dengan cara tradsional, mereka tetap melanjutkan cara produksi garam seperti leluhur mereka kerjakan dahulu.

Bagaimana caranya?

Jika kebanyakan cara produksi garam di beberapa daerah di Indonesia dilakukan dengan cara menjemur / mengkristalkan air laut di atas tanah, maka yang dilakukan petani garam di Amed berbeda. Di sini, air laut dijemur dalam batang kelapa yang sudah berumur puluhan tahun (rata-rata 20-30 tahun - lebih tua dari usia saya hehe), yang mereka sebut sebagai "palungan". Air laut dibiarkan 4-7 hari sampai membentuk kristal-kristal garam.

3-584cda31597b61a10b92a1f7.jpg
3-584cda31597b61a10b92a1f7.jpg
4-584cda3d597b61ab0b92a1f8.jpg
4-584cda3d597b61ab0b92a1f8.jpg
Hanya itu?

Of course not!

Sebelum dituang ke dalam palungan, air laut terlebih dahulu disaring menggunakan alat yang disebut dengan "tinjungan". Tinjungan adalah sebuah wadah berbentuk kerucut terbalik yang diisi dengan tanah dan pasir dari daerah Amed, kemudian air laut dari garis pantai Amed dimasukkan ke dalam tinjungan untuk disaring, biasanya memakan waktu 1 malam. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada sore hari, hingga pada esok paginya air laut hasil saringan dari tinjungan akan diambil dan dituangkan ke dalam palungan untuk dijemur sampai menghasilkan kristal garam, lebih tepatnya Bunga Garam (fleur de selatau flower of salt) dan butiran garam biasa.

5-584cda63509373465d653de8.jpg
5-584cda63509373465d653de8.jpg
6-584cda746c7e61415e11c845.jpg
6-584cda746c7e61415e11c845.jpg
Keunikan lain dari Garam Amed tentu saja adalah rasanya. Nah, emang rasanya kayak apa, Mas?

Oke, jadi gini.. Di Amed, petani garam menerapkan 2 cara produksi, yaitu pengkristalan air laut dengan menggunakan kain terpal, dan satunya lagi adalah cara tradisional dengan palungan. Saya sudah mencoba kedua rasa garam ini, hasilnya:

  • Garam dari kain terpal: Asin dengan after tastepahit (bitter)
  • Garam dari palungan: Asin dengan after tasteasin gurih seperti sensasi bumbu dapu

Tentu saja, hasil tersebut sangat subyektif. Tapi menurut MPIG Garam Amed, sebelum saya datang, sudah ada seorang ahli garam dari Perancis, Charles Perraud (LinkedIn beliau: click here), yang lebih dulu melakukan uji cita rasa dengan metode blind test.Beliau membawa beberapa sampel garam dari berbagai daerah, dan hasilnya menunjukkan bahwa memang garam dari Amed memiliki rasa asin yang gurih. Sama seperti yang saya rasakan. :)

7-584cda91939373f40de5873c.jpg
7-584cda91939373f40de5873c.jpg
Keunikan itu dihasilkan darisumber daya alam daerah asal

8-584cdab48523bd775f4526fd.jpg
8-584cdab48523bd775f4526fd.jpg
Keunikan Garam Amed Bali sudah saya jelaskan secara sederhana, pertanyaan selanjutnya adalah: Apa sih yang menyebabkan Garam Amed unik?Kalau petani garam di daerah lain pakai cara produksi yang sama, kan bisa saja rasanya sama.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita kembali lagi ke konsep Indikasi Geografis. Analogi sederhana, sama bikin soto ayam, tapi jika yang memasak orang berbeda, tentu rasanya akan berbeda, meskipun dengan bahan dan bumbu yang sama.

Itu baru masakan, yang bahan dan bumbunya bisa didapat di mana saja. Tapi bagaimana dengan "bahan dan bumbu" untuk "memasak" Garam Amed. Apa mau membawa pasir, tanah, dan air laut dari Pesisir Amed ke daerah lain untuk "dimasak" menjadi garam dengan cara yang sama dengan petani garam di Amed?

Tentu saja tidak.

Kata "geografis" dalam Indikasi Geografis dimaknai sebagai faktor alam, faktor manusia, dan/atau kombinasi keduanya. Ya, betul. Perbedaan faktor alam dan/atau faktor manusia dari masing-masing daerah inilah yang menyebabkan perbedaan ciri dan kualitas barang dari setiap daerah.

9-584cdadd597b61850b92a1fa.jpg
9-584cdadd597b61850b92a1fa.jpg
Garam Amed Bali adalah salahsatu produk Indikasi Geografis terdaftar di Indonesia. Keunikannya sudah diakuidan nama "Amed" untuk garam sudah dilindungi secara hukum, sebagaimilik MPIG Garam Amed Bali. Hak perlindungan nama "Amed" ini bukanmilik pribadi, melainkan hak milik bersama (komunal) para petani garam di Amed,bali.

Dampak Indikasi Geografis Bagi Petani Garam Amed

10-584cdb08b47a6117068b4568.jpg
10-584cdb08b47a6117068b4568.jpg
Produksi garam di Amed tidak hanya menjadi salah satu aktivitas petani, namun juga anak-anak di sana. Generasi masa depan, penerus untuk mejaga warisan leluhur, produksi garam secara tradisional.

Anak-anak di Amed jamak menjadi penjual garam, biasanya mereka menjual kepada turis asing yang berlibur di Amed. Seperti anak-anak yang saya temui di pinggir pantai ini.

Sepulang sekolah atau saat sekolah libur, mereka tidak banyak bermain. Tapi mereka akan berkeliling Amed untuk menjual garam yang dikemas sebagai souvenir menarik. Satu hal yang menarik adalah mereka bisa berkomunikasi dengan Bahasa Inggris, bahkan Bahasa Perancis. Buktinya saat saya tantang mereka untuk mencoba merayu saya untuk membeli garam mereka dengan menggunakan kedua bahasa tersebut, mereka bisa melakukannya. Saya kalah taruhan, saya pun membeli garam souvenir garam mereka. Oia, saya melakukan ini dengan maksud bercanda dan bersenang-senang saja...haha

11-584cdb26597b61df0b92a1f6.jpg
11-584cdb26597b61df0b92a1f6.jpg
12-584cdb2a8523bda15f4526fe.jpg
12-584cdb2a8523bda15f4526fe.jpg
Penghargaan Indikasi Geografis kepada Garam Amed Bali yang nantinya akan memberikan sebuah logo baru dalam kemasan mereka, secara teori, akan membuat "nilai" garam yang dijual dihargai lebih tinggi. Adanya logo Indikasi Geografis Garam Amed Bali memiliki arti bahwa garam tersebut dijamin memiliki kualitas baik dan benar-benar garam murni dan asli yang diproduksi oleh petani garam di Amed. Bukan merupakan garam oplosan atau garam dari daerah lain. Ingat kembali konsep "ciri dan kualitas" unik dari produk di setiap daerah.

Dampak Ekonomi, peningkatan harga garam yang diterima oleh petani, itu adalah dampak yang diharapkan oleh adanya Indikasi Geografis. Selain tentu menjaga kelestarian budaya leluhur, yaitu produksi garam secara tradisional.

Oke, itu tadi sepenggal cerita ringkas tentang perjalanan saya ke Amed, Bali. Indonesia benar-benar negeri yang kaya akan alam dan budaya. Saya ingin menjelajah negeri ini lebih jauh lagi, lebih banyak lagi.

Nantikan cerita saya selanjutnya ya :D

Disclaimer: Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan gaya ngopi kota mana yang lebih baik atau tidak, karena setiap kota punya budaya dan selera ngopi yang berbeda. Dan perbedaan di setiap kota itu memberikan warna baru bagi perjalanan saya, saya suka itu :).  Tulisan ini sebelumnya telah dipublkasikan di blog pribadi penulis yang bisa dilihat pada tautan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun