Mohon tunggu...
IMAM HAMBALI
IMAM HAMBALI Mohon Tunggu... Penulis - Hidup cuma sesaat gunakanlah sebaik mungkin

Sebaik - baiknya manusia, yang bermanfaat bagi sesamanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tenggelamnya Rembulan

5 Januari 2021   02:01 Diperbarui: 5 Januari 2021   03:16 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ar Rahman itulah salah satu nama pondok pesantren di Madura, disanalah orang-orang mencari ridhonya, tempat untuk orang-orang mengais ilmu dan tempat untuk orang-orang berjihad fisabilillah. Beribu-ribu santri dari berbagai macam daerah yang telah meramaikan tempat yang dulunya sepi. HANA, dialah salah satu santriwati yang berasal tidak jauh dari pesantren itu, dia putri bungsu dari seorang guru, H. Abduh yang terkenal dengan kepolosannya. Dia begitu polos dan sedang mengayun pendidikannya di bangku kelas VIII MTs Arrahman. Begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan teman-teman pada dirinya. "Kenapa sih na, kamu tidak memilih mondok di luar Madura?". Hana menjawabnya dengan sangat tenang, "tidak apa-apa kok, saya hanya mengikuti apa yang ayah saya katakan". " Hahahaha... Kamu lucu deh, berarti seandainya ayah kamu nyuruh kamu nyebur sumur apakah akan kamu turuti?" "mungkin iya, asalkan perintah ayah tidak bertentangan dengan syariat." Begitulah percakapan antara Hana dengan salah satu temannya. Ayah Hana sangatlah menyayanginya dan sering memanjakan nya, namun kemanjaan yang diberikan oleh ayahnya tidak mengubah sedikitpun keta'dziman Hana pada ayah tercintanya. Hana sangat menyayangi, bagaimana tidak, pak Abdullah yang selalu menasehati dan menegur Hana ketika Hana dalam jalan salah kaprah.

2 bulan sudah, dia telah menemukan kenyamanan bersama teman-temannya baik dalam suka maupun duka. Semenjak itu juga dia sering dijemput pulang karena ayah tercintanya sedang diuji kesabaran dengan diberinya kasih sayang oleh Allah melalui penyakit yang dideritanya. Jam menunjukkan pukul 12.30, teriknya matahari menampakan pandangan kala itu. nampak seorang perempuan bergamis datang kepada Hana dengan nafas yang terengah-engah. "Hana, ayo ikut bibi pulang sekarang nak!" Hana tidak bisa menjawabnya, tapi Bali bertanya "ada apa bibi?" "Tidak ada apa-apa Han, hanya ada acara keluarga." Jawab sang bibi dengan wajah menyembunyikan sesuatu dari Hana.

Sesampainya di rumah ada perasaan menusuk hati putri bungsu, terlihat seorang yang sangat dia sayangi terbaring lemas di atas kasur yang begitu lembut. Tak terasa butiran mutiara menetes membasahi lesung pipinya, "sabarlah, selipkan nama ayahmu dalam setiap doa yang kamu lantunkan kepadaNya" ucap sang bunda sambil memeluk erat Putri bungsunya itu. "Pasti ibu" jawab Hana dengan suara terbata-bata.

Tak terasa hari begitu cepat berlalu, tibalah waktunya di mana Hana harus kembali ke tempat suci itu meskipun keadaan sang ayah tidak begitu baik tapi apalah daya! Hana harus mematuhi peraturan tempat suci itu untuk bisa membuat kedua orang tuanya bahagia dan bangga.

Di situlah dia selalu berikhtiar untuk bisa mencapai apa yang dia inginkan dan juga tak lupa dia selalu bermunajat kepada rabbul Izzati untuk yang terbaik untuknya serta tak lupa bermunajat untuk kesehatan sang ayah tercinta. Selesai dia bercengkrama dengan sang pencipta ada seorang ustadzah menghampirinya. "Hana, bagaimana keadaan ayahmu? Apakah ada perkembangan?" Tanya ustadzah. Namun Hana hanya bungkam dengan pertanyaan itu dan tertunduk. "Hana, ada apa?" Kedua kalinya sang ustadzah itu bertanya, kemudian Hana langsung menceritakan apa yang terjadi pada sang ayah tercinta. Ditengah cerita tiba-tiba ustadzah tadi meneteskan air matanya "sudahlah ustadzah mungkin ini adalah ujian warga saya, saya dan keluarga hanya bisa berikhtiar semoga Allah mengangkat penyakitnya, saya mohon pada ustadzah untuk menyelipkan sedikit do'a yang terbaik untuk kesembuhannya." Pinta Hana dengan.kemudian Hana melanjutkan aktivitas belajarnya dengan penuh api semangat.

Hari demi hari telah, tibalah waktu yang paling ditunggu, liburan idul Adha pun sudah tiba. Semua santri ar-rahman sangatlah, mereka menyibukkan diri untuk mempersiapkan pulang ke halaman rumahnya masing-masing. Mereka saling berpamitan satu sama lain dengan perasaan yang menggebu-gebu tak tertahan lagi. Tak lama kemudian keluarga mereka pun menjemputnya satu persatu, namun tidak dengan. Pada saat,Hana menunggu saudara yang biasa menjemputnya tapi ternyata tampaklah seorang laki-laki yang jaga kenal menghampirinya. "Na, segeralah pulang. Di rumah ayahmu menunggu kedatanganmu. "cakap orang laki-laki itu dengan nada yang begitu khawatir dengan penuh penasaran Hanna tak menjawab dan tak membalas perkataan laki-laki itu malah langsung pergi untuk bersiap-siap pulang. Dia pun mengambil tasnya dan segera pulang walaupun tak ada yang menjemputnya.

Sesampainya di,dia sangat terkejut melihat semua keluarganya sudah siap untuk menempuh perjalanan.dia mengurungkan niatnya untuk bertanya pada bundanya karena tampak dari wajah itu memancarkan kecemasan yang begitu besar. Dengan hati yang gundah, Hana hanya bisa diam dan sesampai lah mereka di sebuah gedung yang serba putih. Dalam hati, "tempat apa? Kenapa mereka pergi ke sini? apa yang sebenarnya terjadi?"seketika itu dia sangat shock melihat tulisan rumah sakit Adi Wijaya terpanjang di tembok gedung itu. Tanpa dia sadari, sang kakak melihat reaksi yang terpampang dari, kemudian sang kakak menjelaskan semua yang terjadi.Butiran bening itu kembali jatuh dengan begitu derasnya dari pelupuk mata sayu seorang putri bungsu. Sang bunda pun menghibur dan menenangkan. ", Sekarang ayah harus di ruang ICU ini. "Hana tidak membalas perkataan sang bunda, dia hanya tertunduk diam dengan hati yang begitu pedih. Senja pun mulai menampakan diri,bersamaan dengan kepulangan Hana dan salah satu kakaknya untuk mengisi keramaian yang telah hilang di surga kecilnya itu.

"Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar"lantunan takbir yang begitu merdu nan meriah menggema di penjuru bumi. Semua orang merayakan malam takbiran itu dengan sangat bahagia. Tak ada sedikitpun dari wajah mereka yang menampakkan kesedihan. Ada yang bertakbir keliling,yang biasa dilakukan oleh para remaja dan ada juga yang bertakbir di masjid saja. Oh sungguh meriah malam lebaran ini yang dipenuhi senandung takbir. Namun, beda dengan Hana dan kakaknya.Mereka merayakan malam takbiran dengan berdua saja, sedangkan anggota keluarga yang lain merayakan malam lebaran nya di gedung yang serba putih itu dengan hati yang bercampur aduk antara sedih dan bahagia. Sungguh malang nasib yang mereka alami. Tapi apalah daya! Itu semua dari yang maha kuasa atas segalanya.kita tidak bisa menentang apa yang dia kehendaki. kita hanya bisa berkata dan berdo'a. keesokan harinya,Hana dan kakaknya dijemput oleh pamannya untuk pergi menjenguk sang ayah dalam perjalanan Hana tidak henti-hentinya memanjatkan doa untuk sang ayah dan tak sabar lagi ingin bertemu ayahnyadalam perjalanan Hana tidak henti-hentinya memanjatkan doa untuk sang ayah dan tak sabar lagi ingin bertemu ayahnya. Ada pertanyaan dalam hati Hana ketika dia melihat tulisan ruang ICU. "Tempat apa ini ya?" Sejurus kemudian dia menjauhkan pertanyaan yang tak mungkin ada yang menjawabnya.sang bunda pun menyuruh anak untuk masuk ke dalam ruang itu. Dengan langkah takut, Hana pun mengikuti apa yang bundanya katakan. Di ruang ICU yang begitu ramai dengan bunyi alat-alat yang tak pernah Hana lihat sebelumnya,dia melihat semua keluarganya melantunkan ayat-ayat Alquran dengan begitu indah yang diselipi doa-doa untuk kesembuhan ayah tercinta. Tak lama dari itu,ayah Hana membuka matanya dengan perlahan-lahan dan terlontar dari lisannya kalimat takbir yang tersendat-sendat.kemudian ayahnya meminta sang bunda supaya mengumpulkan anggota keluarganya untuk bersalam-salaman seperti aktivitas yang biasa mereka lakukan pada waktu Hana tak tahan lagi menampung butiran mutiara bening di pelupuk matanya. Pada saat Hana memegang tangan ayahnya,dia langsung memeluk sang ayah tanpa memperdulikan cegahan suster. "Dik, ayahnya jangan dipeluk dulu! Lihat, banyak alat-alat yang tidak boleh kena sentuh di tubuh ayahmu."cegahsang suster. "Biarlah sus, dia putri bungsu kami. Dia masih terlalu polos untuk memahami apa yang suster katakan padanya."pinta sang bunda. "Eh, maaf Bu. Saya tak mengetahuinya. "percakapan antara bunda dengan suster, dia langsung memeluk erat bunda ayahnya dengan wajah yang dibanjiri air mata. "Sudahlah nak, jangan kau menangis seperti itu. Ayah pasti sembuh kok!" Kata sang ayah. "Itu pasti ayah! Hana akan bilang pada yang maha kuasa untuk mengangkat penyakit ayah." "Ya seperti itu nak. Kita harus bermunajat padaNya, tidak boleh putus asa." "Iya ayah." Percakapan an-naba ayah dan putri bungsu mengalir begitu saja membuat saudara-saudaranya iri kepadanya. Hana dan kakaknya kembali pulang pada hari berikutnya untuk meramaikan kembali surga kecilnya. Selain itu, di surga kecilnya masih ada anak-anak yang sangat membutuhkan bimbingan belajar dan Hana masih terlalu polos untuk dapat memahami semua yang menimpa keluarganya itu lebih-lebih yang menimpa ayah tercintanya.

Sudah 5 hari mereka lalui di gedung yang serba putih itu. Semakin hari kondisi sang ayah semakin lemas, tak ada perkembangan sedikitpun. Dia terbaring begitu lemah dan lemas di atas kasur yang terlalu empuk. Dia mulai tak bisa menahan sakitnya lebih lama di rumah sakit. Dia ingin segera pulang walaupun dokter melarangnya. Dokter melarangnya pulang, karena kondisinya begitu lemah dan tak bisa di rawat jalan. Anak sulungnya pun kewalahan untuk mencegahnya supaya tetap dirawat di rumah sakit. Akhirnya dokter pun dengan berat hati mengizinkannya pulang. Dalam perjalanan dia berkata sesuatu pada anak yang mendampinginya, tapi suaranya tak terdengar jelas oleh anaknya. Dalam benak sang anak pun penuh tanda tanya. Penasaran akan apa yang dia katakan. Tak lama dari itu dia mulai tak sadarkan dirisampai 2 hari berikutnya. Dia berkata sesuatu dengan suara yang tidak jelas sehingga membuat keluarganya tak memahaminya.

Sabtu 11 Oktober 2014 adalah waktu di mana Hana harus kembali ke tempat suci itu. Dia bersiap-siap dan telah terbakaroleh api semangatnya untuk kembali ke pesantren walaupun dalam hatinya masih berat untuk meninggalkan ayah tercinta nya yang tak kunjung sadar. Langkahnya terhenti setelah mendengar suara kakaknya. "Dik, jangan balik dulu. Kakak punya firasat bahwa ayah tak akan hidup lebih lama lagi." Pinta sang kakak.ada hantaman yang begitu keras dalam hati Hana setelah mendengar alasan kakaknya menunda waktunya untuk kembali ke pesantren.Hana hanya tertunduk diam dan tak sengaja ada butiran butiran mutiara yang mengalir.

Malam pun datang dengan begitu cepat yang menandakan selamat datang kesunyian. Sabtu malam, 11 Oktober 2014 yang bertepatan pada tanggal 17 Dzulhijjah 1436 H, jarum jam menunjukkan pukul 23.30 waktu dimana semua orang telah menerapkan tidurnya dan sedang berjalan-jalan di alam mimpi dengan begitu nyanyinya tanpa ada orang yang mengganggunya. Namun tidak dengan keluarga Hana. pada saat itu ayah Hana sedang berjihad, berjuang melawan musuh-musuh dengan melantunkan lafadz yang sangat mulia "Allah" dan saat itu juga ayah ana menghembuskan nafas terakhir dan menutup matanya untuk selama-lamanya. Tangis pecah begitu saja tanpa ada yang menyuruhnya. semua keluarga Hana begitu sedih dan terpukul dengan kepergian seorang pemimpin dalam keluarganya. Tapi Hana tak bereaksi apa-apa. Dia hanya tertegun melihat semua yang terjadi, melamunkan hal indah bersama keluarganya terutama bersama ayahnya.dia hanya mengalirkan butiran butiran mutiara bening di lesung pipinya yang indah dengan senyuman ke tertegun nanya.tapi dia tak paham apa makna dari butiran butiran mutiara yang mengalir itu.

Ada rasa sakit yang begitu pilu dalam hati seorang putri bungsu, ketika kalimat toyibah "lailahailallah hu la ilaha illallah la Ilaha illallah muhammadur Rasulullah"dilantunkan dengan begitu serentak.dan saat itu juga lamunan dan keteguhannya itu pecah menghilang begitu saja. Yang terlihat di depan matanya, seseorang yang tertutupi dengan kain serba putih. Serasa ada tinjuan yang mendarat di dalam hatinya, rasa sesak yang dahsyat mengiringi dalam dadanya. Sejak itu dia sadar akan kehilangan penerang, penunjuk arah kebaikan, penuntunnya dalam jalan kepadanya untuk selama-lamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun