Mohon tunggu...
Imam Hanafie El-Arwany
Imam Hanafie El-Arwany Mohon Tunggu... -

Simple

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Orang Kecil

13 Juni 2017   22:54 Diperbarui: 13 Juni 2017   22:56 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Imam Hanafie El-Arwany

Biasanya kalau kita ingin memperoleh sesuatu yang memiliki nilai lebih semisal pengetahuan, keterampilan, atau pengalaman kita sering belajar dari orang-orang besar, tokoh-tokoh terkenal, ilmuwan-ilmuwan populer, atau ulama-ulama legendaris yang kita anggap memiliki daya linuwihsesuai dengan bidangnya masing-masing. 

Hal itu memang lumrah, karena memang mereka sudah teruji kredibilitas dan kompetensinya, sudah memiliki bekal yang cukup untuk dapat disebut sebagai orang besar, tokoh, ilmuwan ataupun ulama. Tapi pada kesempatan ini, saya ingin mengajak diri saya sendiri dan anda untuk mengenali dan menjelajahi dunia orang-orang kecil yang mungkin saja dari mereka kita bisa memetik pelajaran berharga, tentu dengan tidak bermaksud mengajak anda untuk menjadi orang kecil tapi justru sebaliknya untuk menjadi “orang besar”.

Orang kecil atau istilah-istilah lain yang sering kita dengar semisal “wong cilik”, “kaum alit”, atau “orang pinggiran” adalah kelompok masyarakat yang di negara berkembang seperti Indonesia ini jumlahnya mayoritas jika dibanding dengan “orang besar”, “orang berada” atau kelompok masyarakat yang hidupnya serba berkecukupan baik dari segi materi ataupun taraf pendidikan. Orang kecil itu hampir ada di semua wilayah, dari pedalaman hingga perkotaan, dari Sabang hingga Merauke, bahkan di seluruh penjuru dunia, dan bahkan di negara maju seperti Amerika pun orang kecil selalu ada.

Siapakah sebenarnya “orang kecil” itu? Mereka adalah kelompok masyarakat yang taraf hidupnya berada di bawah garis kemiskinan. Mereka adalah orang-orang yang hidupnya kurang beruntung, yang pendapatan sehari-harinya berada di bawah standar. Mereka adalah orang-orang yang tingkat pendidikannya kurang memadai sehingga kurang mendukung untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Pendek kata, orang kecil adalah masyarakat kelas menengah ke bawah yang kehidupannya selalu digelayuti oleh segudang problem yang tak ada habis-habisnya, mulai dari masalah ekonomi, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan seterusnya.

Orang-orang kecil dengan segala problem kehidupannya bukanlah orang-orang yang kesemuanya berwatak kerdil. Banyak orang-orang kecil yang memiliki sikap hidup yang jauh lebih baik dari orang-orang besar. Tidak sedikit orang-orang kecil yang kualitas keberagamaannya (religiusitas) jauh lebih mumpuni dibanding orang-orang besar. 

Berapa banyak mereka yang berpredikat “orang besar” yang memiliki kedudukan tinggi, pekerjaan yang sangat layak, taraf pendidikannya yang sangat memadai, yang sering disebut-sebut sebagai tokoh itu ternyata masih saja mengais-ngais rizki dengan jalan korupsi, menumpuk-numpuk kekayaan dengan cara yang syubhatbahkan haram. Orang-orang besar seperti inilah akibat terlalu sering “melihat ke atas” dan jarang “melihat ke bawah” sehingga ia lupa bahwa di bawahnya masih banyak ribuan bahkan jutaan orang-orang kecil yang kehidupannya jauh lebih rumit darinya.

Marilah kita renungkan sejenak kisah nyata mereka yang mengharukan berikut ini, seperti diberitakan dari (dream.co.id):

Terperanjatlah Supriyanto. Sehari-hari bekerja sebagai buruh tani, sungguh tak mengira putrinya berdiri di sana. Di atas panggung. Di podium. Menghadap ribuan orang yang tekun mendengar. Cobalah katakan, hati orang tua mana yang tidak terharu  dirubung bahagia semanis itu?

Dan hari itu,  takdir seperti sedang mengayun Supriyanto ke langit. Lihatlah dia sehari-hari. Mencangkul tanah demi dapur mengepul. Susah payah mengongkosi anak sekolah, dan hari itulah puncaknya:  menyaksikan si bungsu berpidato di muka ribuan mahasisiswa, orang tua, para profesor dan doktor.

Angga Dwi Tuti Lestari, nama si bungsu berusia 22 tahun itu. Di atas panggung Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo itu, dia tidak terlihat tenang. Wisudawati dari dari Jurusan Biologi, Fakultas MIPA itu menyampaikan ucapan terima kasih kepada para dosen, Dekanat, Universitas dan semua pihak yang hadir di situ.

Angga masih di panggung, lalu bicaralah Ari Handono Ramelan. Dia adalah professor yang menjadi sebagai dekan di situ. Sesudah menyampaikan terima kasih, Handono lalu mengisahkan soal Angga. Mahasiswi Jurusan Biologi Fakultas MIPA itu memperoleh nilai terbaik. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) nyaris sempurna: 3.98. Luar biasa.

Dan inilah yang membuat si Buruh Tani Supriyanto itu kian terkejut. Sang dekan meminta kedua orang tua Angga berdiri. Sedikit gemetar dia berdiri. Juga istrinya Sugiyanti. Tepuk tangan panjang membahana.  

Supriyanto dan istrinya sungguh terkejut, sebab tidak ada pemberitahuan dari universitas bahwa Angga menjadi wisudawan terbaik. Mereka tak mampu menahan haru. Di tengah tepuk tangan yang membahana keduanya menangis tersedu. Melihat orang tuanya menangis bahagia, di atas panggung, Angga juga ikut menangis terharu.

Usai acara, Supriyanto mendatangi Angga. Ia berkata kepada anaknya: “Kalau bapak tahu kamu jadi lulusan terbaik, bapak akan pakai baju yang lebih baik,” ujarnya seperti yang dituturkan ulang oleh Angga pada Dream.co.id dengan suara tercekat, Sabtu 10 Januari 2014.

Cerita si Angga dari Solo itu bukan satu-satunya kisah tentang orang-orang kecil yang bersinar. Di sekitar kita banyak kisah seperti ini. Anak pengemis yang menjadi “raja” di kelas, anak tukang becak yang sukses menjadi sarjana, bahkan melalang buana ke manca Negara.

Bacalah kisah Zumrotul Choiriyah. Putri dari seorang ayah yang sehari-hari hidup dari berburu belut. Mencangkul hidup dengan cara seperti itu, Zumrotil dibesarkan jauh dari layak, tapi disirami kasih sayang tak terkira. Rumah mereka reyot. Tapi kakinya ringan ke sekolah.

Lepas dari Pondok Pesantren An-Nuur, Semarang, Zum melanjutkan sekolah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo jadi rumah barunya menimba ilmu. Mimpi menjadi bidan disisihkan karena tak lolos seleksi. Dia lalu bertekun di kampus itu.

Dan tanggal 6 Agustus 2014 adalah hari saksi kegigihan Zum. Ditemani kedua orangtuanya dalam proses wisuda, Zum terkaget-kaget saat sang rektor menyebut namanya. Zumrotul adalah wisudawan terbaik. Nilai IPK nyaris sempurna 3,93. Dia mengalahkan banyak orang. Mengalahkan mereka yang “cilike ngombe susu.”

Dan hari-hari ini,  Zum mulai memetik hasil manis dari susah payahnya.  Gagal menjadi bidan, Zum yang bertekad membahagiakan keluarga ini diterima menjadi dosen. Kini, dia tengah menyelesaikan studi S2 jurusan Ilmu Dakwah.

Dengarlah juga kisah dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini. Berkendara seonggok becak menuju lokasi wisuda, Raeni mungkin membuat mata yang memandang tersipu malu. Di tengah keterbatasan ekonom, Raeni masih bersikukuh melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.

Tak cukup dengan sentilan dia putri pengemudi becak, Raeni kembali membuat wajah mahasiwa lain tertunduk. Nilai IPK-nya nyaris sempurna. Skor 3,96 tersenyum di halaman ijazahnya. Dia lulus dengan cum laude.

Sebenarnya masih masih banyak kisah-kisah orang kecil yang di dalamnya terdapat pelajaran mulia, namun tiga kisah di atas cukuplah untuk kita jadikan bahan renungan bahwa orang-orang kecil itu secara tidak langsung telah memberikan ibrah kepada kita, ibrah tentang keniscayaan bahwa keterbatasan hidup orang-oramg kecil tidaklah menghalanginya untuk meraih apa yang disebut dengan "kemuliaan" dengan cara tetap berjalan di Jalan-Nya meski dalam kondisi yang kurang membahagiakan. Orang-orang kecil yang senantiasa istiqamah bekerja dan berjuang mencari rizki dengan cara yang halal meskipun (mungkin) sepele atau rendah di mata orang lain.   

Penulis teringat dengan pesan luhur dari almarhum Mbah Yai Hasyim Muzadi: "Orang-orang yang mendapat rizki yang mulia, hatinya akan bersih, doanya akan sampai (kepada Allah Swt). Banyak orang desa bodoh, miskin, tapi bersih dan (selalu) berdoa (maka) anaknya jadi ulama, anaknya jadi intelektual, anaknya jadi presiden, anaknya jadi tokoh dunia, sementara yang sudah (merasa) pintar, anaknya kena narkoba, kena (masalah) ini dan itu. Jadi kebersihan melahirkan kebesaran, tapi penggunaan kebesaran yang tidak bertanggung jawab, dia akan memukul dirinya sendiri".

Itulah gambaran orang-orang kecil yang selalu istiqamah di jalan Tuhan meskipun kehidupannya serba kekurangan dan berbagai problem hidup yang tak habis-habisnya, tapi ia selalu berhati-hati dalam mencari rizki serta tak pernah lupa untuk berdoa kehadirat-Nya, maka Tuhan pun akan mengangkat derajatnya menjadi hamba yang mulia dalam pandangan-Nya, meskipun "biasa" atau bahkan "rendah" di mata manusia. Ingat, Tuhan tidak menilai bagaiman tampilan fisik dan kekayaan duniawi kita, tetapi Tuhan lebih "mementingkan" nilai amal dan kekayaan hati kita. 

Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak melihat kepada bentuk rupamu, tidak pula kepada jumlah kamu, dan tidak pula kepada harta kekayaanmu; Akan tetapi Dia melihat kepada hatimu dan amal perbuatanmu” (HR. Tabrani)”.Sabda Rasulullah SAW ini memberikan penegasan bahwa dalam pandangan Allah SWT tidak berlaku terminologi kaya-miskin, jabatan tinggi-rendah, orang besar-orang kecil dan seterusnya, akan tetapi yang menjadi pembeda di antara umat manusia adalah kepemilikan atas “kekayaan hati” dan kualitas amal masing-masing umat. 

Pendek kata, orang-orang kecil yang hidupnya serba kekurangan dan tak memiliki prestise keduniawian tapi memiliki tingkat penghambaan yang tinggi kepada Sang Khalik adalah jauh lebih tinggi derajatnya dibanding orang besar yang hidupnya serba berkecukupan, berkedudukan tinggi dan terhormat tapi kehidupannya jauh dari Tuhan. Bahwa secuil kisah di atas membukakan pandangan dengan lebar kepada kita, bahwa uang bukan segala-galanya, tapi semangat yang terus menyala di saat hidup serba kekurangan akan mampu mengubah dunia, mengubah mimpi menjadi kenyataan, sebagaimana Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka “ (QS. Ar Ra’d: 11)

Kehidupan orang-orang kecil yang secara ekonomi serba kekurangan tapi seolah-olah tidak terpengaruh dengan kondisi yang menghimpitnya bahkan semakin mendekatkan dirinya dengan Tuhan pernah mengusik benak almarhum Gito Rollies mantan rocker yang akhirnya mengembalikannya ke jalan yang benar. Gito Rollies adalah salah satu di antara “orang besar” yang beruntung dikarunai nikmat hidayah oleh Allah SWT. 

Pernah suatu kali Gito merenung, mengapa orang-orang kecil para tetangganya itu terlihat memiliki kedamaian yang memancar di raut wajahnya meskipun sebenarnya hidupnya serba kekurangan dan penuh masalah? Sedangkan ia sendiri yang serba berkecukupan dari segi materi tapi jarang mendapatkan ketenangan batin? Pertanyaan-pertanyaan itulah salah satunya yang mengantarkan Gito Rollies meninggalkan kehidupan hitamnya dan bertekad mengisi kehampaan hatinya dan mulai menata kembali hidupnya.

Itulah sedikit dari pelajaran berharga yang dapat kita petik dari sosok orang kecil, bahwa orang kecil itu tidak selamanya berjiwa kerdil. Oleh karena itu janganlah sekali-kali meremehkan bahkan merendahkan orang kecil, karena boleh jadi orang kecil itu memiliki derajat yang istimewa di mata Tuhan. 

Seharusnyalah orang-orang yang beruntung memperoleh predikat sebagai orang besar itu belajar dari orang kecil, karena tidak sedikit orang-orang kecil yang meskipun taraf keduniawiannya rendah tetapi justru memperoleh derajat yang mulia di sisi Tuhannya, yakni mereka lebih mengerti siapa penciptanya dan bagaimana harus memperlakukan Sang Penciptanya. Walhasil, banyak-banyaklah bersyukur dan bersikaplah optimistis baik ketika menjadi orang besar atau orang kecil, niscaya Tuhan akan menjadikan kita orang besar dalam pandangan-Nya. (Sangatta, updated 13/6/2017)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun