Mohon tunggu...
Imam Hanafie El-Arwany
Imam Hanafie El-Arwany Mohon Tunggu... -

Simple

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Orang Kecil

13 Juni 2017   22:54 Diperbarui: 13 Juni 2017   22:56 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angga masih di panggung, lalu bicaralah Ari Handono Ramelan. Dia adalah professor yang menjadi sebagai dekan di situ. Sesudah menyampaikan terima kasih, Handono lalu mengisahkan soal Angga. Mahasiswi Jurusan Biologi Fakultas MIPA itu memperoleh nilai terbaik. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) nyaris sempurna: 3.98. Luar biasa.

Dan inilah yang membuat si Buruh Tani Supriyanto itu kian terkejut. Sang dekan meminta kedua orang tua Angga berdiri. Sedikit gemetar dia berdiri. Juga istrinya Sugiyanti. Tepuk tangan panjang membahana.  

Supriyanto dan istrinya sungguh terkejut, sebab tidak ada pemberitahuan dari universitas bahwa Angga menjadi wisudawan terbaik. Mereka tak mampu menahan haru. Di tengah tepuk tangan yang membahana keduanya menangis tersedu. Melihat orang tuanya menangis bahagia, di atas panggung, Angga juga ikut menangis terharu.

Usai acara, Supriyanto mendatangi Angga. Ia berkata kepada anaknya: “Kalau bapak tahu kamu jadi lulusan terbaik, bapak akan pakai baju yang lebih baik,” ujarnya seperti yang dituturkan ulang oleh Angga pada Dream.co.id dengan suara tercekat, Sabtu 10 Januari 2014.

Cerita si Angga dari Solo itu bukan satu-satunya kisah tentang orang-orang kecil yang bersinar. Di sekitar kita banyak kisah seperti ini. Anak pengemis yang menjadi “raja” di kelas, anak tukang becak yang sukses menjadi sarjana, bahkan melalang buana ke manca Negara.

Bacalah kisah Zumrotul Choiriyah. Putri dari seorang ayah yang sehari-hari hidup dari berburu belut. Mencangkul hidup dengan cara seperti itu, Zumrotil dibesarkan jauh dari layak, tapi disirami kasih sayang tak terkira. Rumah mereka reyot. Tapi kakinya ringan ke sekolah.

Lepas dari Pondok Pesantren An-Nuur, Semarang, Zum melanjutkan sekolah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo jadi rumah barunya menimba ilmu. Mimpi menjadi bidan disisihkan karena tak lolos seleksi. Dia lalu bertekun di kampus itu.

Dan tanggal 6 Agustus 2014 adalah hari saksi kegigihan Zum. Ditemani kedua orangtuanya dalam proses wisuda, Zum terkaget-kaget saat sang rektor menyebut namanya. Zumrotul adalah wisudawan terbaik. Nilai IPK nyaris sempurna 3,93. Dia mengalahkan banyak orang. Mengalahkan mereka yang “cilike ngombe susu.”

Dan hari-hari ini,  Zum mulai memetik hasil manis dari susah payahnya.  Gagal menjadi bidan, Zum yang bertekad membahagiakan keluarga ini diterima menjadi dosen. Kini, dia tengah menyelesaikan studi S2 jurusan Ilmu Dakwah.

Dengarlah juga kisah dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini. Berkendara seonggok becak menuju lokasi wisuda, Raeni mungkin membuat mata yang memandang tersipu malu. Di tengah keterbatasan ekonom, Raeni masih bersikukuh melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.

Tak cukup dengan sentilan dia putri pengemudi becak, Raeni kembali membuat wajah mahasiwa lain tertunduk. Nilai IPK-nya nyaris sempurna. Skor 3,96 tersenyum di halaman ijazahnya. Dia lulus dengan cum laude.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun