Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

ADHD dan Sensori Overload

29 Desember 2024   08:01 Diperbarui: 29 Desember 2024   19:39 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ADHD dan Sensory Overload: Memahami Ketidaknyamanan yang Tak Terlihat

Sebelum mengenal lebih jauh tentang ADHD, saya pernah mendengar konsep sensory overload, tetapi hanya dalam kaitannya dengan autisme. Awalnya, saya pikir hal ini tidak berpengaruh pada diri saya. Justru istri saya yang pertama kali menyadari bahwa saya sering mengalami sensory overload.

Pemahaman ini telah memberikan dampak besar pada kemampuan saya untuk mengelola emosi, terutama kemarahan. Dengan menyadari kapan saya menerima terlalu banyak rangsangan sensorik, saya bisa menyesuaikan diri sebelum rasa frustrasi itu muncul.

Apa Itu Sensory Overload?

Sensory overload terjadi ketika indra menerima lebih banyak informasi daripada yang dapat diproses oleh otak. Hal ini bisa dialami oleh siapa saja, tetapi orang dengan neurodiversitas seperti ADHD lebih rentan terhadap kondisi ini.

Tekstur

Tekstur makanan bisa menjadi tantangan tersendiri. Ketika masih kecil, saya sangat pemilih soal makanan hal yang umum pada anak-anak dengan ADHD. Seiring bertambahnya usia, saya melatih diri untuk lebih toleran. Namun, ada tekstur tertentu yang benar-benar tidak bisa saya makan. Uniknya, tidak seperti pada autisme, tekstur yang saya rasa tidak nyaman sering berubah. Saya bisa menyukai satu jenis makanan selama berbulan-bulan, tetapi tiba-tiba merasa tekstur atau rasanya menjijikkan.

Pakaian

Banyak orang dengan ADHD melaporkan ketidaknyamanan terhadap label pakaian, hingga mereka merasa harus memotongnya. Meski saya tidak mengalaminya, pakaian sering terasa tidak nyaman. Ada kalanya saya merasa seperti "diserang semut" dan harus segera melepas pakaian saya. Jangan tanya soal bra jika tidak wajib, saya pasti menghindarinya.

Bau

Indra penciuman saya sangat tajam. Saya sering khawatir bahwa tubuh saya berbau tidak sedap, meskipun suami saya mengatakan tidak mencium apa pun. Bau tertentu, terutama yang buah-buahan, sangat mengganggu. Pernah, suami saya harus memindahkan yogurt rasa buah ke ruangan lain karena aromanya membuat saya merasa "terbakar" secara emosional.

Suara

Suara adalah salah satu pemicu sensory overload yang paling intens bagi saya. Suara orang makan, keramaian, musik latar, bahkan suara alat berkebun bisa membuat saya merasa seperti akan meledak. Sebagai guru, saya sering meminta siswa untuk melakukan tugas dalam keheningan karena saya tidak bisa fokus atau mendukung mereka dengan baik jika ada kebisingan.

Cahaya

Supermarket adalah tempat yang sering membuat saya stres. Cahaya terang dan warna-warni di dalamnya membuat saya merasa lelah dan tertekan. Setelah memahami sensory overload, saya mulai menghindari tempat-tempat seperti ini atau mengatur waktu kunjungan agar lebih nyaman.

Sentuhan

Saya orang yang sangat tactile; saya suka bersentuhan dengan orang lain secara ramah. Tetapi ada saat-saat ketika saya tidak tahan disentuh, bahkan oleh suami saya sendiri. Hal ini sering kali sulit dijelaskan dan dapat memengaruhi hubungan jika tidak dipahami.

Menerima dan Beradaptasi

Jika Anda memiliki ADHD, Anda mungkin mengalami sensory overload tanpa menyadarinya. Saat merasa marah atau kesal tanpa alasan jelas, cobalah merenung sejenak. Apa yang Anda lihat, cium, rasakan, dengar, atau sentuh?

Bagi saya, memahami sensory overload adalah perjalanan menuju penerimaan diri. Saya belajar bahwa saya tidak sekadar "berlebihan" atau "menyebalkan" saat merasa terganggu oleh hal kecil. Pemahaman ini membantu saya lebih berbaik hati pada diri sendiri dan mengambil langkah untuk mengatasi sensory overload sebelum bereaksi.

"Pemahaman adalah kunci untuk mencintai diri sendiri. Dengan memahaminya, kita tidak hanya menerima kelemahan, tetapi juga menemukan kekuatan yang tersembunyi."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun