Hyperlexia dan Disleksia: Fonologi Dua Sisi dari Koin yang Sama?
Ketika kita berbicara tentang kesulitan belajar, istilah disleksia sering kali menjadi sorotan. Namun, bagaimana dengan hyperlexia? Apakah keduanya saling terkait, ataukah mereka hanya kebetulan berada di spektrum yang sama? Sebagai penyandang disleksia dan ADHD, saya sering merenungkan bagaimana otak yang "berbeda" ini bekerja, dan bagaimana keduanya bisa menjadi jendela untuk memahami kerumitan manusia.
Menurut Darold Treffert, MD, hyperlexia dibagi menjadi tiga tipe:
- Hyperlexia Tipe 1: Anak-anak neurotipikal yang belajar membaca lebih awal dan memiliki pemahaman yang baik.
- Hyperlexia Tipe 2: Biasanya ditemukan pada anak-anak dengan gangguan spektrum autisme (ASD). Anak-anak ini membaca dengan sangat cepat, tetapi sering kali tanpa pemahaman mendalam.
- Hyperlexia Tipe 3: Anak-anak dengan gejala mirip autisme yang berangsur hilang seiring waktu, menunjukkan kemampuan membaca luar biasa, tetapi tetap memiliki tantangan dalam memahami konteks sosial dan emosional.
Hyperlexia sering kali dipandang sebagai kebalikan dari disleksia---di mana anak-anak dengan disleksia menghadapi kesulitan besar dalam membaca dan memproses fonologi, sementara anak-anak dengan hyperlexia membaca dengan lancar tetapi kurang memahami apa yang mereka baca.
Disleksia, seperti yang saya alami, bukan sekadar "kesulitan membaca." Ini adalah perjalanan emosional yang sering penuh dengan rasa malu dan ketidakpahaman dari lingkungan sekitar. Penelitian dari Sally Shaywitz menunjukkan bahwa otak penyandang disleksia memiliki aktivitas yang berkurang di bagian kiri posterior korteks temporal superior---area yang bertanggung jawab untuk pengolahan fonologi.
Saya masih ingat perjuangan saya ketika huruf-huruf tampak menari di halaman, membuat saya merasa bodoh dan tak berharga. Tetapi pengalaman itu juga mengajarkan saya untuk melihat dunia dari perspektif yang unik, mencari solusi kreatif untuk memahami apa yang tampak tidak mungkin.
Penelitian oleh Turketaub et al. memberikan wawasan menarik: anak-anak dengan hyperlexia menunjukkan aktivitas yang meningkat di area yang sama di otak tempat penyandang disleksia menunjukkan aktivitas yang menurun. Ini seperti melihat dua sisi koin yang sama satu sisi hiperaktif, sementara sisi lainnya kurang aktif.
Sebagai seseorang yang tumbuh dengan disleksia, teori ini memukau saya. Jika hyperlexia dan disleksia benar-benar dua sisi dari spektrum yang sama, maka pendekatan kita terhadap pendidikan haruslah lebih holistik. Alih-alih hanya berfokus pada kelemahan, kita perlu menemukan cara untuk mengembangkan kekuatan unik yang dimiliki setiap anak.
Sebagai anak dengan disleksia dan ADHD, saya sering merasa seperti terjebak di antara dua dunia. Di satu sisi, saya memiliki kesulitan besar dalam membaca, tetapi di sisi lain, pikiran saya selalu sibuk, penuh dengan ide-ide dan koneksi yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain.
Namun, perjalanan ini mengajarkan saya untuk menghargai keragaman dalam cara manusia belajar. Saya belajar bahwa apa yang tampak seperti kelemahan sebenarnya bisa menjadi kekuatan tersembunyi. Misalnya, disleksia saya memaksa saya untuk menjadi seorang pendongeng, menggunakan imajinasi saya untuk menjembatani kesenjangan antara apa yang saya baca dan apa yang saya pahami.
Dalam dunia pendidikan, terlalu sering kita terjebak pada diagnosis dan label. Hyperlexia dan disleksia menunjukkan bahwa otak manusia jauh lebih kompleks daripada sekadar kategori "baik" atau "buruk." Penelitian yang lebih mendalam diperlukan untuk memahami bagaimana kedua kondisi ini saling berhubungan, serta bagaimana kita dapat mendukung anak-anak yang berada di kedua ujung spektrum.
Sebagai pendidik dan penyandang disleksia, saya percaya bahwa setiap anak memiliki potensi untuk berhasil, asalkan kita dapat melihat melampaui kesulitan mereka. Ini bukan tentang memperbaiki anak-anak yang "berbeda," tetapi tentang menciptakan lingkungan yang mendukung keberagaman cara belajar mereka.
"Ketika kita berhenti melihat perbedaan sebagai hambatan dan mulai melihatnya sebagai pintu menuju potensi, kita tidak hanya mengubah hidup satu anak, tetapi juga dunia mereka."
Mari kita bekerja bersama untuk memahami otak yang "sibuk," menemukan kekuatan dalam kelemahan, dan menciptakan dunia di mana setiap anak merasa dihargai, dimengerti, dan dicintai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H