Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Disleksia : Di Balik Jeruji Ketidaktahuan

12 Desember 2024   12:55 Diperbarui: 10 Desember 2024   19:57 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi : chatgpt.com

Disleksia : Di Balik Jeruji Ketidaktahuan

Pernahkah kita merenungkan bagaimana sebuah sistem bisa begitu melukai sebagian besar manusia hanya karena "ketidakmampuan" yang sebenarnya adalah "kemampuan yang berbeda"? Saya membaca sebuah artikel berjudul Incarcerating Illiteracy : The Prison Pipeline of Dyslexia yang menyebutkan fakta mencengangkan:

"Di Amerika, diperkirakan 50% populasi penjara adalah disleksia, dan dari populasi tersebut, 80% tergolong buta huruf secara fungsional."

Data ini berdasarkan penelitian tahun 2000 di Texas, Amerika Serikat. Membacanya, saya merasa hati saya tercekat. Apakah hubungan antara disleksia dan penjara masih relevan di tahun 2020-an? Apakah ini hanya fenomena Amerika atau berlaku secara global? Dan yang terpenting, bagaimana teknologi dapat menghentikan siklus ini?

Mari kita telisik lebih dalam.

Disleksia adalah gangguan belajar spesifik yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, atau mengeja. Menurut International Dyslexia Association (IDA), disleksia bukan cerminan dari kurangnya kecerdasan atau usaha, melainkan hasil dari cara otak memproses bahasa.

Namun, masyarakat sering melihatnya sebagai "kegagalan." Akibatnya, anak-anak dengan disleksia cenderung menerima stigma yang menyakitkan: malas, bodoh, atau bahkan "tidak ada harapan." Sayangnya, stigma ini sering kali berasal dari lingkungan yang seharusnya mendukung mereka, seperti sekolah dan keluarga.

Sebagai seorang disleksia, saya memahami rasa sakit ini. Masa kecil saya penuh dengan komentar sinis dari guru, ejekan teman, dan tatapan kecewa dari orang dewasa. Namun, ada sesuatu yang lebih mengerikan: ketika sistem pendidikan yang tidak inklusif menjadi gerbang awal menuju kehidupan yang penuh kegagalan.

Penelitian terbaru masih mendukung hubungan signifikan antara disleksia dan tingkat kriminalitas. Sebuah studi dari British Dyslexia Association (2021) menunjukkan bahwa sekitar 30%-50% tahanan di Inggris menunjukkan tanda-tanda disleksia, sementara populasi umum hanya 10%.

Mengapa ini terjadi?

  1. Ketidakmampuan membaca dan menulis meningkatkan risiko drop-out sekolah. Anak-anak dengan disleksia sering kehilangan kepercayaan diri di lingkungan akademik yang menuntut mereka untuk mengikuti standar yang tidak sesuai dengan cara mereka belajar.
  2. Drop-out meningkatkan peluang keterlibatan dengan kriminalitas. Tanpa pendidikan yang memadai, pilihan hidup menjadi sempit, dan tekanan ekonomi sering kali membawa mereka ke jalur yang salah.
  3. Kurangnya akses ke diagnosis dan dukungan. Banyak anak tidak pernah didiagnosis, sehingga kebutuhan mereka diabaikan sejak awal.

Kemajuan teknologi menawarkan harapan baru. Aplikasi seperti Text-to-Speech, Speech Recognition, dan AI-driven Educational Tools telah membantu jutaan disleksia di seluruh dunia. Misalnya, aplikasi Read&Write dan Dyslexia Toolbox memungkinkan anak-anak dengan disleksia untuk mengakses materi pelajaran dengan cara yang sesuai dengan kemampuan mereka.

Namun, teknologi hanya alat. Perubahan yang lebih besar harus dimulai dari kebijakan pendidikan inklusif yang tidak hanya memahami disleksia, tetapi juga mendukung keunikan setiap individu.

Saya ingat betul saat masih kecil, huruf-huruf di buku seperti menari. Setiap upaya untuk membaca berakhir dengan rasa frustrasi dan air mata. Dunia terasa seperti penjara, bukan karena jeruji besi, tetapi karena ketidaktahuan orang di sekitar saya.

Beruntung, saya memiliki orang tua dan guru tertentu yang melihat potensi di balik kekurangan saya. Mereka memberi saya kesempatan untuk belajar dengan cara saya sendiri. Namun, tidak semua orang seberuntung itu. Banyak anak disleksia di Indonesia yang terus terjebak dalam "penjara pendidikan" tanpa dukungan yang memadai.

Mengatasi masalah ini membutuhkan kerja sama. Para pendidik harus diberi pelatihan untuk memahami disleksia. Pemerintah perlu mengalokasikan sumber daya untuk diagnosis dini dan dukungan khusus. Dan kita, sebagai masyarakat, harus belajar untuk melihat disleksia bukan sebagai kelemahan, tetapi sebagai cara berpikir yang berbeda.

Sebagai seorang pendidik sekaligus disleksia, saya percaya bahwa setiap anak, termasuk mereka yang memiliki disleksia, memiliki potensi untuk sukses. Namun, mereka membutuhkan kunci untuk membuka jeruji yang mengurung mereka: empati, pendidikan inklusif, dan kesempatan.

"Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia." -- Nelson Mandela

Mari kita pastikan bahwa senjata itu tersedia untuk semua, termasuk mereka yang disleksia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun