Apakah pernah terpikirkan oleh kita bahwa setengah dari penghuni penjara di dunia ini memiliki kondisi yang tidak dipilih, tetapi menjadi takdir yang mengubah jalan hidup mereka? Data menunjukkan bahwa 48% orang di penjara adalah disleksia.
Sebuah angka yang mengejutkan, bukan? Angka ini bukan hanya sekadar statistik; ini adalah cerminan kegagalan sistemik kita kegagalan memahami, mendidik, dan merangkul keberagaman dalam cara seseorang belajar.
Ketika saya masih kecil, huruf-huruf di buku sekolah tampak seperti tarian acak yang tak bisa saya ikuti. Saya, seorang anak dengan disleksia dan ADHD, sering dilabeli sebagai "pemalas" atau "tidak pintar" hanya karena saya berbeda.
Perjalanan itu sulit, dan saya tahu saya beruntung memiliki orang tua yang mendukung serta kesempatan untuk melawan stigma itu. Tapi, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki dukungan yang sama?
Penelitian menunjukkan bahwa 20% populasi dunia adalah disleksia, tetapi mereka mendominasi angka putus sekolah, kehamilan remaja, kecanduan, tunawisma, dan bahkan bunuh diri. Dalam sistem pendidikan kita, anak-anak disleksia seringkali tidak dikenali sejak dini. Mereka dianggap nakal, malas, atau tidak mau belajar.
Ketika seorang anak disleksia merasa gagal memahami pelajaran di kelas, mereka mulai mencari cara untuk bertahan. Sebagian memilih menjadi badut kelas, sebagian lagi menjadi pembangkang, dan sebagian memilih bersembunyi di balik bayang-bayang.
Anak-anak yang bertindak keluar dari norma, terutama dari kelompok minoritas, sering kali dicap sebagai pengacau. Dari situ, jalan menuju "school-to-prison pipeline" dimulai.
Menurut laporan, biaya penahanan di Amerika Serikat mencapai lebih dari $1 triliun per tahun, dan $480 miliar di antaranya untuk narapidana disleksia. Angka ini menjadi bukti nyata bahwa kegagalan kita untuk memahami disleksia sejak pendidikan dasar menciptakan dampak ekonomi dan sosial yang luar biasa besar.
Di Inggris, sebuah program sederhana berhasil mengubah nasib narapidana disleksia. Program ini melibatkan narapidana yang literat membantu teman-temannya yang disleksia belajar membaca. Hasilnya luar biasa: tingkat keberhasilan rehabilitasi meningkat, dan angka residivisme menurun drastis.
Hal ini membuktikan bahwa memberikan kesempatan kepada orang disleksia untuk belajar sesuai dengan cara mereka memahami adalah kunci.
Jika program seperti ini diterapkan di penjara, tempat penampungan tunawisma, dan pusat rehabilitasi di seluruh dunia, kita dapat mengubah hidup banyak orang.
Melalui proyek Dyslexia Keliling Nusantara, saya melihat anak-anak disleksia dari berbagai latar belakang. Mereka semua memiliki satu kesamaan: harapan untuk dipahami.
Ketika saya berbicara dengan orang tua yang putus asa atau guru yang bingung, saya selalu mengingatkan mereka bahwa disleksia bukanlah sebuah akhir. Itu adalah awal dari cara berpikir yang berbeda, cara melihat dunia yang unik.
Sistem pendidikan kita perlu berubah. Kita harus berhenti memaksakan anak-anak untuk memenuhi standar yang tidak inklusif.
Sebaliknya, kita harus menciptakan lingkungan yang mendukung, penuh empati, dan memberikan mereka alat untuk sukses, sesuai dengan kebutuhan mereka.
Seperti kata Nelson Mandela:
"Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia."
Jika kita gagal mengidentifikasi dan mendukung anak-anak disleksia, kita tidak hanya kehilangan potensi mereka, tetapi juga membebani masyarakat dengan biaya sosial yang tidak perlu.
Saatnya kita berhenti menyalahkan mereka dan mulai memperbaiki sistem yang telah membuat mereka gagal. Karena setiap anak, tidak peduli seberapa sulit tantangannya, layak untuk dimengerti, didukung, dan diberi kesempatan untuk berhasil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H