Kata-kata itu yang ingin aku sampaikan kepada setiap anak yang pernah merasa tidak cukup baik, setiap orang tua yang pernah merasa putus asa, dan setiap guru yang bingung menghadapi murid-muridnya.
Pendidikan sejati adalah tentang memahami, bukan menilai. Ini tentang memberikan ruang bagi setiap anak untuk tumbuh sesuai dengan potensi mereka, bukan memaksa mereka masuk ke dalam kotak yang sempit.Â
Dan bagi saya, tidak ada yang lebih memuaskan daripada melihat seorang anak yang dulunya dianggap "gagal" mulai percaya pada dirinya sendiri. Senyum mereka adalah pengingat bahwa perjuangan ini tidak sia-sia.
Tahukah Anda, menurut data UNESCO, ada 93 juta anak di dunia yang hidup dengan disabilitas, dan di Indonesia, jumlah anak berkebutuhan khusus mencapai lebih dari 1,6 juta.Â
Namun, ironisnya, hanya sekitar 18% yang mendapatkan akses pendidikan layak. Sebagian besar dari mereka harus berjuang di lingkungan yang tidak ramah, bertemu dengan guru yang tidak paham, atau bahkan menghadapi stigma dari masyarakat, termasuk keluarganya sendiri.Â
Dalam sebuah penelitian oleh Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), ditemukan bahwa lebih dari 70% guru sekolah dasar di Indonesia tidak memiliki pemahaman mendalam tentang kebutuhan khusus seperti disleksia atau ADHD. Jika guru yang menjadi ujung tombak pendidikan tidak memahami ini, lalu bagaimana nasib anak-anak yang mereka ajar?
Banyak dari mereka yang akhirnya menyerah. Mereka dianggap bodoh karena tidak bisa membaca. Mereka dimarahi karena tidak bisa diam. Mereka dihukum karena cara mereka belajar berbeda.Â
Bayangkan betapa sakitnya menjadi seorang anak yang harus berjuang keras untuk sekadar dimengerti, hanya untuk berakhir di sudut kelas, merasa tidak cukup baik, tidak cukup pintar, tidak cukup "normal."
Jika aku diberi kesempatan menjadi Menteri Pendidikan Khusus, aku ingin menjadi jembatan bagi harapan-harapan yang selama ini terputus. Aku tidak ingin perubahan ini hanya menjadi sekadar seremonial atau kampanye yang penuh janji tanpa aksi.Â
Aku ingin menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar memeluk semua anak, apa pun kebutuhan dan caranya memahami dunia.
Pertama, aku akan memastikan semua guru, dari kota hingga pelosok desa, mendapatkan pelatihan wajib tentang kebutuhan khusus. Mereka harus tahu bahwa seorang anak disleksia bukannya malas, melainkan memerlukan cara belajar yang berbeda.Â