Selama bertahun-tahun, melalui perjalanan "Dyslexia Keliling Nusantara," aku bertemu ribuan anak dengan cerita yang mirip denganku.Â
Anak-anak yang dihukum karena berbeda, dianggap tidak memenuhi standar, dan sering disingkirkan dari sistem pendidikan yang seharusnya menjadi rumah bagi semua anak.Â
Setiap wajah yang kutemui menyimpan perjuangan, tetapi juga potensi yang luar biasa. Mereka adalah pengingat nyata bahwa pendidikan di negeri ini masih jauh dari kata adil.
Pendidikan kita masih seperti pagar tinggi yang sulit dilewati bagi mereka yang dianggap "tidak sesuai." Anak-anak dengan disleksia, ADHD, dan kebutuhan khusus lainnya seringkali tidak diberi kesempatan untuk bersinar.Â
Mereka dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang kaku, bukannya sistem yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka. Dan ketika mereka gagal melompati pagar itu, mereka dicap gagal. Tidak adil, bukan?
Namun, di balik semua itu, aku belajar bahwa setiap anak adalah pelangi. Pelangi tidak pernah memiliki satu warna. Mereka beragam, indah, dan unik.Â
Anak-anak ini, dengan segala tantangan mereka, adalah pelangi yang mencoba bersinar di tengah langit mendung. Tugas kita adalah membantu mereka menemukan warna mereka sendiri, untuk berdiri bangga dengan siapa mereka sebenarnya.
Aku tahu bagaimana rasanya terjebak dalam dunia yang tidak memahamimu. Itulah mengapa aku memilih untuk berdiri di sini, berbicara untuk mereka yang suaranya sering kali tenggelam.Â
Aku ingin dunia tahu bahwa anak-anak ini bukanlah kegagalan. Mereka adalah keajaiban yang menunggu untuk ditemukan. Mereka adalah bukti bahwa kecerdasan tidak selalu terletak pada angka atau huruf, tetapi pada cara mereka melihat dunia dengan cara yang berbeda.
Ketika aku melihat ke belakang, pada diriku yang dulu, aku ingin berkata kepada anak kecil itu, "Kamu tidak salah. Kamu hanya berbeda. Dan perbedaanmu adalah kekuatanmu."Â