Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Imam Setiawan adalah seorang pria visioner yang memiliki banyak mimpi besar dan tekad yang tak tergoyahkan. Semangat pantang menyerah yang ia miliki menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah hidupnya. Saat ini, Imam sedang menjalani fase penting dalam hidupnya, berusaha menjadi pribadi yang lebih kuat dengan mengalahkan batasan-batasan dirinya sendiri. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2023, Imam membawa semangat belajarnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di balik pencapaiannya, Imam menghadapi tantangan unik, yaitu hidup dengan disleksia dan ADHD. Namun, daripada melihatnya sebagai hambatan, Imam justru melihatnya sebagai warna yang memperkaya perjalanan hidupnya. Sebagai pendiri Rumah Pipit dan Komunitas Guru Seneng Sinau, Imam tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga menyebarkan inspirasi kepada para guru dan orang tua di seluruh penjuru Indonesia. Melalui proyek ambisius bertajuk “The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara,” Imam berkomitmen untuk menjelajahi daerah-daerah pedalaman Indonesia, bertemu dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Dalam perjalanan ini, ia berbagi ilmu dan pengalaman, dengan harapan memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan serta memperkuat komunitas di daerah-daerah terpencil. Perjalanan ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi Imam untuk membuka pintu bagi anak-anak yang ia yakini sebagai "pembuka kunci surga," mengilhami generasi muda untuk bermimpi dan berani menghadapi tantangan, tak peduli seberat apa pun itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

130 Tahun Perjalanan Disleksia: Dari "Buta Kata" menuju Pengakuan Global

19 November 2024   14:22 Diperbarui: 19 November 2024   14:29 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

milik pribadi


130 Tahun Perjalanan Disleksia: Dari "Buta Kata" Menuju Pengakuan Global

Lebih dari satu abad yang lalu, dunia medis dikejutkan oleh fenomena yang tampak sederhana tetapi penuh misteri: kesulitan membaca tanpa sebab fisik yang jelas. Pada tahun 1896, Rudolf Berlin, seorang dokter mata dan profesor asal Jerman, menciptakan istilah dyslexia, yang berarti "kesulitan dengan kata-kata." Istilah ini tidak hanya memberikan nama untuk sebuah kondisi yang sebelumnya sulit dipahami, tetapi juga menjadi awal dari perjalanan panjang memahami dan mendukung individu yang mengalaminya.

Berlin menemukan bahwa pasien-pasiennya, meskipun tidak memiliki masalah pada penglihatan, menghadapi tantangan besar dalam membaca. Dia menduga bahwa penyebabnya bukan pada mata, melainkan pada otak---sebuah gagasan revolusioner pada masanya. Ironisnya, nama Berlin sendiri kini tenggelam di balik istilah yang ia ciptakan, seperti seorang pelaut yang menamai kapal namun tidak pernah menjadi nahkodanya.

Namun, Berlin bukanlah pelopor tunggal dalam kisah ini. Ia terinspirasi oleh Adolph Kussmaul, yang sebelumnya memperkenalkan istilah Wortblindheit atau "buta kata" pada tahun 1877. Penelitian Kussmaul membuka jalan bagi Berlin untuk menyesuaikan istilah ini ke dalam kerangka medis internasional, menyatukan gagasan tentang gangguan membaca dalam literatur medis global.

Menjadi Perhatian Dunia

Pada awal abad ke-20, perhatian terhadap disleksia berkembang pesat di Inggris, berkat penelitian James Hinshelwood dan William Pringle Morgan. Morgan, seorang dokter umum, mencatat kasus Percy F., seorang anak pintar namun tidak mampu membaca. Penemuan Morgan ini menjadi tonggak penting yang menandai bahwa kesulitan membaca bisa terjadi meskipun kemampuan intelektual anak sangat baik.

Penelitian Hinshelwood lebih lanjut menyatakan bahwa disleksia bukanlah akibat dari masalah penglihatan, melainkan kekurangan bawaan dalam memori visual untuk kata-kata. Pandangan ini mengubah cara dunia memandang disleksia, dari sekadar gejala menuju pengakuan sebagai kondisi yang kompleks dan membutuhkan perhatian khusus.

Di Amerika Serikat, Samuel T. Orton menjadi tokoh utama dalam penelitian disleksia. Ia mengembangkan teori bahwa gangguan membaca bukan hanya hasil kerusakan otak tertentu, tetapi mungkin terkait dengan dominasi otak yang tidak seimbang. Meskipun teorinya tidak sepenuhnya benar, pandangan ini mendorong penelitian menuju pemahaman kognitif yang lebih mendalam. Orton juga mendukung metode fonik, yang hingga kini menjadi salah satu strategi utama dalam membantu anak-anak dengan disleksia.

Dukungan Modern dan Perjuangan Pengakuan

Pada tahun 1949, June Orton, istri Samuel T. Orton, mendirikan Orton Society, cikal bakal International Dyslexia Association (IDA), untuk melanjutkan penelitian dan advokasi. IDA menjadi salah satu organisasi terkemuka yang mengkampanyekan pentingnya pemahaman dan intervensi dini untuk anak-anak dengan disleksia.

Di Inggris, dekade 1960-an membawa kemajuan besar dengan pembukaan Word Blind Centre di Bloomsbury. Penelitian mulai berfokus pada pendekatan psikologis dan pendidikan, dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Macdonald Critchley dan Tim Miles. Dukungan organisasi seperti British Dyslexia Association dan Helen Arkell Dyslexia Centre memberikan tempat aman bagi anak-anak, orang tua, dan pendidik untuk memahami dan menangani disleksia.

Namun, jalan menuju pengakuan tidak selalu mudah. Disleksia pernah dianggap sebagai "mitos kelas menengah" karena lebih sering didiagnosis pada anak-anak dari keluarga mampu. Sistem diagnostik berbasis perbedaan antara IQ dan kemampuan membaca memperkuat stigma ini, menciptakan kesenjangan akses di kalangan masyarakat.

Laporan Warnock tahun 1978, yang menolak pengakuan disleksia sebagai kategori terpisah, memperlambat kemajuan di Inggris. Hanya setelah perjuangan panjang, pemerintah Inggris pada tahun 1987 mengakui pentingnya disleksia dan kebutuhan intervensi dini.

Perjalanan yang Belum Usai

Kini, 130 tahun setelah istilah disleksia pertama kali diperkenalkan, dunia telah melangkah jauh. Penelitian terus berkembang, dan dukungan terhadap anak-anak dengan disleksia semakin meluas. Namun, tantangan tetap ada. Stigma, mitos, dan kesenjangan akses pendidikan masih menjadi hambatan besar.

Perjalanan ini adalah kisah tentang perjuangan manusia untuk memahami kompleksitas otak dan keunikan manusia. Dari Berlin hingga Orton, dari Word Blind Centre hingga IDA, setiap langkah adalah upaya untuk memastikan bahwa anak-anak dengan disleksia mendapatkan kesempatan yang adil untuk berkembang.

Disleksia bukan sekadar kesulitan membaca. Ini adalah kisah tentang kekuatan, ketahanan, dan potensi tersembunyi yang dapat berkembang ketika dunia mulai melihat lebih dalam. Perjalanan 130 tahun ini mengingatkan kita bahwa setiap anak, meskipun berbeda, memiliki hak untuk bermimpi dan meraih masa depan yang cerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun