Sebagai orang yang mengalami disleksia, saya sering menghadapi tantangan dalam menyelesaikan tugas-tugas tertulis yang membutuhkan ketelitian tinggi. Kelelahan mental menjadi bagian sehari-hari saat mencoba memenuhi standar yang sama dengan rekan kerja lain. Saya merasa bahwa fleksibilitas dalam metode bekerja, seperti misalnya lebih banyak menggunakan komunikasi verbal atau memiliki waktu yang lebih untuk mengoreksi pekerjaan, bisa menjadi solusi sederhana yang berdampak besar.
Memiliki kebutuhan khusus sering kali berarti berjuang tidak hanya secara kognitif, tetapi juga secara emosional. Menurut penelitian dari Dr. David Grant, seorang neuropsikolog yang banyak menangani anak dengan disleksia dan ADHD, tantangan terbesar bagi ABK di dunia kerja adalah dampak psikologis dari pengalaman mereka selama bersekolah yang membawa rasa kurang percaya diri.
Dr. Grant menekankan bahwa anak-anak yang mengalami stigma dan tekanan di sekolah cenderung membawa trauma tersebut ke dalam kehidupan kerja mereka, dan ini sering kali menghambat kinerja mereka (Grant, 2019).
Saya sendiri pernah merasakan tekanan ini. Seperti yang saya tulis dalam refleksi "Saya Bukan Bodoh, Saya Disleksia," pengalaman masa kecil yang penuh tantangan sering kali memengaruhi persepsi diri saya sebagai orang dewasa. Rasa takut akan gagal atau dikritik sering kali menjadi "teman setia" yang mengikuti saya sepanjang perjalanan di dunia kerja.
Saya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memahami bahwa ketidakmampuan saya dalam beberapa hal tidak berarti saya tidak kompeten. Dukungan dari rekan kerja dan atasan yang memahami kondisi ini menjadi hal yang sangat membantu.
Untuk menciptakan dunia kerja yang inklusif, perusahaan perlu meninjau ulang cara mereka merekrut, menilai, dan mendukung karyawan dengan kebutuhan khusus. Memberikan pelatihan kepada seluruh tim kerja mengenai keberagaman kebutuhan karyawan sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif.
Menurut penelitian dari Cornell University's Employment and Disability Institute, perusahaan yang berinvestasi dalam pelatihan dan dukungan bagi karyawan berkebutuhan khusus mengalami peningkatan dalam loyalitas karyawan dan produktivitas tim (Cornell University, 2020).
Saya merasakan bahwa ketika perusahaan menunjukkan kepedulian dengan memberikan fleksibilitas kerja, seperti misalnya menggunakan alat bantu visual atau memberikan kesempatan untuk menggunakan format presentasi berbeda, saya dapat lebih produktif dan lebih percaya diri. Hal ini bukan hanya soal menyesuaikan diri, tetapi juga merasa dihargai dan diterima sepenuhnya.
Dunia kerja yang inklusif bukan hanya memberikan peluang bagi anak berkebutuhan khusus, tetapi juga memberikan peluang bagi seluruh tim untuk belajar dan berkembang bersama. ABK sering kali memiliki cara berpikir yang unik, kemampuan problem-solving yang berbeda, dan kreativitas yang tinggi karena terbiasa mengatasi keterbatasan mereka sendiri.
Menurut saya, perusahaan yang memahami potensi ini dan memberikan dukungan penuh akan menemukan bahwa mereka bukan hanya mendukung seorang individu, tetapi membangun tim yang lebih inovatif dan kreatif.
Dalam refleksi pribadi saya berjudul "Sisi Lain dari Disleksia: Bukan Sebuah Kecacatan, tetapi Sebuah Kekuatan Super," saya berbicara tentang kekuatan-kekuatan tersembunyi yang bisa muncul ketika kita diberikan kesempatan dan kepercayaan.