Dunia yang Tak Terlihat: Perjuangan Anak Berkebutuhan Khusus di Dunia Kerja
Ketika bicara soal anak berkebutuhan khusus (ABK), banyak yang hanya terpaku pada perjuangan mereka dalam pendidikan dasar atau menengah. Namun, tantangan bagi ABK tidak berhenti setelah mereka meninggalkan bangku sekolah. Dunia kerja, dengan segala kompleksitas dan ekspektasi yang tinggi, bisa menjadi medan yang penuh rintangan.Â
Masyarakat seringkali lupa bahwa anak-anak ini, yang di masa kecilnya harus berjuang mengatasi berbagai keterbatasan, juga memiliki hak dan keinginan untuk hidup mandiri dan berkontribusi di dunia profesional. Sebagai seseorang dengan disleksia dan ADHD, perjalanan ini adalah sesuatu yang saya alami sendiri dan ingin bagikan kepada dunia, sekaligus menyingkap kenyataan bahwa inklusi di dunia kerja masih menjadi perjuangan panjang bagi kita semua.
Ketika pertama kali memasuki dunia kerja, perasaan gugup dan takut adalah hal yang sangat familiar bagi saya. Bukan hanya soal pekerjaan itu sendiri, tetapi lebih pada pertanyaan: "Apakah saya akan diterima apa adanya?" Saya ingat betul bagaimana sejak kecil, disleksia sering membuat saya merasa "berbeda" dan kadang "kurang".
 Sementara, ADHD membuat saya terlihat seperti "pengacau", sulit duduk diam, susah fokus, dan cenderung hiperaktif. Kebiasaan ini masih terbawa hingga dewasa, dan tanpa dukungan serta pengertian yang cukup, dunia kerja bisa terasa seperti tempat yang penuh dengan stigma dan ketidakpahaman.
Sayangnya, stigma ini sering kali berasal dari miskonsepsi tentang apa itu disleksia, ADHD, dan berbagai bentuk kebutuhan khusus lainnya. Saya sering mendengar komentar seperti, "Kenapa kamu tidak bisa lebih teliti?" atau "Coba lebih fokus, ini soal keseriusan." Meskipun orang-orang tidak bermaksud jahat, ketidakpahaman ini menciptakan lingkungan yang jauh dari inklusif.Â
Padahal, menurut penelitian dari American Psychological Association, inklusi yang mendalam di dunia kerja bagi karyawan dengan kebutuhan khusus meningkatkan produktivitas serta menciptakan tempat kerja yang lebih inovatif dan kolaboratif (APA, 2018).
Sejalan dengan pengalaman pribadi saya, penelitian menunjukkan bahwa kesulitan terbesar bagi ABK di dunia kerja adalah ekspektasi yang tidak selaras dengan realitas mereka. Beberapa perusahaan mungkin mulai membuka peluang bagi karyawan dengan kebutuhan khusus, tetapi tantangannya tidak sekadar soal membuka pintu---melainkan memberikan akses ke lingkungan kerja yang memahami dan mendukung perbedaan.
Menurut World Economic Forum (2021), lingkungan kerja yang inklusif seharusnya memberikan fleksibilitas dalam bekerja, terutama bagi karyawan dengan kebutuhan khusus yang mungkin memerlukan adaptasi khusus dalam menjalankan tugas.Â
Namun, dalam praktiknya, banyak tempat kerja masih menganut satu standar yang sama untuk semua, tanpa mempertimbangkan kondisi karyawan. Hal ini membuat karyawan dengan kebutuhan khusus rentan mengalami kelelahan mental atau bahkan diskriminasi terselubung yang merusak kepercayaan diri mereka.
Sebagai orang yang mengalami disleksia, saya sering menghadapi tantangan dalam menyelesaikan tugas-tugas tertulis yang membutuhkan ketelitian tinggi. Kelelahan mental menjadi bagian sehari-hari saat mencoba memenuhi standar yang sama dengan rekan kerja lain. Saya merasa bahwa fleksibilitas dalam metode bekerja, seperti misalnya lebih banyak menggunakan komunikasi verbal atau memiliki waktu yang lebih untuk mengoreksi pekerjaan, bisa menjadi solusi sederhana yang berdampak besar.
Memiliki kebutuhan khusus sering kali berarti berjuang tidak hanya secara kognitif, tetapi juga secara emosional. Menurut penelitian dari Dr. David Grant, seorang neuropsikolog yang banyak menangani anak dengan disleksia dan ADHD, tantangan terbesar bagi ABK di dunia kerja adalah dampak psikologis dari pengalaman mereka selama bersekolah yang membawa rasa kurang percaya diri.Â
Dr. Grant menekankan bahwa anak-anak yang mengalami stigma dan tekanan di sekolah cenderung membawa trauma tersebut ke dalam kehidupan kerja mereka, dan ini sering kali menghambat kinerja mereka (Grant, 2019).
Saya sendiri pernah merasakan tekanan ini. Seperti yang saya tulis dalam refleksi "Saya Bukan Bodoh, Saya Disleksia," pengalaman masa kecil yang penuh tantangan sering kali memengaruhi persepsi diri saya sebagai orang dewasa. Rasa takut akan gagal atau dikritik sering kali menjadi "teman setia" yang mengikuti saya sepanjang perjalanan di dunia kerja.Â
Saya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memahami bahwa ketidakmampuan saya dalam beberapa hal tidak berarti saya tidak kompeten. Dukungan dari rekan kerja dan atasan yang memahami kondisi ini menjadi hal yang sangat membantu.
Untuk menciptakan dunia kerja yang inklusif, perusahaan perlu meninjau ulang cara mereka merekrut, menilai, dan mendukung karyawan dengan kebutuhan khusus. Memberikan pelatihan kepada seluruh tim kerja mengenai keberagaman kebutuhan karyawan sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif.Â
Menurut penelitian dari Cornell University's Employment and Disability Institute, perusahaan yang berinvestasi dalam pelatihan dan dukungan bagi karyawan berkebutuhan khusus mengalami peningkatan dalam loyalitas karyawan dan produktivitas tim (Cornell University, 2020).
Saya merasakan bahwa ketika perusahaan menunjukkan kepedulian dengan memberikan fleksibilitas kerja, seperti misalnya menggunakan alat bantu visual atau memberikan kesempatan untuk menggunakan format presentasi berbeda, saya dapat lebih produktif dan lebih percaya diri. Hal ini bukan hanya soal menyesuaikan diri, tetapi juga merasa dihargai dan diterima sepenuhnya.
Dunia kerja yang inklusif bukan hanya memberikan peluang bagi anak berkebutuhan khusus, tetapi juga memberikan peluang bagi seluruh tim untuk belajar dan berkembang bersama. ABK sering kali memiliki cara berpikir yang unik, kemampuan problem-solving yang berbeda, dan kreativitas yang tinggi karena terbiasa mengatasi keterbatasan mereka sendiri.Â
Menurut saya, perusahaan yang memahami potensi ini dan memberikan dukungan penuh akan menemukan bahwa mereka bukan hanya mendukung seorang individu, tetapi membangun tim yang lebih inovatif dan kreatif.
Dalam refleksi pribadi saya berjudul "Sisi Lain dari Disleksia: Bukan Sebuah Kecacatan, tetapi Sebuah Kekuatan Super," saya berbicara tentang kekuatan-kekuatan tersembunyi yang bisa muncul ketika kita diberikan kesempatan dan kepercayaan.Â
Saya berharap bahwa semakin banyak perusahaan yang memahami bahwa perbedaan bukanlah kelemahan, tetapi sebuah keunggulan. Anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk saya, bisa menjadi aset berharga yang tidak terlihat, hanya perlu ditempatkan di lingkungan yang mendukung dan memahami.
Perjalanan untuk menciptakan dunia kerja yang inklusif bagi anak berkebutuhan khusus masih panjang dan penuh tantangan. Namun, dengan adanya penelitian dan kesadaran yang terus meningkat tentang pentingnya inklusi, kita bisa berharap bahwa dunia kerja masa depan akan lebih terbuka dan memahami perbedaan.Â
Sebagai orang yang menjalani jalan ini, saya terus bermimpi agar setiap anak dengan kebutuhan khusus bisa merasakan diterima di dunia kerja, sama seperti orang lain. Karena, seperti yang saya pelajari, perbedaan adalah kekuatan yang, bila dirangkul, akan membawa dampak luar biasa bagi semua orang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI