Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Imam Setiawan adalah seorang pria visioner yang memiliki banyak mimpi besar dan tekad yang tak tergoyahkan. Semangat pantang menyerah yang ia miliki menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah hidupnya. Saat ini, Imam sedang menjalani fase penting dalam hidupnya, berusaha menjadi pribadi yang lebih kuat dengan mengalahkan batasan-batasan dirinya sendiri. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2023, Imam membawa semangat belajarnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di balik pencapaiannya, Imam menghadapi tantangan unik, yaitu hidup dengan disleksia dan ADHD. Namun, daripada melihatnya sebagai hambatan, Imam justru melihatnya sebagai warna yang memperkaya perjalanan hidupnya. Sebagai pendiri Rumah Pipit dan Komunitas Guru Seneng Sinau, Imam tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga menyebarkan inspirasi kepada para guru dan orang tua di seluruh penjuru Indonesia. Melalui proyek ambisius bertajuk “The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara,” Imam berkomitmen untuk menjelajahi daerah-daerah pedalaman Indonesia, bertemu dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Dalam perjalanan ini, ia berbagi ilmu dan pengalaman, dengan harapan memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan serta memperkuat komunitas di daerah-daerah terpencil. Perjalanan ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi Imam untuk membuka pintu bagi anak-anak yang ia yakini sebagai "pembuka kunci surga," mengilhami generasi muda untuk bermimpi dan berani menghadapi tantangan, tak peduli seberat apa pun itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dua Dunia yang Bertabrakan, antara Kebebasan dan Tuntutan

9 November 2024   09:58 Diperbarui: 11 November 2024   21:27 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat secara umum juga masih belum paham mengenai anak berkebutuhan khusus, dan ini menambah tekanan bagi mereka untuk beradaptasi dalam dunia yang tidak sepenuhnya menerima mereka. Label seperti "malas," "nakal," atau "tidak fokus" masih sering terdengar. 

Dalam banyak kasus, ketidakpahaman ini menyebabkan anak-anak merasa bahwa mereka perlu "menyembunyikan" kebutuhan khusus mereka agar tidak dianggap berbeda. Ini menimbulkan perasaan rendah diri yang berlarut-larut dan bisa berdampak pada kepercayaan diri mereka seumur hidup.

Bagaimana mungkin kita bisa berharap anak-anak ini berkembang dengan optimal jika lingkungan di sekitar mereka menempatkan batasan yang begitu ketat pada kebebasan mereka? Mungkin benar bahwa mereka membutuhkan dukungan ekstra untuk menjalani hari-hari mereka di sekolah, namun kita tidak bisa mengabaikan hak mereka untuk merasakan kebebasan dalam belajar dengan cara yang sesuai dengan kondisi mereka.

Dalam perjalanan saya sebagai seorang guru dan praktisi anak berkebutuhan khusus, saya terus belajar bahwa harmoni antara kebebasan dan tuntutan dapat tercapai ketika kita semua memiliki pemahaman yang cukup. Edukasi bagi guru dan keluarga tentang kebutuhan khusus bukan sekadar tambahan, melainkan kebutuhan. Ketika guru memiliki pengetahuan lebih, mereka bisa membantu anak-anak menemukan cara belajar yang sesuai tanpa mengorbankan potensi unik yang ada dalam diri anak tersebut.

Vygotsky (1978) dalam teorinya tentang zone of proximal development menunjukkan bahwa setiap anak memiliki potensi yang dapat berkembang maksimal dengan bimbingan dan dukungan yang tepat. Artinya, ketika guru dan keluarga memberikan kebebasan yang mendukung perkembangan, anak akan berkembang lebih baik dibandingkan jika dipaksa sesuai dengan standar umum.

Untuk menciptakan sekolah inklusi yang sejati, kita harus mengedukasi bukan hanya guru, tapi juga keluarga dan masyarakat. Program-program seperti pelatihan guru, seminar untuk orang tua, serta kampanye di masyarakat mengenai kebutuhan khusus bisa menjadi langkah awal untuk mempersempit kesenjangan pemahaman ini. Di sinilah pentingnya kesadaran bersama, bahwa setiap anak, terlepas dari kebutuhan khususnya, memiliki hak untuk belajar dengan cara yang membebaskan mereka dan menghormati keunikan mereka.

Perjalanan saya dari seorang anak berkebutuhan khusus yang merasa terasing hingga menjadi seorang guru dan aktivis dalam pendidikan khusus, telah mengajarkan saya bahwa dunia yang bertabrakan ini sebenarnya bisa disatukan jika kita semua mau membuka diri dan saling memahami. Kita semua berhak merasakan kebebasan dalam belajar, tapi kita juga bertanggung jawab untuk menciptakan sistem yang tidak hanya menuntut, melainkan mendukung setiap anak dengan segala keunikannya untuk berkembang menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun