Masyarakat secara umum juga masih belum paham mengenai anak berkebutuhan khusus, dan ini menambah tekanan bagi mereka untuk beradaptasi dalam dunia yang tidak sepenuhnya menerima mereka. Label seperti "malas," "nakal," atau "tidak fokus" masih sering terdengar.
Dalam banyak kasus, ketidakpahaman ini menyebabkan anak-anak merasa bahwa mereka perlu "menyembunyikan" kebutuhan khusus mereka agar tidak dianggap berbeda. Ini menimbulkan perasaan rendah diri yang berlarut-larut dan bisa berdampak pada kepercayaan diri mereka seumur hidup.
Bagaimana mungkin kita bisa berharap anak-anak ini berkembang dengan optimal jika lingkungan di sekitar mereka menempatkan batasan yang begitu ketat pada kebebasan mereka? Mungkin benar bahwa mereka membutuhkan dukungan ekstra untuk menjalani hari-hari mereka di sekolah, namun kita tidak bisa mengabaikan hak mereka untuk merasakan kebebasan dalam belajar dengan cara yang sesuai dengan kondisi mereka.
Dalam perjalanan saya sebagai seorang guru dan praktisi anak berkebutuhan khusus, saya terus belajar bahwa harmoni antara kebebasan dan tuntutan dapat tercapai ketika kita semua memiliki pemahaman yang cukup. Edukasi bagi guru dan keluarga tentang kebutuhan khusus bukan sekadar tambahan, melainkan kebutuhan. Ketika guru memiliki pengetahuan lebih, mereka bisa membantu anak-anak menemukan cara belajar yang sesuai tanpa mengorbankan potensi unik yang ada dalam diri anak tersebut.
Vygotsky (1978) dalam teorinya tentang zone of proximal development menunjukkan bahwa setiap anak memiliki potensi yang dapat berkembang maksimal dengan bimbingan dan dukungan yang tepat. Artinya, ketika guru dan keluarga memberikan kebebasan yang mendukung perkembangan, anak akan berkembang lebih baik dibandingkan jika dipaksa sesuai dengan standar umum.
Untuk menciptakan sekolah inklusi yang sejati, kita harus mengedukasi bukan hanya guru, tapi juga keluarga dan masyarakat. Program-program seperti pelatihan guru, seminar untuk orang tua, serta kampanye di masyarakat mengenai kebutuhan khusus bisa menjadi langkah awal untuk mempersempit kesenjangan pemahaman ini. Di sinilah pentingnya kesadaran bersama, bahwa setiap anak, terlepas dari kebutuhan khususnya, memiliki hak untuk belajar dengan cara yang membebaskan mereka dan menghormati keunikan mereka.
Perjalanan saya dari seorang anak berkebutuhan khusus yang merasa terasing hingga menjadi seorang guru dan aktivis dalam pendidikan khusus, telah mengajarkan saya bahwa dunia yang bertabrakan ini sebenarnya bisa disatukan jika kita semua mau membuka diri dan saling memahami. Kita semua berhak merasakan kebebasan dalam belajar, tapi kita juga bertanggung jawab untuk menciptakan sistem yang tidak hanya menuntut, melainkan mendukung setiap anak dengan segala keunikannya untuk berkembang menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H