Dua Dunia yang Bertabrakan: Antara Kebebasan dan Tuntutan
Menyelami kehidupan sebagai seorang anak berkebutuhan khusus di lingkungan yang menuntut standar tertentu adalah seperti hidup di dua dunia yang sering kali bertabrakan: satu sisi berjuang untuk kebebasan dalam mengeksplorasi potensi unik, sementara sisi lain penuh dengan tuntutan yang kaku dari sistem yang tidak selalu mengerti kebutuhan kami. Saya tumbuh dalam kondisi ini, mengalami sendiri benturan antara kebebasan yang saya inginkan dan harapan yang tak selamanya bisa saya penuhi.Â
Kini, sebagai guru dan advokat bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, saya terus melihat bahwa benturan ini tidak hanya dialami oleh anak-anak, tapi juga terjadi dalam pikiran guru, orang tua, dan masyarakat.
Ketika saya masih anak-anak, saya sering merasa seperti seorang "alien" di ruang kelas, dikelilingi oleh anak-anak lain yang tampaknya mengikuti aturan dan tugas tanpa masalah.Â
Bagi saya, menyelesaikan tugas seperti membaca atau menulis bisa terasa seperti mendaki gunung. Sayangnya, kesulitan ini sering kali dianggap sebagai tanda kemalasan atau kurangnya motivasi, terutama oleh guru dan teman-teman yang tidak benar-benar memahami apa itu disleksia atau ADHD. Para ahli menyebutnya sebagai 'Hidden Disability' atau 'kecacatan tersembunyi' (Riddick, 1996) karena sering tidak terlihat secara fisik, dan anak dengan kondisi ini sering dianggap normal tanpa ada kendala berarti.
Dalam sekolah inklusi, konsep inklusi pada dasarnya berusaha untuk mempertemukan dua dunia ini, yakni memberikan kebebasan kepada anak untuk belajar sesuai dengan caranya sendiri, tetapi tetap dalam tuntutan sistem akademik yang kadang-kadang kurang fleksibel. Namun, tanpa pemahaman yang mendalam dari para guru dan keluarga, semangat inklusi ini seringkali hanya berhenti sebagai slogan, bukannya sebuah praktik yang betul-betul mengakomodasi kebutuhan anak.
Edukasi bagi para guru dan keluarga tentang kebutuhan khusus tidak bisa dianggap sepele. Seperti yang dikemukakan oleh Howard Gardner (1983) dalam teorinya tentang multiple intelligences, setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda baik itu verbal-linguistik, logika-matematika, atau bahkan kecerdasan intrapersonal dan musikal.Â
Namun, sayangnya sistem pendidikan masih cenderung menilai kemampuan anak berdasarkan standar tunggal, yaitu prestasi akademik yang dapat diukur secara formal. Anak-anak dengan kebutuhan khusus seringkali dipaksa untuk "menyesuaikan diri" dengan tuntutan ini, alih-alih mendapatkan ruang untuk tumbuh dengan gaya belajar mereka sendiri.
Pengalaman pribadi saya membuktikan bahwa tanpa adanya pemahaman yang cukup, guru dan keluarga dapat, tanpa disadari, justru menjadi hambatan terbesar bagi perkembangan anak berkebutuhan khusus.Â
Saat kecil, saya sering ditegur karena lambat dalam memahami pelajaran, tanpa ada upaya memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam kepala saya. Keluarga pun, meski sangat peduli, sering kesulitan memahami bagaimana cara membantu saya karena kurangnya edukasi tentang kebutuhan khusus pada masa itu. Akibatnya, bukannya merasa dibimbing, saya lebih sering merasa tertekan.