Pendidikan sebagai Ilmu Terapan:
Membangun Pemahaman tentang Proses Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus
Pendidikan sering kali diidentifikasi sebagai upaya pengembangan kognitif, sosial, emosional, bahasa, dan motorik pada anak, terutama dalam konteks pembelajaran di kelas. Namun, pendidikan sebenarnya lebih dari sekadar transfer ilmu atau terapi untuk "menyembuhkan" individu yang dianggap "bermasalah."
Pendidikan adalah ilmu terapan dari cabang ilmu sosial yang memiliki tujuan lebih luas: mengembangkan setiap aspek perkembangan manusia dalam lingkungan yang inklusif dan menghargai keberagaman.
Pendidikan bersumber dari psikologi perkembangan, sosiologi, antropologi, dan berbagai ilmu sosial lainnya, yang kesemuanya berpusat pada manusia sebagai subjek utamanya.
Lewat teori dan penelitian dari ahli seperti Jean Piaget, Lev Vygotsky, serta model-model perkembangan lainnya, pendidikan memfasilitasi setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, untuk berpartisipasi dalam masyarakat dengan segala potensinya.
Secara teori, pendidikan berkembang dari berbagai ilmu sosial yang mempelajari perkembangan manusia. Dalam psikologi perkembangan, misalnya, Piaget menguraikan tahapan perkembangan kognitif anak, sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya peran sosial dalam belajar.
Kedua teori ini mengarahkan guru untuk tidak hanya fokus pada perkembangan kognitif, tetapi juga aspek sosial-emosional dan motorik anak. Dalam pendidikan, pendekatan ini diterapkan melalui kegiatan belajar-mengajar di kelas, di mana kelima aspek perkembangan tersebut dikembangkan secara terpadu. Masyarakat, sayangnya, sering kali salah kaprah dalam memandang pendidikan, terutama pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, sebagai bentuk "terapi."
Istilah terapi mencerminkan asumsi bahwa anak berkebutuhan khusus adalah "sakit" dan butuh disembuhkan. Padahal, perbedaan perkembangan anak bukanlah suatu penyakit, melainkan variasi neurologis yang alami dan berharga. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bukanlah upaya "penyembuhan," tetapi lebih kepada adaptasi dan modifikasi metode belajar agar sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dalam memahami anak berkebutuhan khusus, ada dua model utama: model medis dan model sosial. Model medis melihat perbedaan perkembangan sebagai suatu masalah atau cacat yang perlu diperbaiki melalui intervensi profesional.
Model ini dapat menimbulkan stigma, karena memposisikan anak sebagai "pasien" yang "kurang" atau "tidak sempurna." Sebaliknya, model sosial menganggap keberagaman perkembangan sebagai bagian dari "diversitas" manusia yang harus diterima. Pada model ini, fokus bukanlah mengubah anak, tetapi menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan adaptif.
Dalam pendidikan, model sosial mendorong sekolah untuk memperbaiki lingkungannya agar dapat memenuhi kebutuhan berbagai anak. Ini adalah pendekatan yang inklusif, di mana anak tidak dipandang sebagai "bermasalah," tetapi dihargai dengan segala keberagaman yang dimilikinya.
Di lapangan, kesalahpahaman masyarakat terhadap pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus masih sering terjadi. Para guru dan tenaga pendidik sering kali mendapati bahwa anak berkebutuhan khusus dipandang sebagai individu yang harus "disembuhkan."
Kondisi ini menyebabkan munculnya stigma, baik dari siswa lain, orangtua, maupun tenaga pendidik. Stigma ini bisa membatasi peluang anak berkebutuhan khusus untuk berkembang dan mengembangkan potensinya di sekolah.
Penelitian dari berbagai ahli seperti Tom Shakespeare, seorang akademisi dan peneliti disabilitas, menunjukkan bahwa stigma terhadap disabilitas lebih banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang model sosial. Lingkungan yang tidak inklusif dapat memperburuk pengalaman belajar anak, membuat mereka merasa tidak nyaman atau bahkan tertolak.
Pendidikan seharusnya membangun masyarakat yang lebih inklusif. Melalui lingkungan belajar yang menghargai keberagaman, anak berkebutuhan khusus dapat belajar dan berkembang dengan cara yang sesuai dengan potensinya.
Dalam pendekatan ini, guru berperan sebagai fasilitator yang menciptakan kegiatan belajar yang mendukung perkembangan kognitif, motorik, sosial-emosional, dan bahasa setiap anak, tanpa terkecuali.
Kelas yang inklusif bukan sekadar menyediakan tempat duduk yang strategis atau alat bantu tertentu, tetapi juga mengintegrasikan nilai inklusivitas dalam setiap proses pembelajaran. Misalnya, kegiatan kelompok yang melibatkan seluruh siswa, tanpa membedakan status "normal" atau "berkebutuhan khusus," dapat membangun rasa saling menghargai dan empati di antara anak-anak.
Sebagai ilmu terapan, pendidikan bukanlah sekadar upaya akademik, tetapi sarana untuk mempersiapkan individu, terutama anak berkebutuhan khusus, untuk hidup di tengah masyarakat dengan cara yang inklusif.
Melalui pemahaman yang tepat tentang perbedaan model medis dan model sosial, masyarakat dapat lebih memahami bahwa anak berkebutuhan khusus tidak membutuhkan "terapi," melainkan kesempatan yang sama untuk berkembang.
Tugas pendidikan bukanlah "menyembuhkan" tetapi menciptakan ruang di mana setiap anak, dengan segala keunikannya, dapat tumbuh, belajar, dan berkontribusi bagi dunia.
Pemahaman ini penting untuk membentuk sistem pendidikan yang inklusif, menghargai keberagaman, dan menghormati hak setiap anak untuk menerima pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H