Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Imam Setiawan adalah seorang pria visioner yang memiliki banyak mimpi besar dan tekad yang tak tergoyahkan. Semangat pantang menyerah yang ia miliki menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah hidupnya. Saat ini, Imam sedang menjalani fase penting dalam hidupnya, berusaha menjadi pribadi yang lebih kuat dengan mengalahkan batasan-batasan dirinya sendiri. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2023, Imam membawa semangat belajarnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di balik pencapaiannya, Imam menghadapi tantangan unik, yaitu hidup dengan disleksia dan ADHD. Namun, daripada melihatnya sebagai hambatan, Imam justru melihatnya sebagai warna yang memperkaya perjalanan hidupnya. Sebagai pendiri Rumah Pipit dan Komunitas Guru Seneng Sinau, Imam tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga menyebarkan inspirasi kepada para guru dan orang tua di seluruh penjuru Indonesia. Melalui proyek ambisius bertajuk “The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara,” Imam berkomitmen untuk menjelajahi daerah-daerah pedalaman Indonesia, bertemu dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Dalam perjalanan ini, ia berbagi ilmu dan pengalaman, dengan harapan memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan serta memperkuat komunitas di daerah-daerah terpencil. Perjalanan ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi Imam untuk membuka pintu bagi anak-anak yang ia yakini sebagai "pembuka kunci surga," mengilhami generasi muda untuk bermimpi dan berani menghadapi tantangan, tak peduli seberat apa pun itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Membangun Pemahaman tentang Proses Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus

6 November 2024   08:31 Diperbarui: 6 November 2024   16:49 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan sebagai Ilmu Terapan:

Membangun Pemahaman tentang Proses Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus

Pendidikan sering kali diidentifikasi sebagai upaya pengembangan kognitif, sosial, emosional, bahasa, dan motorik pada anak, terutama dalam konteks pembelajaran di kelas. Namun, pendidikan sebenarnya lebih dari sekadar transfer ilmu atau terapi untuk "menyembuhkan" individu yang dianggap "bermasalah."

Pendidikan adalah ilmu terapan dari cabang ilmu sosial yang memiliki tujuan lebih luas: mengembangkan setiap aspek perkembangan manusia dalam lingkungan yang inklusif dan menghargai keberagaman.

Pendidikan bersumber dari psikologi perkembangan, sosiologi, antropologi, dan berbagai ilmu sosial lainnya, yang kesemuanya berpusat pada manusia sebagai subjek utamanya.

Lewat teori dan penelitian dari ahli seperti Jean Piaget, Lev Vygotsky, serta model-model perkembangan lainnya, pendidikan memfasilitasi setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, untuk berpartisipasi dalam masyarakat dengan segala potensinya.

Secara teori, pendidikan berkembang dari berbagai ilmu sosial yang mempelajari perkembangan manusia. Dalam psikologi perkembangan, misalnya, Piaget menguraikan tahapan perkembangan kognitif anak, sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya peran sosial dalam belajar.

Kedua teori ini mengarahkan guru untuk tidak hanya fokus pada perkembangan kognitif, tetapi juga aspek sosial-emosional dan motorik anak. Dalam pendidikan, pendekatan ini diterapkan melalui kegiatan belajar-mengajar di kelas, di mana kelima aspek perkembangan tersebut dikembangkan secara terpadu. Masyarakat, sayangnya, sering kali salah kaprah dalam memandang pendidikan, terutama pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, sebagai bentuk "terapi."

Istilah terapi mencerminkan asumsi bahwa anak berkebutuhan khusus adalah "sakit" dan butuh disembuhkan. Padahal, perbedaan perkembangan anak bukanlah suatu penyakit, melainkan variasi neurologis yang alami dan berharga. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bukanlah upaya "penyembuhan," tetapi lebih kepada adaptasi dan modifikasi metode belajar agar sesuai dengan kebutuhan mereka.

Dalam memahami anak berkebutuhan khusus, ada dua model utama: model medis dan model sosial. Model medis melihat perbedaan perkembangan sebagai suatu masalah atau cacat yang perlu diperbaiki melalui intervensi profesional. 

Model ini dapat menimbulkan stigma, karena memposisikan anak sebagai "pasien" yang "kurang" atau "tidak sempurna." Sebaliknya, model sosial menganggap keberagaman perkembangan sebagai bagian dari "diversitas" manusia yang harus diterima. Pada model ini, fokus bukanlah mengubah anak, tetapi menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan adaptif. 

Dalam pendidikan, model sosial mendorong sekolah untuk memperbaiki lingkungannya agar dapat memenuhi kebutuhan berbagai anak. Ini adalah pendekatan yang inklusif, di mana anak tidak dipandang sebagai "bermasalah," tetapi dihargai dengan segala keberagaman yang dimilikinya.

Di lapangan, kesalahpahaman masyarakat terhadap pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus masih sering terjadi. Para guru dan tenaga pendidik sering kali mendapati bahwa anak berkebutuhan khusus dipandang sebagai individu yang harus "disembuhkan." 

Kondisi ini menyebabkan munculnya stigma, baik dari siswa lain, orangtua, maupun tenaga pendidik. Stigma ini bisa membatasi peluang anak berkebutuhan khusus untuk berkembang dan mengembangkan potensinya di sekolah.

Penelitian dari berbagai ahli seperti Tom Shakespeare, seorang akademisi dan peneliti disabilitas, menunjukkan bahwa stigma terhadap disabilitas lebih banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang model sosial. Lingkungan yang tidak inklusif dapat memperburuk pengalaman belajar anak, membuat mereka merasa tidak nyaman atau bahkan tertolak. 

Pendidikan seharusnya membangun masyarakat yang lebih inklusif. Melalui lingkungan belajar yang menghargai keberagaman, anak berkebutuhan khusus dapat belajar dan berkembang dengan cara yang sesuai dengan potensinya. 

Dalam pendekatan ini, guru berperan sebagai fasilitator yang menciptakan kegiatan belajar yang mendukung perkembangan kognitif, motorik, sosial-emosional, dan bahasa setiap anak, tanpa terkecuali.

Kelas yang inklusif bukan sekadar menyediakan tempat duduk yang strategis atau alat bantu tertentu, tetapi juga mengintegrasikan nilai inklusivitas dalam setiap proses pembelajaran. Misalnya, kegiatan kelompok yang melibatkan seluruh siswa, tanpa membedakan status "normal" atau "berkebutuhan khusus," dapat membangun rasa saling menghargai dan empati di antara anak-anak. 

Sebagai ilmu terapan, pendidikan bukanlah sekadar upaya akademik, tetapi sarana untuk mempersiapkan individu, terutama anak berkebutuhan khusus, untuk hidup di tengah masyarakat dengan cara yang inklusif. 

Melalui pemahaman yang tepat tentang perbedaan model medis dan model sosial, masyarakat dapat lebih memahami bahwa anak berkebutuhan khusus tidak membutuhkan "terapi," melainkan kesempatan yang sama untuk berkembang. 

Tugas pendidikan bukanlah "menyembuhkan" tetapi menciptakan ruang di mana setiap anak, dengan segala keunikannya, dapat tumbuh, belajar, dan berkontribusi bagi dunia.

Pemahaman ini penting untuk membentuk sistem pendidikan yang inklusif, menghargai keberagaman, dan menghormati hak setiap anak untuk menerima pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun