Model ini dapat menimbulkan stigma, karena memposisikan anak sebagai "pasien" yang "kurang" atau "tidak sempurna." Sebaliknya, model sosial menganggap keberagaman perkembangan sebagai bagian dari "diversitas" manusia yang harus diterima. Pada model ini, fokus bukanlah mengubah anak, tetapi menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan adaptif.Â
Dalam pendidikan, model sosial mendorong sekolah untuk memperbaiki lingkungannya agar dapat memenuhi kebutuhan berbagai anak. Ini adalah pendekatan yang inklusif, di mana anak tidak dipandang sebagai "bermasalah," tetapi dihargai dengan segala keberagaman yang dimilikinya.
Di lapangan, kesalahpahaman masyarakat terhadap pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus masih sering terjadi. Para guru dan tenaga pendidik sering kali mendapati bahwa anak berkebutuhan khusus dipandang sebagai individu yang harus "disembuhkan."Â
Kondisi ini menyebabkan munculnya stigma, baik dari siswa lain, orangtua, maupun tenaga pendidik. Stigma ini bisa membatasi peluang anak berkebutuhan khusus untuk berkembang dan mengembangkan potensinya di sekolah.
Penelitian dari berbagai ahli seperti Tom Shakespeare, seorang akademisi dan peneliti disabilitas, menunjukkan bahwa stigma terhadap disabilitas lebih banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang model sosial. Lingkungan yang tidak inklusif dapat memperburuk pengalaman belajar anak, membuat mereka merasa tidak nyaman atau bahkan tertolak.Â
Pendidikan seharusnya membangun masyarakat yang lebih inklusif. Melalui lingkungan belajar yang menghargai keberagaman, anak berkebutuhan khusus dapat belajar dan berkembang dengan cara yang sesuai dengan potensinya.Â
Dalam pendekatan ini, guru berperan sebagai fasilitator yang menciptakan kegiatan belajar yang mendukung perkembangan kognitif, motorik, sosial-emosional, dan bahasa setiap anak, tanpa terkecuali.
Kelas yang inklusif bukan sekadar menyediakan tempat duduk yang strategis atau alat bantu tertentu, tetapi juga mengintegrasikan nilai inklusivitas dalam setiap proses pembelajaran. Misalnya, kegiatan kelompok yang melibatkan seluruh siswa, tanpa membedakan status "normal" atau "berkebutuhan khusus," dapat membangun rasa saling menghargai dan empati di antara anak-anak.Â
Sebagai ilmu terapan, pendidikan bukanlah sekadar upaya akademik, tetapi sarana untuk mempersiapkan individu, terutama anak berkebutuhan khusus, untuk hidup di tengah masyarakat dengan cara yang inklusif.Â
Melalui pemahaman yang tepat tentang perbedaan model medis dan model sosial, masyarakat dapat lebih memahami bahwa anak berkebutuhan khusus tidak membutuhkan "terapi," melainkan kesempatan yang sama untuk berkembang.Â
Tugas pendidikan bukanlah "menyembuhkan" tetapi menciptakan ruang di mana setiap anak, dengan segala keunikannya, dapat tumbuh, belajar, dan berkontribusi bagi dunia.