Tantangan Disleksia dalam Program Literasi Numerasi Pemerintah
Ketika kita berbicara tentang literasi dan numerasi, kebanyakan dari kita langsung berpikir tentang kemampuan membaca dan berhitung kemampuan dasar yang tampak sederhana. Namun, bagi sebagian anak dengan disleksia, huruf dan angka adalah tantangan yang begitu rumit dan menakutkan. Di balik mereka yang berjuang dengan disleksia, literasi dan numerasi bukan hanya soal memahami kata atau angka, tetapi tentang mencari cara untuk 'membaca' dunia dengan cara yang unik.
Pemerintah telah meluncurkan berbagai program literasi dan numerasi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar di Indonesia. Program ini menargetkan keterampilan dasar membaca, menulis, dan berhitung yang sangat penting bagi keberhasilan akademik dan kesejahteraan anak-anak di masa depan. Namun, seringkali, anak-anak dengan disleksia atau kesulitan belajar spesifik lainnya belum sepenuhnya mendapat perhatian yang mereka butuhkan dalam program ini.
Disleksia adalah kondisi neurobiologis yang memengaruhi keterampilan bahasa, khususnya dalam membaca, mengeja, dan menulis. Disleksia bukanlah indikasi dari kurangnya kecerdasan atau ketekunan, tetapi lebih merupakan perbedaan dalam cara otak memproses informasi bahasa.
Penelitian yang dilakukan oleh Shaywitz (2003), seorang ahli disleksia dari Yale University, menunjukkan bahwa anak-anak dengan disleksia mengalami kesulitan pada area otak yang berhubungan dengan pengenalan fonem dan visualisasi kata. Ini membuat aktivitas seperti membaca terlihat lebih rumit, seolah huruf-huruf di depan mata mereka "menari" atau "berputar-putar."
Dalam konteks literasi numerasi, tantangan semakin meningkat. Program literasi berfokus pada kemampuan membaca dan menulis, sedangkan numerasi menitikberatkan pada kemampuan memahami angka dan konsep matematika dasar. Tetapi bagi anak-anak dengan disleksia, masalah dalam pengenalan pola huruf dan angka berarti bahwa upaya literasi dan numerasi ini perlu didekati dengan cara yang berbeda.
Anak dengan disleksia tidak hanya mengalami kesulitan dalam membaca tetapi juga dalam memahami angka. Penelitian yang dilakukan oleh Butterworth et al. (2011) menunjukkan bahwa anak-anak dengan disleksia memiliki kesulitan dalam memahami angka, seolah angka-angka tersebut adalah 'bahasa asing.'
Anak-anak ini sering kesulitan dalam mengenali simbol angka, menghitung, atau memahami operasi matematika dasar. Mereka mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk mengolah informasi numerik, karena otak mereka memproses angka dengan cara yang berbeda.
Program literasi dan numerasi pemerintah, sayangnya, sering kali belum sepenuhnya menyesuaikan metode pengajarannya untuk anak-anak dengan disleksia. Pada titik ini, dukungan dari pemerintah dan para pendidik sangat dibutuhkan agar mereka tidak hanya berfokus pada hasil angka atau kata yang dihafalkan, tetapi lebih kepada pendekatan yang mendukung perkembangan cara berpikir dan memahami unik setiap anak.
Dalam rangka memaksimalkan potensi program literasi dan numerasi bagi anak-anak dengan disleksia, pelatihan bagi para guru adalah langkah yang sangat penting. Shaywitz (2003) menggarisbawahi pentingnya metode pengajaran multisensori, yang melibatkan penggunaan penglihatan, pendengaran, dan gerakan tangan dalam proses pembelajaran. Pendekatan multisensori terbukti dapat membantu anak-anak dengan disleksia dalam memahami pola kata dan angka.