“Mengapa Kami Tetap Bertahan: Refleksi Perjuangan dan Kesabaran Guru di Tengah Tantangan”
Ketika mendengar kabar tentang guru yang dilaporkan karena mendisiplinkan siswa atau mencoba menanamkan nilai-nilai agama, hati ini bergetar. Dalam sorotan media, ada kisah guru yang dipukul oleh muridnya, hingga mengalami cedera serius. Bahkan ada berita tentang orang tua yang menyerang guru karena tidak terima anaknya ditegur, seolah-olah batasan antara disiplin dan kekerasan menjadi semakin kabur. Kasus-kasus seperti ini menjadi bahan perbincangan hangat di masyarakat, memperlihatkan betapa rumitnya peran seorang guru di masa sekarang, di mana usaha mendidik anak-anak tak lagi sekadar soal pengetahuan, tetapi juga soal menavigasi berbagai ekspektasi, kritik, dan kadang bahkan tindakan kekerasan yang merendahkan martabat mereka.
Di tengah gemuruh kasus-kasus ini, para guru anak berkebutuhan khusus menjalani tantangan fisik dan emosional yang lebih besar setiap harinya, meski jarang terdengar atau disorot. Kami, yang setiap hari mendampingi anak-anak dengan kebutuhan khusus, menghadapi amukan, pukulan, cubitan, atau bahkan dilempar barang, semua itu adalah bagian dari pekerjaan yang kami jalani dengan ikhlas. Di balik luka yang terkadang kami terima, kami tetap bertahan tanpa mengharapkan balasan atau penghargaan, hanya sedikit pemahaman dan dukungan kerja sama dari orang tua.
Kami memahami bahwa anak-anak ini perlu waktu dan kesabaran untuk belajar mengendalikan diri dan emosi mereka. Ironisnya, meski kami menjalani tugas ini dengan dedikasi yang besar, kami tetap bisa diminta pertanggungjawaban yang bahkan tidak adil. Namun, cinta pada profesi dan keyakinan bahwa setiap anak layak diberi kesempatan membuat kami bertahan, berharap bahwa suatu hari masyarakat dan orang tua akan lebih memahami peran penting guru dalam membantu anak-anak menghadapi dunia dengan segala perbedaannya.
Saya, Imam Setiawan, seorang guru anak berkebutuhan khusus, telah mengabdikan hidup saya untuk mendidik mereka yang istimewa, anak-anak dengan kebutuhan khusus yang seringkali dianggap “bermasalah” oleh masyarakat. Saya terbiasa dipukul, dicubit, dilempar barang, bahkan terluka fisik oleh tingkah laku anak-anak yang sedang belajar mengendalikan emosi mereka. Hari demi hari, saya dan rekan-rekan guru lain di bidang ini menerima perlakuan ini tanpa mengeluh, tanpa melapor, bahkan tanpa mengharapkan kompensasi apa pun. Kami tahu, ini adalah bagian dari tanggung jawab kami. Sebagai pengajar anak berkebutuhan khusus, kami memahami bahwa anak-anak ini memerlukan dukungan yang penuh kasih dan kesabaran yang tak terbatas. Tetapi, dalam realita, kami sering merasa sendirian dalam perjuangan ini.
Setiap luka, setiap pukulan, dan setiap amukan anak-anak ini adalah sebuah proses untuk mereka, untuk kami, untuk sistem pendidikan yang lebih baik. Namun, alangkah beratnya jika kami tidak mendapat dukungan dari orang tua, atau lebih menyakitkan lagi ketika orang tua malah mengeluh dan menuntut hal-hal yang hampir tidak mungkin. Seringkali, kami menerima komplain atau tuntutan dari orang tua siswa reguler yang khawatir anak mereka terganggu oleh anak-anak berkebutuhan khusus, yang bahkan belum mereka coba pahami. Mereka memandang anak-anak kami sebagai gangguan, bukan sebagai anak-anak yang juga berhak mendapat pendidikan dan kasih sayang.
Jika seandainya kami guru anak berkebutuhan khusus harus melaporkan semua insiden fisik yang kami alami dari siswa, mungkin sudah ribuan laporan tercatat, mungkin sudah bertumpuk-tumpuk kertas laporan memenuhi ruangan kepolisian dan kantor sekolah. Tetapi kami tidak melakukannya. Mengapa? Karena kami memahami kebutuhan anak-anak ini, memahami keterbatasan mereka, dan yang terpenting, kami mengerti bahwa tugas kami adalah mengajar mereka untuk berproses, bukan menghukum.
Sistem pendidikan di negara kita belum sepenuhnya memahami pentingnya keberagaman dalam perbedaan, terutama dalam pendidikan inklusif. Saya sendiri adalah korban dari sistem ini, dan dari ketidaktahuan orang tua yang dahulu, ketika saya masih duduk di bangku sekolah, menilai saya hanya sebagai anak yang “nakal” atau “lambat” tanpa menyadari bahwa saya memiliki disleksia dan ADHD. Saya tahu rasanya tidak dimengerti, direndahkan, dan dipandang sebelah mata. Justru pengalaman inilah yang membawa saya pada panggilan untuk menjadi guru anak berkebutuhan khusus—untuk menjadi orang yang mendampingi, yang memahami, yang sabar. Karena saya tahu, mereka butuh lebih dari sekadar pengajaran. Mereka butuh seseorang yang mau berjalan bersama mereka, seberat apa pun langkah itu.
Sejak tahun 2017, saya menjalankan proyek “Disleksia Keliling Nusantara,” sebuah gerakan yang saya buat untuk mendukung anak-anak disleksia di berbagai daerah. Dalam perjalanan ini, saya melihat banyak sekali anak-anak yang dikucilkan, tidak diterima di sekolah umum, bahkan dianggap “bodoh” oleh orang tua mereka sendiri. Saya menjumpai guru-guru yang penuh cinta, tetapi terjebak dalam sistem yang tidak memfasilitasi kebutuhan khusus ini, yang akhirnya membuat mereka merasa tidak berdaya. Lewat proyek ini, saya berusaha membawa kesadaran, baik bagi para guru maupun orang tua, untuk membuka mata dan hati pada keberagaman yang kita miliki. Setiap anak berbeda, setiap kebutuhan itu penting, dan semua itu layak untuk diperjuangkan.