Disleksia dan Time Management: Sebuah Perjalanan Melawan Waktu
Waktu adalah sesuatu yang tak bisa diulang, dan bagi orang dengan disleksia, manajemen waktu bisa menjadi tantangan yang tampaknya sulit ditaklukkan. Dari pengalaman saya sendiri, sebagai seorang yang tumbuh dengan disleksia dan ADHD, waktu adalah musuh yang sering terasa begitu cepat berlalu, sementara saya masih bergulat dengan tugas-tugas yang belum selesai. Dalam perjalanan saya sebagai pelajar, pekerja, dan juga penggerak program "Disleksia Keliling Nusantara," kemampuan untuk mengelola waktu menjadi salah satu hal yang paling krusial dan sekaligus paling sulit dikuasai.
Di bangku sekolah, waktu selalu terasa seperti penjara. Guru memberikan tugas, memberikan batas waktu yang seakan-akan sederhana untuk teman-teman saya, tetapi bagi saya, jam dinding seolah berdetak lebih cepat saat saya kesulitan membaca atau menulis dengan lancar. Saya kerap tertinggal dari teman-teman dalam menyelesaikan pekerjaan rumah, merasa tertekan ketika ujian berlangsung karena huruf-huruf di halaman tampak seperti menari-nari, membuat saya bingung dan frustrasi. Setiap detik yang berlalu hanya mempertegas ketidakmampuan saya untuk "mengikuti arus."
Namun, saya selalu ingat nasihat ayah yang tidak pernah lelah membantu saya belajar di rumah. Beliau mengatakan, "Waktu memang tidak menunggumu, tapi kamu bisa belajar untuk mengendalikannya." Kata-kata itu terpatri dalam hati saya. Dengan dukungan orang tua dan terapi yang saya jalani, saya mulai menemukan cara untuk memecah tugas besar menjadi langkah-langkah kecil dan menetapkan prioritas. Salah satu strategi yang saya temukan bermanfaat adalah menggunakan pengingat visual, seperti daftar tugas dengan warna-warna berbeda, yang membuat saya lebih mudah memahami apa yang harus dilakukan terlebih dahulu.
Saat saya beralih ke dunia kerja, tantangan manajemen waktu tidak berkurang, malah semakin kompleks. Deadline pekerjaan sering kali membuat saya merasa terjebak dalam pusaran yang tak ada ujungnya. Ada begitu banyak dokumen yang harus dibaca, dipahami, dan direspons hal-hal yang bagi orang lain tampak sederhana, tetapi bagi saya seperti berjalan di atas pasir hisap. Rasanya, semakin keras saya berusaha, semakin saya tenggelam dalam tumpukan pekerjaan.
Namun, dari pengalaman saya belajar mengelola waktu di sekolah, saya tahu bahwa solusi yang saya temukan sebelumnya masih relevan. Saya mulai memetakan pekerjaan saya menggunakan aplikasi manajemen tugas yang terstruktur, membagi pekerjaan menjadi bagian-bagian yang lebih mudah diakses, dan yang terpenting, tidak ragu untuk meminta bantuan ketika saya merasa kewalahan. Ternyata, komunikasi terbuka dengan rekan kerja menjadi salah satu kunci penting dalam mengatasi tekanan waktu. Saya belajar untuk jujur tentang kesulitan saya dan tidak lagi merasa malu ketika butuh lebih banyak waktu untuk memahami sesuatu.
Pada suatu kesempatan, saya menjalankan program "Disleksia Keliling Nusantara," sebuah program yang sangat dekat di hati saya karena memberikan kesempatan untuk membantu anak-anak dengan disleksia di berbagai pelosok Indonesia. Waktu itu saya memiliki jadwal untuk terbang ke Kalimantan guna memberikan pelatihan kepada para guru dan orang tua. Namun, sayangnya, masalah manajemen waktu saya muncul lagi. Saya lupa memeriksa jadwal penerbangan dengan benar dan kehilangan banyak waktu hanya untuk bersiap-siap. Akibatnya, saya ketinggalan pesawat.
Perasaan saat itu campur aduk frustrasi, malu, dan kecewa pada diri sendiri. Tapi, momen itu memberi saya pelajaran penting. Saya sadar bahwa, meskipun sudah mencoba mengatur waktu sebaik mungkin, saya masih bisa terjebak oleh sifat dasar disleksia saya yang sering membuat saya kehilangan fokus atau terlambat. Namun, saya tidak membiarkan hal itu menghentikan saya. Solusi yang saya ambil adalah tetap tenang dan mencari penerbangan berikutnya. Saya juga belajar untuk mengantisipasi situasi seperti ini dengan membuat jadwal lebih terstruktur, meninggalkan lebih banyak 'ruang' dalam perencanaan waktu saya.
Ketika akhirnya saya sampai di Kalimantan, kejadian ini menjadi bahan cerita saya kepada para guru dan orang tua dalam sesi pelatihan. Saya menjelaskan bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti disleksia membutuhkan strategi manajemen waktu yang berbeda. Mereka perlu diajarkan bagaimana membagi tugas mereka menjadi bagian-bagian kecil, membuat daftar prioritas, dan menggunakan bantuan visual atau alat bantu pengingat untuk menghindari ketertinggalan. Yang paling penting, mereka perlu didukung untuk tetap tenang ketika hal-hal tidak berjalan sesuai rencana karena terkadang, kita memang akan mengalami kesalahan, dan itu tidak apa-apa.