Tahukah kalian bahwa salah satu ciri utama otak disleksia adalah lemahnya memori kerja? Bagi banyak orang, memori adalah komponen penting dalam aktivitas sehari-hari, namun bagi penderita disleksia, kelemahan ini menjadi tantangan yang harus dihadapi dengan usaha ekstra.
Memori kerja yang buruk seringkali membuat kita, yang memiliki disleksia, merasa seolah-olah otak kita adalah sebuah gudang yang penuh ide namun sulit diakses.
Bayangkan seperti mencoba mencari sesuatu dalam ruangan yang gelap tanpa cahaya kita bisa meraba-raba, tetapi sering kali yang kita ambil bukanlah apa yang kita cari.
Salah satu contoh umum dari hal ini adalah seringnya saya mengacaukan kata-kata seperti "spesifik" dengan "pasifik". Ini mungkin terdengar sederhana, tetapi bagi otak disleksia, perbedaan semacam itu bisa menjadi penghalang besar.
Sebagai anak disleksia, memori kerja yang lemah membuat berbagai aktivitas menjadi lebih sulit. Mulai dari merencanakan hari, mengorganisir tugas, hingga menjalankan pekerjaan sederhana, semua itu memerlukan upaya yang lebih besar dari yang diperkirakan.
Terkadang, hanya membuat daftar "to-do" bisa menjadi tugas berat karena otak saya harus berusaha mengatur informasi berdasarkan waktu dan tempat.
Akibatnya, proses belajar pun menjadi terasa lebih menantang. Saya mengalami kesulitan tidak hanya dalam membaca, tetapi juga dalam matematika, serta mengalami kelemahan dalam semua komponen memori kerja.
Hal ini membuat saya lebih rentan melakukan kesalahan saat menerjemahkan angka dari bentuk lisan ke bentuk tertulis dibandingkan dengan teman-teman saya yang memiliki memori kerja lebih kuat.
Salah satu kelemahan paling menonjol saat belajar matematika adalah ketidakmampuan saya untuk menyimpan dan mengambil kombinasi angka atau fakta dari memori jangka panjang.
Hal ini membuat sumber daya yang seharusnya saya gunakan untuk memahami konsep yang lebih kompleks justru terpakai hanya untuk mengingat informasi dasar. Ini adalah salah satu tantangan terbesar bagi saya dalam proses pembelajaran.