Setiap ujian bukan sekadar serangkaian soal yang harus dijawab, tetapi juga mimpi buruk yang datang berulang kali sebuah pengingat akan kegagalan yang tampaknya sudah pasti terjadi.
Setiap kali saya duduk di depan kertas ujian, kecemasan menyelimuti dada saya, menenggelamkan harapan sebelum saya sempat mencoba.
Saya hanyalah salah satu dari banyak anak yang berjalan di lorong-lorong sekolah tanpa pernah didiagnosa secara resmi.
Betapa banyak anak lain yang menghadapi kesulitan yang sama, merasa bodoh hanya karena sistem pendidikan kita tidak mampu melihat dan memahami mereka?
Ketika diagnosis disleksia tak kunjung datang, terutama di keluarga yang kurang mampu, pilihan menjadi sangat terbatas. Banyak yang menyerah, menerima nasib karena mereka tidak memiliki sumber daya untuk mendapatkan bantuan yang layak.
Sistem pendidikan kita, sayangnya, terlalu sering gagal dalam melihat anak-anak seperti saya. Bukannya mendukung dan memberikan solusi, sering kali kami ditempatkan di barisan terbawah, seolah-olah di sanalah tempat kami seharusnya berada.
Apakah ini adil? Apakah ini benar-benar memenuhi kebutuhan kami yang memerlukan penyesuaian? Diskriminasi itu nyata. Seorang anak yang memiliki tantangan belajar sering kali langsung dianggap tidak akan pernah bisa mengejar ketertinggalannya.
Dunia tampaknya sudah memutuskan bahwa saya tidak akan mencapai apa-apa, bahkan sebelum saya diberi kesempatan untuk mencoba.
Namun, di dalam hati saya, saya yakin bahwa jika diberi kesempatan yang setara, kami bisa berprestasi seperti anak-anak lainnya.
Jadi yang kami inginkan bukanlah belas kasihan, melainkan kesempatan-kesempatan untuk membuktikan diri bahwa kami mampu, bahwa kami tidak bodoh seperti yang orang lain pikirkan.
Ada sebuah pepatah yang sangat saya sukai: “Jika kalian menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, seumur hidupnya ia akan percaya bahwa dirinya bodoh.”