Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Disleksia dan Sekolah

26 September 2024   08:06 Diperbarui: 28 September 2024   12:18 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap ujian bukan sekadar serangkaian soal yang harus dijawab, tetapi juga mimpi buruk yang datang berulang kali sebuah pengingat akan kegagalan yang tampaknya sudah pasti terjadi. 

Setiap kali saya duduk di depan kertas ujian, kecemasan menyelimuti dada saya, menenggelamkan harapan sebelum saya sempat mencoba.

Saya hanyalah salah satu dari banyak anak yang berjalan di lorong-lorong sekolah tanpa pernah didiagnosa secara resmi. 

Betapa banyak anak lain yang menghadapi kesulitan yang sama, merasa bodoh hanya karena sistem pendidikan kita tidak mampu melihat dan memahami mereka? 

Ketika diagnosis disleksia tak kunjung datang, terutama di keluarga yang kurang mampu, pilihan menjadi sangat terbatas. Banyak yang menyerah, menerima nasib karena mereka tidak memiliki sumber daya untuk mendapatkan bantuan yang layak. 

Sistem pendidikan kita, sayangnya, terlalu sering gagal dalam melihat anak-anak seperti saya. Bukannya mendukung dan memberikan solusi, sering kali kami ditempatkan di barisan terbawah, seolah-olah di sanalah tempat kami seharusnya berada.

Apakah ini adil? Apakah ini benar-benar memenuhi kebutuhan kami yang memerlukan penyesuaian? Diskriminasi itu nyata. Seorang anak yang memiliki tantangan belajar sering kali langsung dianggap tidak akan pernah bisa mengejar ketertinggalannya. 

Dunia tampaknya sudah memutuskan bahwa saya tidak akan mencapai apa-apa, bahkan sebelum saya diberi kesempatan untuk mencoba. 

Namun, di dalam hati saya, saya yakin bahwa jika diberi kesempatan yang setara, kami bisa berprestasi seperti anak-anak lainnya. 

Jadi yang kami inginkan bukanlah belas kasihan, melainkan kesempatan-kesempatan untuk membuktikan diri bahwa kami mampu, bahwa kami tidak bodoh seperti yang orang lain pikirkan.

Ada sebuah pepatah yang sangat saya sukai: “Jika kalian menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, seumur hidupnya ia akan percaya bahwa dirinya bodoh.” 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun