Mohon tunggu...
Imam Budiman
Imam Budiman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Selamat Bertambah Usia, Ayahanda Ali Mustafa Yaqub!

2 Maret 2016   15:53 Diperbarui: 4 Maret 2016   07:59 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

"..كن خادما لرسول الله"

“Jadilah pengabdi bagi Rasulullah Saw..”

--Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA

Itu salah satu dari sekian banyak nasehat beliau kepada kami yang tak terhitung jika mesti mengurutkannya satu per-satu. Beliau ayah kami, dan kami adalah anak-anak ideologis beliau, di berbagai kesempatan, di sela beliau memberikan dawuh kepada kami, beliau acapkali menyampaikan, “anaa abuukum, wa antum abnaa’i. ad’uukum daa’iman ba’da shalah wa ba’da ad-diraasah.al-muhim, ijtahiduu wastaqiimuu fi ad-diraasah.” Pertama kali saya mendengar ucapan itu dari beliau, saya terharu. Bisa mengaji dan menjadi santri beliau, adalah sesuatu yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Sebelum lebih jauh, sebenarnya inisiatif untuk menulis catatan singkat ini berawal pertama kali dari Broadcast yang saya terima melalu Blackberry Mesenger dan beberapa postingan alumni almameter di Darus-Sunnah Interational Institute for Hadith Sciences yang tersebar di sosial media mengenai rangka “tahadduts binni’mah” ulang tahun Ayahanda kami, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, yang ke-64. Semua nampak bersuka cita dengan merubah display picture (DP) gambar beliau bersama Bu Nyai dengan selipan ucapan selamat dan doa kebaikan. Dalam suasana euforia ini, saya pun turut –meski terkesan agak latah, untuk sekadar menuliskan ucapan selamat dan doa di akun Twitter.

Mulanya, saya tidak benar-benar ingat, kapan tepatnya beliau lahir –semoga saya tidak termasuk santri yang durhaka, selain yang saya tahu, beliau lahir dan menjalani masa kecil dari daerah Batang, Jawa Tengah. Kemudian dilanjutkan dengan berpindahnya beliau ke Jombang, Jawa Timur, nyantri di Pondok Pesantren Seblak dan Tebu Ireng. Menempuh Strata I dan II di Universitas King Saud, Riyad. Mengambil Strata III di Hyderbead, India dan kembali ke Indonesia untuk mengajar di beberapa Universitas Islam di Indonesia. Beliau diangkat menjadi Sekjen Ittihadul Muballighin, keterlibatan dalam komisi fatwa MUI, Syuriah PBNU hingga diangkat menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Saya –kami, anak-anaknya, jauh lebih hafal segala tuah-tuahnya, ketimbang detail sosoknya. Bukan tanpa alasan atau bermaksud tak peduli, hal tersebut wajar, sebab beliau tak pernah mengungkit, terlebih membesar-besarkan diri karena ketawadhu’an yang melekat pada diri beliau.

Peringatan pertambahan usia, barangkali bukan suatu yang amat penting bagi beliau. Pernah pada suatu kali –saya mendapat cerita ini dari salah seorang musyrif yang ketika itu bersama beliau—ditelepon oleh anak semata wayangnya, Ziya’ul Haramain yang saat itu tengah menempuh S1 di Universitas Madinah. Tujuannya tak lain untuk mengucapkan selamat bertambah usia, namun beliau menjawab (diterjemahkan dari bahasa arab), “Tak harus mengucapkan selamat, yang penting kamu doakan bapak terus di sana.” Betapa rendah hatinya sosok ulama besar sekaliber beliau. Tak berlebihan jika ia kini, bahkan hingga kapan pun, menjadi sosok panutan bagi umat.

Menjajaki hampir tiga tahun saya, serta kawan-kawan seangkatan, menjadi mahasantrinya, tak pernah ada sekali pun acara atau pun tasyakuran pertambahan usia beliau. Di halaqah pun, tak pernah beliau menyinggung soal perayaan pertambahan usia. Dan hingga tulisan ini rampung diselesaikan, saya tidak tahu, apakah inisiatif untuk memosting ucapan selamat dengan hastag #ultahAMY64 diketahui atau tidak oleh beliau, yang jelas saya mengapresiasi niatan baik kawan-kawan almameter untuk menjadikan beliau sosok yang dapat dikenal secara lebih luas oleh dunia, secara umum dan di kalangan masyarakat Indonesia sendiri pada khususnya.

Untuk sekadar merayakan hari lahir beliau, di postingan kali ini, tak ada yang baru, selain saya repost beberapa catatan pengalaman pribadi yang pernah saya tulis di kisaran tahun 2014 silam mengenai Pak Kyai. Semoga bermanfaat dan masih layak untuk dibaca:

 

Pak Kyai, Mahasantri, Tanzhif Jama’i

(Jum’at 22 August 2014.)

 

Genap seminggu sudah  berada di sini setelah kedatangan dari kampung halaman minggu lalu. Masih ada sisa-sisa rindu yang terselip pada keluarga. Rasanya baru kemarin libur, sekarang sudah harus kembali berkutat dengan tugas-tugas baru yang kian menumpuk. Sembari mencuri-curi waktu, mungkin ini tulisan pertama untuk semester baru kali ini. Sembari menghibur diri karena rencana untuk nonton XXI berkali-kali harus diurungkan karena waktu yang kurang bersahabat dengan jadwal kegiatan. Bahkan untuk weekend sekalipun. Karena sekarang, malam minggu digunakan untuk kegiatan mudzakarah. Semoga Allah melimpahkan keberkahan waktu dan umur pada kita.

Hari ini Tanzhif. Ya, ini intruksi langsung yang diberikan  Pak Kyai agar Tanzhif dipindah menjadi hari jumat supaya menyesuaikan dengan waktu libur yang pada mulanya hari Minggu kemudian dirubah menjadi hari ini.

Tanzhif Jama’i dalam terjemah bebas bahasa Indonesia kurang lebih memiliki arti: Bersih-bersih bersama. Istilah ini digunakan untuk kegiatan rutin membersihkan lingkungan sekitar ma’had bersama seluruh penghuni setiap kamar (dalam bermasyarakat, pekerjaan ini biasa disebut gotong royong). Sebelumnya, Tanzhif Jama’i dilakukan rutin seminggu sekali pada hari Sabtu. Yaitu selepas Halaqah Fajriyah yang baru selesai pada jam 07:30 WIB.

Soal kebersihan, Pak Kyai memang sangat loyal. Amarah beliau terpancing jika melihat ada satu bagian saja dari area ma’had yang tidak rapi (apalagi kotor).

Pernah pada suatu pagi beliau mengontrol Ma’had secara mendadak. Tidak ada seorang pun dari kami yang mengetahui. Kebetulan pada waktu itu sedang tahap perpindahan kamar, sehingga sulit dihindarkan jika bagian lantai paling dasar penuh dengan sampah dan lemari-lemari kitab yang berantakan. Walhasil, beliau marah sekali. Beliau memerintahkan untuk membakar semua lemari-lemari kitab tadi. Bahkan, saat saya ikut membakar di antara beberapa orang yang lainnya, saya melihat ada beberapa mahasantri dan musyrif dimarahi oleh beliau. Memang, beliau selalu menginginkan lingkungan yang nyaman dan kondusif untuk anak asuhnya.

Dan hampir di setiap halaqah maupun saat menyampaikan wejangan-wejangan kala bertamu ke rumah, beliau selalu menghimbau untuk senantiasa menjaga kebersihan.[caption caption="amy"][/caption]

“Istaqim fie ad-Dirasah wa binnizham wa nazhaafah. Likulli thaalib al-Hadits laa budda binnazhaafah!” Begitu kurang lebih beliau berpesan.

Lain di ma’had lain hal pula di rumah. Di rumah tentu tak ada istilah tanzhif jama’i. Sebab, untuk kebersihan tentu tidak perlu rasanya jika harus terjadwal dan ditentukan. Ketika melihat seisi rumah yang agak berantakan, debu di kaca buffet, pot ataupun lemari. Begitu juga dengan halaman rumah yang mulai kotor entah karena becek ataupun daun-daun yang berjatuhan, tanpa perintah siapapun kita akan bergerak untuk membersihkannya. Karena di samping rasa ketidaknyamanan itu kita juga paham betul bahwa kotor bukan menunjukan ciri seorang muslim yang baik.

Lalu apa dampak positive yang dihasilkan dari segi sosial bagi setiap Mahasantri? Sangat jelas, dengan tanzhif jama’i solidaritas dan suasana keakraban dengan sendirinya terbentuk. Rasa kekeluargaan dan keharmonisan hubungan pertemanan semakin erat. Hal ini jelas terlihat dari sikap saling tolong-menolong satu sama lain yang diselingi candaan-candaan khas ala santri.

Diantara mereka ada yang mendapat bagian membersihkan kamar mandi, jemuran, taman, mesjid,halaman, ruang-ruang kelas dan lainnya. Tidak merasa terpaksa, kecuali rasa kantuk yang terkadang hinggap membuat rasa agak malas untuk bergerak. Tidak dapat dipungkiri, ini manusiawi.

Teringat dengan sebuah aforisma pesantren yang cukup familiar:

“Susah senang ditanggung bersama.”

Tak heran jika pesantren memiliki tradisi cukup unik yang  jarang sekali ditemui orang-orang pada umumnya. Mulai dari makan di satu wadah berupa nampan besar bersama-sama hingga melaksanakan tugas bersama-sama. Semua dilakukan bersama-sama.

Bukankah Allah menurunkan keberkahan untuk setiap kebaikan yang dilakukan bersama-sama (jama’ah)? Semoga Allah memanjangkan umur guru-guru kita agar kita dapat ber-istifadah dengan ilmu-ilmunya dan semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang shaleh/ah. Amin yaa rabbal alaamiin.

 

--Segelas kopi pertama hari jum’at, Darus-Sunnah

 

Pak Kyai, Shahih Bukhori, dan Bahasa Inggris

(Darus-Sunnah, Senin, 8 September 2014.)

 

Tidak ada yang berbeda di pagi yang temaram ini. Lampu-lampu taman yang senantiasa menghantarkan cahaya sepanjang malam, juga pohon kamboja sekedirian dua orang dewasa yang menjatuhkan bunga-bunganya satu persatu. Keindahan suasana ini selalu berulang setiap pagi.

Semua berjalan sebagaimana biasanya. Sebelum semburat Matahari mengintip di sebelah ufuk timur, para mahasantri telah duduk sejajar dengan setelan koko dan peci putih. Dan masih seperti biasa, pembacaan Nazham Bayquniah sebagai pengantar setiap kali memulai halaqah kembali disenandungkan. Ada yang bersemangat dengan intonasi tinggi, adapula yang setengah bersuara karena rasa kantuk yang masih mendera. Yang jelas, di waktu yang sepagi itu, tinggi rendah suara mahasantri menyeruak ke celah-celah kosong, ke setiap pendengaran.

Bait-bait nazham itu juga menggenapi rasa ta’zhim kepada seorang guru sekaligus ayah yang tengah berada di hadapan kami. Sesekali ia menahan batuk, lalu ia meminum air hangat di hadapannya  beberapa tegukan. Kemudian ia menghirup napas. Dalam. Tak dapat dipungkiri bahwa kini faktor usia telah melahap sebagian tenaga dan kerapkali mengganggu kesehatannya. Kami hanya berdoa, bahwa Allah senantiasa memberikan kesehatan dan panjang umur untuknya.

Ini sudah memasuki liqa’ keempat dari jumlah kesuluruhan 12 liqa’ yang telah menjadi suatu keharusan untuk diikuti. Kebetulan, halaqoh kali ini saya duduk di barisan kedua dari depan. Minggu ini juga masuk pada “English Week” di mana Pak Kyai akan menerangkan serta menjelaskan hadits per-hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim dengan menggunakan bahasa Inggris. Namun, di samping itu beliau juga masih menyertakan penjelasan dengan menggunakan bahasa arab agar memudahkan

Mungkin anda akan bertanya, “Gimana toh. Mempelajari Hadis kok pake bahasa inggris? Bukannya itu Bid’ah ya? Apalagi yang dipelajarin sekaliber Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang menjadi rujukan sumber hukum. Apa nggak takut salah pemahaman?”

Baik, saya memahami itu. Terlebih jika anda berasal dari kalangan pesantren salafiyah atau tradisionalis. Sebab, saya akui bahwa saya termasuk salah seorang yang kurang menggemari bahasa Inggris. Dibandingkan teman-teman, tentulah kapasitas “berbahasa” yang saya miliki masih sangat jauh. Tak jarang selepas halaqoh saya kembali bertanya kepada teman yang lebih paham. Karena ada beberapa vocab yang belum saya ketahui.

 Namun mengenai masalah ini, alangkah baiknya anda tisak asal menuding dengan menyematkan kata Bid’ah pada suatu amalan. saya masih ingat sekali di suatu kesempatan ketika beliau memberikan wejangan dihadapan seluruh mahasantrinya dalam satu ruangan yang sama, tepatnya didalam mesjid Muniroh Salamah. Dengan tegas beliau mengatakan:

 ”إن اللغة الإنجليزية ليست بدعة. بل هي سنة من سنن رسول الله. فلا بد لكل طالب يقدّرون على اربعة اللغات: اللغة العربية و اللغة الإنجليزية واللغة الإندونسية و اللغة المحلية."

Bahkan, setelah mengatakan itu beliau juga menambahkan bahwa kini beliau tengah belajar bahasa Urdu dan Francis. Kemudian beliau melayangkan sebuah pertanyaan kepada salah seorang mahasantri putra yang duduk berada paling depan:

“Varle-vows francais?” (dengan dialek kejawa-jawaan ala beliau yang terdengar cukup khas)

Jika ditranslate kedalam bahasa inggris, pertanyaan beliau itu nkurang lebih memiliki arti: “Can you speak france languange?” Akan tetapi, nampaknya bahasa Francis masih terasa asing baginya. Si Mahasantri tersebut hanya tesenyum-senyum sendiri. menengok ke belakang. Tidak tahu harus menjawab apa.

Saya sempat terkaget. Betapa tidak, di usia beliau yang terbilang tak lagi muda, beliau masih memiliki Himmah kuat untuk belajar. Untuk bahasa Francis, kini saya mulai “mencoba-coba” mepelajarinya melalui salah seorang Musyrif.

Namun bahasa Urdu?  Itu merupakan bahasa yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam kepala saya. Namun, Pak Kyai berkeinginan kuat untuk bisa menguasainya juga. Rasanya malu sekali kita yang masih muda tidak mempunyai semangat, sekurang-kurangnya sama seperti beliau.

Beliau berdalil dengan sebuah Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori yang mengisahkan bahwa salah seorang sahabat sekaligus juru tulis bagi nabi SAW. Yaitu Zaid bin Tsabit, diutus untuk mempelajari bahasa Ibrani yang menjadi bahasa ibu bagi kaum Yahudi selama 11 hari agar dapat saling berkirim surat, berdialog, memahami maksud dari tujuan-tujuan mereka dalam menjalin hubungan diplomasi dengan Rasulullah.

Lantas, apa orientasi atau tujuan utama mempelajari semua bahasa itu? beliau juga memberikan jawaban:

"ذلك لأجل   الدعوة"

Ya, semua itu tak lain ialah bertujuan untuk dakwah. Menyampaikan ajaran dan hukum islam secara universal dan dapat diterima oleh siapapun. Agar supaya agama islam dapat dipahami dengan baik oleh seluruh kalangan baik muslim maupun bagi nonmuslim sekalipun. Agar kita dapat menjelaskan yang sebenarnya dan mampu memahami apa yang mereka sampaikan. Beliau juga seringkali bernasihat tentang betapa pentingnya memiliki kemampuan berbahasa asing yang baik. Bahkan beliau sangat menganjurkan, agar nantinya para santri-santri beliau dapat dikirimkan ke berbagai negara di eropa guna menyampaikan dakwah.

Beliau tidak pernah bosan-bosannya memberikan motivasi kepada para mahasantrinya untuk terus belajar dan belajar, terutama untuk mempelajari dan memperdalam bahasa. Karena beliau tidak menginginkan para mahasantri hanya pandai dalam masalah agama namun tak dapat menyampaikannya dengan baik. Beliau mengatakan, banyak sekali orang-orang yang pandai dalam masalah agama yang berasal dari kalangan pesantren-pesantren acapkali merasa kesulitan ketika harus menyampaikannya di media internasional maupun antar-bangsa. Maka dari itu, menurut beliau, mempelajari bahasa tentulah sangat penting untuk setiap individu seorang muslim, terutama pendakwah.

Semoga kita semua diberi kemudahan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memahami sesuatu dengan baik.

                --Darus-Sunnah, Waktu Dhuha

 

Pak Kyai, Bahasa Banjar, dan Kaos Mahasiswa

(Darus-Sunnah, 01:13 WIB, Sabtu 12 Oct 2014)

 

Dan pagi tadi, untuk yang kesekian kalinya saya dicegat oleh Pak Kyai di depan Ma’had sepulangnya beliau mengajar dari halaqah fajriyah. Kali ini saya sendirian. Sehabis mencuci baju dan mandi, saya segera kembali bersiap untuk menuju pendopo Mesjid Mughiroh yang terletak tak jauh dari FKIK UIN Syarif Hidayatullah untuk rapat MUSTAHSAN bersama teman-teman BPH yang telah diagendakan pagi tadi.

Awalnya, saya sudah melihat beliau dari depan kamar. Agak ragu untuk turun dari lantai 2. Namun karena waktu sudah menunjukan pukul 08:15 WIB, mau tidak mau saya harus harus cepat sampai ke tempat (Walaupun disaat yang bersamaan saya harus menerima kenyataan mengecewakan karena rapat yang molor hingga satu jam).

Mulanya saya sengaja melambatkan langkah, berharap beliau keluar melewati pagar depan lebih dahulu. Bukan berarti tidak ingin menyapa, hanya saja saya sering merasa kaku dengan beliau. Khawatir, takut salah mengambil sikap bahkan menjurus pada Su’ul adab.

Saya pun mengiringi dari belakang. Tiba-tiba beliau berhenti, sambil melihat-lihat bangunan baru yang sedang dalam tahap perampungan. Karena beliau melihat saya dibelakangnya, saya pun mengarahkan langkah menghampiri beliau, lalu menyalami. Sejurus kemudian beliau melayangkan pertanyaan:

“Man anta? “ bagi mahasantri Darus-Sunnah tentu sangat familiar dengan pertanyaan ini. dimanapun bertemu beliau, pertanyaan inilah yang pertama kali akan beliau utarakan.

“Ana Imam, Syaikh.” Singkat, tangan beliau masih menjabat tangan saya. “Imam Budiman.” Agak tergagap, saya kemudian melengkapi jawaban.

“Ooh.”
“Anta min ayyi qaryah?” Beliau melanjutkan.

“Anaa min Kalimantan, Yaa Syaikh”

“Min Kalimantan? Ayyu Kalimantan?”

“Kalimantan Syarqiyyah.” jawabku singkat.

“Samarinda?” Beliau langsung menebak. Menatap, pandangan kami beradu.

“Na’am, Syaikh.” Hanya sepotong kata itu menimpali.

“Anta bugis am banjar?” Beliau kembali mencecar.

“Banjar, Syaikh” Teringat wajah ibu dalam pikiran saya.

“Ooh, Ulun lawan Ikam. Ulun Jawa, Ikam Banjar. Shahih?” Beliau kelihatan mencoba mengingat-ngingat. Kosa kata “ulun-ikam” keluar dari ucapan beliau.

“Na’am Syaikh.” Sambil mengangguk, saya membenarkan.

“Thayyib, Tafadhal.” Lantas, beliau mempersilahkan.

Sejurus kemudian saya mohon pamit sembari berlalu meninggalkan beliau berdua dengan tamunya.

Sebenarnya, dilain kesempatan pertanyaan itu juga seringkali dilayangkan oleh beliau kepada saya (pada kami, Mahasantrinya) ketika beliau sedang mengabsen ataupun ketika kami mendapat giliran untuk membaca beberapa Hadis saat halaqah. Pertanyaan yang terulang-ulang. Meskipun demikian, namun saya merasa senang tiap kali beliau menanyakan asal tempat tinggal. Ada kesan tersendiri saat mengatakan “Anaa min Kalimantan”. Entah apa karena hanya saya satu-satunya yang tersisa disini. Yang jelas, saya merasa senang.

Di kesempatan berbeda, yang masih lekat dalam ingatan adalah ketika waktu itu saya ingin menuju ke Perpustakaan Utama UIN untuk suatu keperluan, hari itu kebetulan saya bersama seorang senior semester akhir. Karena hanya berjalan kaki, kami memutuskan untuk berangkat bersama. Akantetapi, tanpa kami ketahui sebelumnya, ternyata di depan ada Pak Kyai sedang mengontrol keadaan Ma’had bersama seorang Musyrif yang mendampinginya.

Karena sudah terlanjur berpapasan, sebagai bentuk ta’zim spontan kami pun langsung saja menyalami beliau, dan seperti biasa, beliau terlebih dulu menanyakan nama. Kemudian setelah itu, beliau melihat sesuatu yang tidak biasa, karena hari itu libur, saya memang sengaja mengenakan busana santai dengan setelan kaos hitam betuliskan Malioboro yang dulunya saya beli ketika berlibur ke Jogja dengan bawahan celana levis panjang. Melihat hal yang demikian beliau berkomentar:

“Ismuka Imam? Walakin limadza libasuka kadzalik? Anta maa tasta’mil bi libaasil Imaam. Amma tsiyaabal Imaam kamitsli hadzaa.”

(Namamu Imam? Tapi kok pakaianmu begitu? Kamu nggak mengenakan seperti pakaian Imam. Kalau pakaian seorang Imam itu ya seperti ini.)

Beliau menunjuk baju koko putih yang sedang beliau kenakan. Kendati demikian, setelah itu, tanpa menyuruh untuk mengganti, beliau mempersilahkan kami untuk pergi.

Aduh, malu sekali rasanya dengan beliau. Sebegitu perhatian dengan anak didiknya, hingga urusan yang paling sepele sekalipun. Beliau semacam ingin men-singkronkan nama dan pakaian saya. Ada rasa bersalah dalam hati. Namun, perlu saya pertegas jika bukan berarti pakaian yang kami kenakan tidak sopan, kami tahu bahwa beliau tidak sedang marah, hanya saja beliau menasehati, karena beliau lebih suka jikalau melihat kami mengenakan pakaian semi koko kemanapun kami pergi. Namun beliau juga “men-Taqrir” tidak melarang kami mengenakan kaos.

Karena bagaimanapun juga, sebenarnya “berkaos” ini memang lumrah dikenakan oleh kebanyakan mahasiswa diluar jam kuliah. Termasuk kami yang kebetulan ingin ke Perpustakaan Utama UIN. Suatu yang memang sangat biasa ditemukan. Sebab, ketika jam kuliah sendiri, peraturan Fakultas mengharuskan para mahasiswa untuk memakai kemeja batik ataupun kaos berkerah. Tidak boleh berkaos biasa. Maka dari itu, setelan kaos baru kami kenakan saat-saat libur seperti ini.

Itu dulu, kita bercerita lagi di lain kesempatan. Semoga bermanfa’at.

 

Pak Kyai, Masa Kecil,  dan Jamuan Petai

(Darus-Sunnah, 01:12 Wib – 03:24 Wib, Dinihari 6 Oct 2014)

 

Jamuan makan pagi dari sang ayahanda di hari raya kurban tak seperti biasanya, kali ini halaqah fajriyah memang sengaja diliburkan. Selepas shalat shubuh berjama’ah sebagian para Mahasantri bergegas menuju kamar mandi. Mengantri. Budaya mengantri memang telah menjadi identitas yang tak pernah lepas dari anak pesantren pada umumnya. Semua teratur, tidak saling mendahului.

Sebagian mereka ada pula yang langsung mempersiapkan diri karena sudah terlebih dahulu mandi sebelum shalat shubuh. Sayup-sayup dari jarak yang tak jauh dari ma’had kami, suara takbir saling bersahutan. Dari satu mesjid ke mesjid yang lain. Tak berputus-putus. Seperti suara katak setibanya musim hujan tiba melawat. Dan yang tak kalah nyaring bersuara pada hari ini adalah: Suara kambing tepat di depan ma’had!

Setelah selesai membersihkan tubuh dengan “ritual” mandi, saya mengenakan baju batik sasirangan hitam yang dibeli sekitar 3 tahun yang lalu di pasar Martapura, Kal-sel. Sudah cukup usang sebenarnya. Tapi entah kenapa hingga hari ini masih saja betah memakainya. Mungkin karena kainnya yang cukup nyaman saat dikenakan dan sering saya bawa untuk mengajar Amtsilati ketika di pesantren dulu, ya itu sebagian alasan saya.

Selepas melaksanakan shalat ied bersama warga Pisangan Barat, Cireunde. Saya bersama beberapa teman pulang melalui jalan kecil yang menghubungkan antara mesjid warga dan ma’had. Sebenarnya di ma’had juga sudah lama dibangun mesjid, hanya saja mesjid ini digunakan oleh para santri saja sebatas untuk shalat berjama’ah dan melakukan kegiatan-kegiatan intern ma’had. Diantaranya halaqah fajriyah dan mudzakarah.

Namun belum sampai kamar, dari lantai dasar saya mendengar ada seseorang yang meng-komando: “Ayo, ayo semuanya langsung ke rumah pak kyai sekarang.” Bagi para mahasantri, sudah terbayang apa yang akan dilakukan di rumah pak kyai saat seperti ini, yaitu: Sarapan pagi! Karena seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap hari raya idul adha Bu Nyai (panggilan untuk isteri Pak Kyai) memanggil mahasantrinya untuk datang ke rumah, sedangkan Pak Kyai sedang tidak ada di tempat. Dan kami dapat menyaksikan beliau melalui siaran langsung dari mesjid Istiqlal di layar televisi sembari menyantap hidangan.

Hidangan itu terdiri dari ketupat yang sudah dipotong-potong, ayam yang sudah direbus sekian jam (hingga dagingnya tidak lagi rekat dengan tulang, semacam di presto), kuah opor, kerupuk udang dan terakhir potongan kentang yang diiris kecil-kecil dengan campuran cabai merah.

***

Baik, di atas tadi merupakan pengantar cerita hari raya idul adha kami di sini. Sederhana, tidak ada yang istimewa, selain mendapat jamuan special di rumah Pak Kyai.

Semua menikmati suapan demi suapan. Suara piring dan sendok yang seolah nampak beradu. Guyonan-guyonan kecil pun acapkali tercipta. Tawa satu sama lain yang saling bersambut seisi ruangan ini.

Di tengah-tengah makan, saya baru menyadari bahwa ada beberapa potongan petai di piring. Tak tahu darimana asalnya, ternyata setelah saya tanyakan dengan Jazmi, teman duduk di sebelah, petai itu tadinya bercampur dengan kentang yang kami ambil di awal tadi. Tidak kentara memang kelihatannya, nampak jumlahnya memang tak begitu banyak, namun aromanya cukup menusuk hidung.

Dan entah mengapa, ingatan saya kembali kepada sebuah cerita pak kyai tempo hari, tentang makanan kesukaan dan juga tentang masa kecilnya.

Di dalam salah satu acara "1 Jam lebih dekat bersama Imam Besar Mesjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA ” yang ditayangkan oleh stasiun televisi TV One, ada satu stage dimana Pak Kyai dihadapkan dengan sebuah nampan berukuran kecil yang ditutupi dengan tutup nampan tersebut. Semacam kejutan. Lalu kemudian beliau dipinta oleh pembawa acara untuk membukanya. Ketika dibuka, isinya adalah petai! Melihat itu, semua spontan tertawa.

Kemudian Si pembawa acara melayangkan pertanyaan pada Bu Nyai, “Ada apa bu dengan petai? Apa hubungannya dengan bapak? Boleh diceritakan sedikit mungkin.”

Bu Nyai kemudian menjawab, disaksikan pula oleh Zia’ul Haramain, anak semata wayang mereka berdua: “Kalau di rumah, Bapak (Pak Kyai) paling senang dibikinin masakan dengan petai.” Bu Nyai tersenyum sambil memandang Pak Kyai. Alangkah romantisnya, ketika menyaksikan acara tersebut, saya hanya dapat memaknai tatapan Bu Nyai ketika acara itu sebagai tatapan kasih sayang dan bukti cinta beliau pada sang suami.

Pak Kyai pun juga mengakui bahwa beliau sangat menggemari petai sejak lama. Sedari kecil. Bahkan ketika kuliah di Saudi dulu, beliau tidak segan untuk membawa oleh-oleh dari tanah air untuk kawan-kawan beliau berupa petai dalam jumlah yang cukup banyak.

Di lain kesempatan, di saat halaqah fajriyah Shahih Bukhari dan Muslim. Ketika memasuki permulaan Bab “Muzara’ah wal Harats” dalam Shahih Bukhari beliau sempat bercerita tentang masa kecilnya: (Seperti biasa, beliau menyampaikannya dengan menggunakan bahasa arab. Namun, agar mudah dipahami dan tidak memakan ruang yang banyak dalam catatan ini, ucapan beliau saya terjemahkan.)

“Dulunya saya bersama ayah mempunyai kebun petai di kampung. Manakala musim panen tiba, kami membawanya menuju pasar. Menggotongnya di punggung dengan ikatan yang besar. Tanpa memakai sendal, saya berjalan sejauh 4 kilometer dengan bawaan yang berat." Beliau mulai merangkai nostalgia masa silam. Mata beliau nampak berair, sepertinya menangis, berkali-kali belaiu mengusap kedua mata dengan sapu tangan.

"Namun di tengah perjalanan seringkali kami menghadapi para 'tengkulak' yang biasa ingin membeli hasil panen dari para petani kampung. Panen kami ditawar dengan harga yang amat murah oleh mereka. Namun ayah tidak mau, mereka mengira orang kampung itu bodoh dan tidak tahu berapa harga pasaran. Akhirnya kami pun meninggalkan mereka hingga sampai di pasar. Masya Allah, itu benar-benar menjadi kenangan tersendiri bagi saya bersama ayah. Ada pun sekarang semuanya sudah dimudahkan.”

Begitulah. Nampaknya petai menjadi salah satu sarana beliau untuk mengenang kembali masa lalu, bernostalgia dengan masa kecil. Betapa erat hubungan antar ayah dan anak. Dari yang bukan siapa-siapa hingga menjadi tokoh besar seperti sekarang. Dari yang dulunya seorang santri biasa hingga menjadi Imam Besar Mesjid terbesar dan terkenal, Mesjid Istiqlal Jakarta. Sehingga terjawablah sudah mengapa beliau begitu sangat menyukai panganan ini.

Saya mengira, melalui hidangan di pagi cerah itu beliau ingin mengajak kami untuk merasakan pula apa yang selama ini beliau gemari. Bagi saya, dengan dua cerita di atas yang masih lekat dalam ingatan saya hingga kini, sarapan pagi itu menjadi sangat bermakna. Terakhir, catatan ini akan saya posting besok pagi. Oh iya, kebetulan juga sehabis subuh nanti pengajian Shahih Bukhari dan Muslim yang diisi oleh Pak Kyai. Jangan pernah berani-berani untuk lengah, tidak dapat menjawab pertanyaan, mengantuk, apalagi tidur. Kemungkinan besar, kita akan diberdirikan di tempat oleh beliau. Saya kira itu cukup melelahkan.

Semoga Allah memberikan keberkahan hidup pada kita semua. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun