Menjelang Sore Di Galeri Nasional
; selepas pameran tunggal lukisan “Arus Balik” Misbach Tamrin
barangkali sabetan kuas demi kuas,
satu-satu, warna yang berdanau khas
dalam keheningan, sempat mengoyak
sejarah kita di lampau cuaca masa silam
di ruang yang serba sepi serba sunyi
serba melucuti ruas kerat-kerat kelasi
kita membiarkan susunan cat minyak itu
lepas mengantarkan dari peritiwa ke peristiwa,
dari satu kejadian kepada kesaksian
berpindah langkah, berhalu selisih warna lain
yang menarasikan isi kepala si perupa
orang-orang sampah, orang-orang buangan
orang-orang yang tak pernah mengerti
mengapa tanpa sebab mereka diadili
tersebab keterlibatan berkarya di sanggar bumi tarung kah
yang membuat tetubuh mesti mendekam sunyi di runcing
bilah-bilah taring jeruji para penjajah bernama ‘orde baru’
atau, sebaiknya kita menjadi lakon hidup atas keberulangan
kisah yang sewindu lalu pernah tercatat di atas kertas?
di mana letak laut yang merah tabah kucari-cari
selain beriak dalam kuas yang masih bersisa aroma minyak
aku masih mencari makna di atas segala makna
atau memang, aku terlalu kekanak membaca sejarah
Galeri Nasional, 2015
Obrolan Singkat Catatan Ayah
; Sandi Firly
di sela rasa kantuk bercampur pening –barangkali
terik mencecah dalam gelas kopi dengan kadar manis
yang tak membuat gula darah kambuhan menjadi naik
: seorang pengarang ingusan berdiri sekedirian
dengan pemilik ‘catatan ayah’ –yang diam-diam,
sejarak lengan, diperhatikan oleh seorang wartawati
keduanya melayarkan kretek berbeda merk
menghisapnya sendam penuh khidmat
asapnya bergulung, menempur putih tiang arkais
mereka mendiskusikan hal paling mendasar
tentang makna sebuah proses kreatif
sebelum sempat menyilang-jabat untuk pisah
keduanya melumbar kendali jarak, tanpa berpamit
sebab keyakinan adanya pertemuan kelak
untuk saling berdiskusi lebih rumit
Galeri Nasional, 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H