Mohon tunggu...
Imam Budiman
Imam Budiman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tiga Sajak Imam Budiman

28 September 2015   02:57 Diperbarui: 28 September 2015   03:34 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gulali yang Menjadi Puisi di Dalam Kepala

Seorang perempuan menyilang kelopak bunga di celah gulita. Menelungkup kedua belah tangan di dada cemara. Entah apa yang tengah ia ingini. Tapi konon ia suka sekali membagi kembang gulali. Pada anak-anak puisi juga desa antah berantah. Dikisahkannya, gulali itu berwarna merah muda. Kemudian ia lepas tertawa, gulali itu, katanya lagi, serupa awan-awan yang luruh dijatuhi kesumba. Gulali itu senantiasa berputar di selasar kepalanya sebelum ia memadat dijahili oleh angin yang berasal dari sedotan penjual gelembung pasar malam. Dirinya justru ikut-ikutan limbung. Kita tak pernah dapat paham. Apa sekarang memang sudah waktunya kita untuk mengerti. Bahwa sebenarnya itu, gulalimukah?

Perempuan itu masih saja menganyam dedaun ratap di antara sela keinginan dan harap. Soal gulali tersebut yang kerap mengundang keributan-keributan kecil. Perempuan itu memilih hening di balik sengguk tangisnya. Selalu ada yang menyesakkan, tertahan juga urung terucap. Dan serta-merta, gulali itu tak ubahnya menjadi melankolia yang hening dan senyap. Kitakah yang menjadi dungu karena gulali? Atau memang, kaukah yang selama ini tak jua dapat lagi kukenali? Apa benar, hatimu-hatiku telah benar-benar menjadi semacam firman dari ayat gulali? Sehingga kita perlu menafsiri kembali apa yang terlewati.

Perempuan itu kini tengah duduk sebatang rebah, setelah menempuh perjalanan tanpa huruf dan sajak. Ia merenungi dirinya sendiri di sejejeran padang pepohon ketapang, sekian mantra-mantra menyusup jahat meradang. Kau tak bergeming dan justru memilih untuk segera pulang. Aku menawarkan diri untuk sekadar mengantarmu di perbatasan gang. “Rumahku ada di sepetak ruang dalam kepalamu,” ujarmu sembari mengalihkan pandang, sejauhnya. Sebab terkadang, pertemuan singkat lebih sering kita jadikan dalih untuk bersapa dan mengenang.

Bagaimana pun, kita, aku dan kau sama-sama telahir dari rahim sabda kunang.

 

Darus-Sunnah, 2015

-Mu

 

dalam kopi

namamu

mu

 

dalam catatan

nyawamu

mu

 

dalam gendang

lagumu

mu

 

dalam pundak

isakmu

mu

 

dalam ramai

ocehmu

mu

 

dalam danau

mayatmu

mu

 

2014

 

Jika Aku Tiada

 

jika aku tiada

biarkan jalan ini damai

 

jika aku tiada

tengadah tangan berdoa

 

jika aku tiada

puncak sudah kata segala

 

jika aku tiada

dalam darah usai perintah

 

jika aku tiada

hadapku di junjung hariba

 

jika aku tiada

pelihara anak-anak puisi

 

jika aku tiada

kantungi air mata kekasih

 

jika aku tiada

biarkan ria hulubalang ruh

 

jika aku tiada

larungkan namaku di perigi

 

jika aku tiada

antar ke pembaringan akhir

 

jika aku tiada

taruh rekah jemari kamboja

 

jika aku tiada

sediakala merayu sukma

 

jika aku tiada

dalam sajakku ini kau selalu ada

 

231214

Imam Budiman, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur. Puisi-puisinya dimuat di media nasional dan lokal. Penggiat komunitas sastra Rusabesi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun