Gulali yang Menjadi Puisi di Dalam Kepala
Seorang perempuan menyilang kelopak bunga di celah gulita. Menelungkup kedua belah tangan di dada cemara. Entah apa yang tengah ia ingini. Tapi konon ia suka sekali membagi kembang gulali. Pada anak-anak puisi juga desa antah berantah. Dikisahkannya, gulali itu berwarna merah muda. Kemudian ia lepas tertawa, gulali itu, katanya lagi, serupa awan-awan yang luruh dijatuhi kesumba. Gulali itu senantiasa berputar di selasar kepalanya sebelum ia memadat dijahili oleh angin yang berasal dari sedotan penjual gelembung pasar malam. Dirinya justru ikut-ikutan limbung. Kita tak pernah dapat paham. Apa sekarang memang sudah waktunya kita untuk mengerti. Bahwa sebenarnya itu, gulalimukah?
Perempuan itu masih saja menganyam dedaun ratap di antara sela keinginan dan harap. Soal gulali tersebut yang kerap mengundang keributan-keributan kecil. Perempuan itu memilih hening di balik sengguk tangisnya. Selalu ada yang menyesakkan, tertahan juga urung terucap. Dan serta-merta, gulali itu tak ubahnya menjadi melankolia yang hening dan senyap. Kitakah yang menjadi dungu karena gulali? Atau memang, kaukah yang selama ini tak jua dapat lagi kukenali? Apa benar, hatimu-hatiku telah benar-benar menjadi semacam firman dari ayat gulali? Sehingga kita perlu menafsiri kembali apa yang terlewati.
Perempuan itu kini tengah duduk sebatang rebah, setelah menempuh perjalanan tanpa huruf dan sajak. Ia merenungi dirinya sendiri di sejejeran padang pepohon ketapang, sekian mantra-mantra menyusup jahat meradang. Kau tak bergeming dan justru memilih untuk segera pulang. Aku menawarkan diri untuk sekadar mengantarmu di perbatasan gang. “Rumahku ada di sepetak ruang dalam kepalamu,” ujarmu sembari mengalihkan pandang, sejauhnya. Sebab terkadang, pertemuan singkat lebih sering kita jadikan dalih untuk bersapa dan mengenang.
Bagaimana pun, kita, aku dan kau sama-sama telahir dari rahim sabda kunang.
Darus-Sunnah, 2015
-Mu
dalam kopi
namamu
mu
dalam catatan
nyawamu
mu
dalam gendang
lagumu
mu
dalam pundak
isakmu
mu
dalam ramai
ocehmu
mu
dalam danau
mayatmu
mu
2014
Jika Aku Tiada
jika aku tiada
biarkan jalan ini damai
jika aku tiada
tengadah tangan berdoa
jika aku tiada
puncak sudah kata segala
jika aku tiada
dalam darah usai perintah
jika aku tiada
hadapku di junjung hariba
jika aku tiada
pelihara anak-anak puisi
jika aku tiada
kantungi air mata kekasih
jika aku tiada
biarkan ria hulubalang ruh
jika aku tiada
larungkan namaku di perigi
jika aku tiada
antar ke pembaringan akhir
jika aku tiada
taruh rekah jemari kamboja
jika aku tiada
sediakala merayu sukma
jika aku tiada
dalam sajakku ini kau selalu ada
231214
Imam Budiman, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur. Puisi-puisinya dimuat di media nasional dan lokal. Penggiat komunitas sastra Rusabesi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.