Sementara beberapa budak menikmati hubungan spesial dengan sang tuan tanah, kebanyakan terdiam dalam penindasan. Selain Platt dan Patsey, dalam kompleks pertanian tuan Epps, tidak ada dialog berarti yang diucapkan budak lainnya.Maka berhasilah penonton dibawa pada suasana muram dan tertekan para budak.
Sebelum jatuh ke tangan tuan Epps, Platt sejatinya menjadi milik tuan Ford. Tuan Ford digambarkan sebagai tuan tanah yang baik. Namun Platt bermasalah dengan sang mandor ladang, Tibeats. Platt menunjukan kecakapan dalam bekerja, namun Tibeats justru menganggapnya sebuah pelecehan atas wibawa sang mandor. Hingga suatu ketika Tibeats menggantung Platt. Tidak sampai mati karena berhasil dicegah oleh anak buah tuan Ford.
Namun Platt dengan kondisi leher masih terjerat di tali gantungan tetap dibiarkan setengah tergantung. Platt mencoba menyangga badannya dengan ujung kaki. Anak buah tuan Ford meninggalkan Platt. Para budak yang sebelumnya masuk ke gubuk masing-masing kemudian keluar. Mereka lalu melanjutkan aktivitas pekerjaan seperti biasa, seolah-olah sosok Platt yang tercekik di tali gantungan tidak ada.
Sebuah scene yang sangat ironis. Bagaimana mungkin mereka tidak mempedulikan kawannya itu. Namun itulah perbudakan, menjadikan manusia tidak hanya terpisah antar ras, namun menjadikan satu kaumnya tak berdaya saling menolong.
Hingga sudut pandang kamera berubah, yang semula latar belakang gubuk-gubuk para budak bergeser ke teras rumah sang tuan Tanah. Ternyata lokasi Platt digantung itu dekat dengan teras rumah. Tampak sang anak buah tuan Ford berdiri mengawasi. Pikiran penonton yang semula mempertanyakan mengapa budak-budak lain tidak berani melepaskan tali gantungan yang mencekik Platt mungkin terjawab. Mereka terdiam karena sang tangan kanan tuan tanah mengawasi. Apakah jika sang pengawas tidak ada mereka berani membantu Platt? Fakta dalam film tidak menjelaskan hipotesis tersebut.
Masih adegan Platt setengah tergantung dengan latar teras rumah di belakangnya. Kini yang berdiri bukan sang pengawas, tangan kanan Tuan Ford, melainkan sang istri Tuan Ford sendiri. Wanita itu hanya menyaksikan Platt yang tercekik dari kejauhan. Film ini setidaknya mengungkapkan secuil peran perempuan dalam keluarga amerika era itu. Cuplikan-cuplikan adegan menunjukan bahwa perempuan dalam era itu pun masih berada di bawah dominasi lelaki. Termasuk dalam hal penguasaan atas ‘properti’ budak. Sang istri tuan Ford membiarkan Platt tergantung seakan menjadi isyarat bahwa yang memiliki kuasa atas properti adalah sang lelaki
Dan benar, adegan Platt tergantung berakhir saat Tuan Ford sendiri yang datang dan membebaskannya. Namun, Tuan Ford menilai keamanan Platt di rumahnya sudah tidak dapat terjamin lagi,maka dijualah Platt kepada Tuan Epps, yang konon kejam terhadap para budaknya.
Masih teringat film-film berlatar perbudakan yang tahun lalu memikat sejumlah penghargaan seperti Djanggo Unchained atau Lincoln. Film ini bukan seperti Djanggo Unchained yang penuh adegan tembak-tembakan atau film seperti Lincoln yang penuh dialog berat tanpa henti. Film 12 Years A Slave adalah film yang berjalan pelan namun mengusik rasa kemanusiaan kita. Dalam sudut-sudut pengambilan gambar yang memukau, dihadirkan ketragisan nasib para budak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H