Mohon tunggu...
Imam Budidharma
Imam Budidharma Mohon Tunggu... -

Imam Budidharma; tinggal di luar kota Yogyakarta, diseputaran kampus UGM;\r\nBekerja sebagai pegawai pada sebuah kantor di Jalan Malioboro

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

12 Years A Slave: antara hidup dan bertahan hidup

26 Februari 2014   16:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"I don't want to survive, I want to live" Solomon Northup

Solomon Northup adalah seorang lelaki negro yang bebas. Ia tinggal di Saratoga , New York, bersama istri dan kedua anaknya. Hingga pada suatu ketika, 2 orang kulit putih menipu, menculik dan menjualnya sebagai budak. Maka dimulailah kisah Solomon Notrhup, 12 tahun sebagai budak dari satu tuan tanah ke tuan tanah lainnya. 12 Years A Slave adalah kisah hidup Solomon Northup yang konon didasarkan pada kisah nyata. Film yang memenangi nominasi sebagai Best Motion Picture dalam ajang Golden Globe ini dipuji karena memiliki akurasi sejarah.

Suatu malan Solomon bersama 2 lelaki kulit putih berpesta hingga Solomon mabuk tak sadarkan diri. Dan pada paginya dia telah mendapatkan dirinya terantai pada suatu ruangan seperti penjara. Adegan selanjutnya mengawali kengerian dan kesadisan perbudakan pada era itu. Solomon yang mengatakan ia adalah lelaki negro yang bebas, justru mendapatkan cambukan berkali kali.

Adegan cambuk dan kekerasan terhadap orang negro kita temui dari awal hingga akhir dari film ini. Adegan kekerasan disajikan tidak hanya secara vulgar namun kadang simbolis dan kontemplatif. Film ini memberikan ruang 'hening' cukup banyak bagi penonton. Perpaduan antara efek suara cambuk, rintihan dan bentakan algojo yang cukup mengerikan disambung dengan scene 'hening' dan 'tenang' yang panjang memberikan dua pesan perasaan yang dirasakan Solomon, kepedihan atas siksaan dan kesepian karena terpisah dari keluarganya.

Tentu film ini bukan menarik karena adegan ngilu dan ngeri itu semata. Kisah perbudakan sudah pasti tidak lepas dari adegan siksaan, tapi ada aspek lain yang sejatiinya menjadi kekuatan film ini. Film ini bukan berkisah tentang pembebasan ,perlawanan atau pelarian para budak. Film ini berkisah tentang bagaimana para budak hidup atau bertahan hidup pada era itu.

"I don't want to survive, I want to live" Solomon Northup mengatakan pada seorang budak lain dalam perjalanannya diangkut sebuah kapal. Budak lain yang bernama Clemens mengatakan jika ingin bertahan hidup, bersikaplah layakanya budak yang baik. Solomon yang sejatinya orang bebas menyanggahnya, ia adalah orang bebas dan akan membuktikan dia ini adalah orang bebas. Clemens menyatakan bahwa semakin jauh Solomon menunjukan dirinyaadalah orang bebas yang beradab, bisa membaca dan menulis, semakin keras siksaan yang akan diterima Solomon. Maka Clemens menganjurkan pada Solomon untuk bertahan hidup dengan berlakulah selayaknya budak, bekerja dan menurut. Solomon yang sejatinya orang bebas tentu tidak ingin demikian, dia tidak ingin bertahan hidup namun inginkan kehidupan yang sesungguhnya.

Percakapan diselipi kenangan Solomon bagaimana kesehariaanya sebagai orang bebas, diterima oleh masyarakat. Dengan pakaian yang layak, dia berjalan di tengah kota, membaur bersama kulit putih. Dia berbeda dengan mereka yang terlahir sebagai budak.

Namun secara dramatis kekuatan Solomon untuk menyatakan diri sebagai orang bebas diuji. Para budak berdiri dalam barisan, siap untuk diperdagangkan. Sang pedagang memanggil nama masing-masing dan dsebutlah nama Platt berkali-kali hingga sang pedagang marah dan memukul Solomon. Solomon yang kebingungan menyangkal dia bernama Platt. Tapi kenyataan bahwa dia dipanggil dengan nama Platt harus diterima. Solomon kini bertahan hidup dengan nama Platt.

Perbudakan menjadikan martabat manusia tidak jelas. Film ini menyajikan bagaimana para negro hidup dan bertahan hidup pada era itu. Dalam sebuah adegan disajikan kehidupan Solomon Northup sebagai manusia merdeka dengan bebas berbelanja di sebuah toko mewah orang kulit putih. Kemudian dari seberang jalan, tampak seorang negro yang menjadi ‘properti’ tuan kulit putih menatapnya penuh tanda tanya (mungkin). Lelaki itu mengikuti Solomon memasuki toko namun kemudian sang tuan menariknya keluar. Peristiwa perjumpaan yang mengisyaratkan bahwa pada masa itu orang-orang kulit hitam sendiri hidup dalam dua sisi, ada yang menjadi manusia bebas dan ada yang menjadi ‘properti’ yang bisa diperjual belikan.

Saat Solomon menjadi Platt, budak belian, dia menyaksikan kaumnya memiliki cara pandang sendiri atas nasib yang menimpanya. Dalam sebuah pertemuan, dia menjumpai seorang wanita negro yang menjadi gundik tuan tanah. “Dulu aku melayani, sekarang aku dilayani” ujar sang perempuan yang berhasil memikat hati tuan tanahnya. Perjumpaan menjadi aneh, bagaimana di lingkungan yang kental dengan aktivitas perbudakan, ada seorang negro yang seolah menjadi ‘majikan’ dalam rumah itu.

Cerita mengenai tuan tanah yang menikmati hubungan asmara dengan budak perempuannya menjadi bagian penting dalam film ini. Patsey, sang budak perempuan memikat hati tuan Epps dan menjadikannya idola bagi sang tuan. Namun demikian, sejatinya Patsey cukup menderita dengan peran itu. Suatu ketika Patsey mendatangi Platt, ditunjukannya sebuah permata curian dari majikan perempuannya dan menyatakan sebuah skenario untuk ‘kabur’. Bukan sekedar kabur dalam arti melarikan diri, namun kabur dari kehidupan alias mati. Patsey ingin Platt membunuhnya dan mengatakan kepada sang tuan tanah bahwa Patsey telah mencuri dan kabur. Platt menolak

Sementara beberapa budak menikmati hubungan spesial dengan sang tuan tanah, kebanyakan terdiam dalam penindasan. Selain Platt dan Patsey, dalam kompleks pertanian tuan Epps, tidak ada dialog berarti yang diucapkan budak lainnya.Maka berhasilah penonton dibawa pada suasana muram dan tertekan para budak.

Sebelum jatuh ke tangan tuan Epps, Platt sejatinya menjadi milik tuan Ford. Tuan Ford digambarkan sebagai tuan tanah yang baik. Namun Platt bermasalah dengan sang mandor ladang, Tibeats. Platt menunjukan kecakapan dalam bekerja, namun Tibeats justru menganggapnya sebuah pelecehan atas wibawa sang mandor. Hingga suatu ketika Tibeats menggantung Platt. Tidak sampai mati karena berhasil dicegah oleh anak buah tuan Ford.

Namun Platt dengan kondisi leher masih terjerat di tali gantungan tetap dibiarkan setengah tergantung. Platt mencoba menyangga badannya dengan ujung kaki. Anak buah tuan Ford meninggalkan Platt. Para budak yang sebelumnya masuk ke gubuk masing-masing kemudian keluar. Mereka lalu melanjutkan aktivitas pekerjaan seperti biasa, seolah-olah sosok Platt yang tercekik di tali gantungan tidak ada.

Sebuah scene yang sangat ironis. Bagaimana mungkin mereka tidak mempedulikan kawannya itu. Namun itulah perbudakan, menjadikan manusia tidak hanya terpisah antar ras, namun menjadikan satu kaumnya tak berdaya saling menolong.

Hingga sudut pandang kamera berubah, yang semula latar belakang gubuk-gubuk para budak bergeser ke teras rumah sang tuan Tanah. Ternyata lokasi Platt digantung itu dekat dengan teras rumah. Tampak sang anak buah tuan Ford berdiri mengawasi. Pikiran penonton yang semula mempertanyakan mengapa budak-budak lain tidak berani melepaskan tali gantungan yang mencekik Platt mungkin terjawab. Mereka terdiam karena sang tangan kanan tuan tanah mengawasi. Apakah jika sang pengawas tidak ada mereka berani membantu Platt? Fakta dalam film tidak menjelaskan hipotesis tersebut.

Masih adegan Platt setengah tergantung dengan latar teras rumah di belakangnya. Kini yang berdiri bukan sang pengawas, tangan kanan Tuan Ford, melainkan sang istri Tuan Ford sendiri. Wanita itu hanya menyaksikan Platt yang tercekik dari kejauhan. Film ini setidaknya mengungkapkan secuil peran perempuan dalam keluarga amerika era itu. Cuplikan-cuplikan adegan menunjukan bahwa perempuan dalam era itu pun masih berada di bawah dominasi lelaki. Termasuk dalam hal penguasaan atas ‘properti’ budak. Sang istri tuan Ford membiarkan Platt tergantung seakan menjadi isyarat bahwa yang memiliki kuasa atas properti adalah sang lelaki

Dan benar, adegan Platt tergantung berakhir saat Tuan Ford sendiri yang datang dan membebaskannya. Namun, Tuan Ford menilai keamanan Platt di rumahnya sudah tidak dapat terjamin lagi,maka dijualah Platt kepada Tuan Epps, yang konon kejam terhadap para budaknya.

Masih teringat film-film berlatar perbudakan yang tahun lalu memikat sejumlah penghargaan seperti Djanggo Unchained atau Lincoln. Film ini bukan seperti Djanggo Unchained yang penuh adegan tembak-tembakan atau film seperti Lincoln yang penuh dialog berat tanpa henti. Film 12 Years A Slave adalah film yang berjalan pelan namun mengusik rasa kemanusiaan kita. Dalam sudut-sudut pengambilan gambar yang memukau, dihadirkan ketragisan nasib para budak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun